Column

Siang itu, selasa, 2 Juli 2024, di masjid Nabawi sudah penuh dengan jamaah yang mau melaksanakan salat dhuhur. Saya dan dua tenaga kesehatan/perawat dari kloter kami (sub 64) kesulitan mencari tempat yang agak longgar bisa menampung kami bertiga. Pelataran masjid sudah penuh karena beberapa menit lagi akan masuk waktu shalat dhuhur. Akhirnya setelah dengan susah payah mencari tempat, kami dapat tempat di teras masjid dan beruntung masih bisa mendapat tempat di atas karpet masjid. Jika tidak, shalat di atas ubin masjid pada siang hari akan terasa panas meski di atas sajadah.

Tanpa sengaja Di situ kami bertemu dua kawan kami dari tenaga medis (dokter dan perawat) yang ketika di Makkah mereka satu hotel dengan kami. Setelah duduk beberapa menit menunggu azan, terdengar keributan di shaf belakang kami. Ternyata ada jamaah yang lemas dan mau pingsan. Usianya sekitar 60an tahun. Secara otomatis, kami petugas yang berseragam mendekati jamaah tersebut dan membantu sekuat tenaga agar jamaah tetap sadar. Saya yang bukan tenaga medis bertugas mencari data jamaah tersebut dengan aplikasi “haji pintar”, sedangkan tenaga medis bertugas merawat pasien tersebut. Ada yang mengecek detak jantung, memastikan pasien tetap sadar, memijit, memberi minum dengan oralit dan tindakan lainnya. Ada juga jamaah sekitar yang membantu menyadarkan jamaah tersebut. Bahkan di saat genting tersebut terucap kalimat “Mbah sadar Mbah, cucunya sudah menunggu oleh olehnya”. Kalimat motivasi agar jamaah tersebut semangat untuk sadar.


Namun, setelah sekian menit belum ada perkembangan, hampir saja kami kehilangan nyawa pasien tersebut. Kata perawat, jamaah tersebut sempat henti jantung. Di tengah kepanikan tersebut muncul seorang dokter perempuan dari Iran yang kebetulan duduk satu saf dengan kami. Dengan gerak cepat dan dengan bahasanya (bukan arab atau inggris) dan bahasa isyarat beliau menyuruh kami mengangkat kaki pasien dan meletakkan kepalanya di bawah (atas ubin). Sedetik kemudian, pasien terasa mual dan akhirnya muntah muntah mengeluarkan isi perutnya. Pasien tersebut akhirnya sadar meski dengan kondisi yang lemas. Ketua kloter dan petugas kesehatan kloter tersebut pun sudah bisa dihubungi dan siap menjemput setelah kami jelaskan lokasi pasien.
Setelah sadar, pasien tetap ingin melanjutkan salat dhuhurnya meski sambil duduk sambil menunggu dijemput petugas kloternya. Setelah salam/shalat dhuhur selesai, ketua kloter dan tenaga kesehatan kloter sudah datang dengan membawa kursi roda dan membawa jamaah tersebut ke hotel untuk dirawat lebih lanjut.


Secara medis, saya kurang mengetahui apa yang terjadi dengan pasien tersebut, namun banyak kemungkinan pasien tersebut mengalami kejadian ini, misalnya kurang makan dan minum, sebagaimana disampaikan temannya bahwa jamaah tersebut hanya makan sedikit, atau tidak tahan dengan cuaca panas Madinah yang berkisar antara 41-43 derajat atau karena berada di bawah kipas masjid yang kencang dengan percikan air sehingga rentan masuk angin atau faktor lainnya seperti riwayat penyakit yang menyertai. Alhamdulillah dengan gerak cepat tim petugas bahkan ada bantuan dokter Iran, pasien bisa terselamatkan. Tentunya ada pertolongan Allah dalam kasus ini. Bisa dilihat dari segi kebetulan. Kok ya kebetulan di sekitar jamaah tersebut berkumpul para petugas haji, meskipun bukan dari kloternya. Di detik detik yang menegangkan kok ya ada dokter Iran yang turut serta membantu. La Haula wa la quwwata Illa Billah. Semua atas pertolongan Allah dan gerak cepat petugas dan jamaah lainnya sangat penting dalam mempercepat kesembuhan pasien. Tanpa melihat ras negara semua berusaha menolong, sangat terasa hangatnya persaudaraan sesama muslim, meski tidak kenal sama sekali. Sayangnya, meski sempat berfoto dengan dokter Iran tersebut, kami lupa menanyakan namanya. Ia datang bersama ibunya, dan sangat senang dengan pertemuan yang tidak disengaja ini dan sangat senang bisa membantu kami. Semoga jamaah Indonesia sehat selalu. Amin.