Zakat memiliki peran sentral dalam membangun hubungan teologis dan hubungan kemasyarakatan yang dalam Islam dikenal dengan istilah silaturrahim. Hubungan silaturrahim yang tercermin dari nilai dan eksistensi zakat tergambar dalam ajaran Islam. Islam tidak hanya mengandung sistem ritual tetapi juga mencakup sistem sosial-kemasyarakatan. Ayat 1-3 surah al-Mâ‘ûn, misalnya, menggambarkan tema ketuhanan dan kepedulian sosial. Ayat ini menunjukkan keberagamaan seseorang berkaitan dengan perilaku sosial, kesalehan ritual bukan saja menjadi tidak sempurna akan tetapi justeru sangat absurd jika tanpa dibarengi dengan kesalehan sosial. Kaitan keduanya semakin jelas apabila mengamati begitu banyak ayat Alquran yang menerangkan keimanan dan perbuatan baik. Kedua aspek tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari konsep habl min Allâh wa habl min al-nâs.
Islam mengakui hak milik individu dan hak milik komunal. Keduanya diperhatikan tanpa ada yang diabaikan. Demikian halnya dengan kemerdekaan individu diakui sepanjang tidak mengganggu kemerdekaan individu lainnya dan tidak mengacaukan keseimbangan masyarakat. Kemerdekaan individu tidak mutlak dan tanpa batas, melainkan dibatasi oleh dua hal; pertama, individu bebas bergerak di bidang ekonomi selama tidak melanggar dan menghegemoni hak-hak individu lainnya atau membahayakan kepentingan umum, dan kedua, ia harus mengambil cara yang halal dan tidak menggunakan cara-cara yang haram.
Kepentingan individu adalah fitrah, demikian halnya dengan kepentingan masyarakat. Karenanya, di antara kedua kepentingan terdapat suatu ikatan yang erat. Dalam kesejahteraan individu terdapat kesejahteraan sosial, begitu juga sebaliknya. Kesejahteraan individu dan sosial bersama-sama menghendaki agar antara nafsu egoisme dan nafsu altruisme terdapat keselarasan yang sehat. Menjamin hak individu berarti menjamin hak tiap-tiap individu dalam keseluruhan masyarakat, dan menjamin hak masyarakat berarti menjamin hak keseluruhan anggota masyarakat yang terdiri atas individu-individu. Untuk merealisasikan hal tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dan keadilan dalam mendistribusikan hak-hak tadi.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban diatur dalam Alquran, Alquran–walaupun menganjurkan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan pribadi–lebih menekankan pelaksanaan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban mempunyai porsi tersendiri, karena keduanya dapat melahirkan paksaan bagi yang berkewajiban untuk melaksanakannya. Kelebihan harta mereka wajib diberikan kepada orang yang, secara ekonomi, tidak berdaya. Keberadaan kelompok orang yang tidak berdaya, seperti orang fakir, dan orang miskin, merupakan fenomena yang lazim ditemukan dalam struktur masyarakat manapun. Masalah ketidakberdayaan bisa timbul dari berbagai aspek, baik aspek internal maupun aspek eksternal. Berbagai penyebab itu sangat berpengaruh, secara langsung atau tidak langsung, pada proses menjamurnya kemiskinan di tengah masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan kemiskinanan adalah problem sosial.
Problem ini terkait dengan perilaku sosial dan kolektif, artinya, kemiskinan tidak murni lahir dari dalam diri individu manusia, akan tetapi, perilaku yang tidak mendorong pada kemajuan ekonomi itu lebih disebabkan oleh kultur sosial masyarakat. Ini dibenarkan kaum liberalis yang menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang baik, hanya ia sangat rentan terhadap pengaruh lingkungannya, sehingga menurut mereka, budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada lingkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Selain karena kultur sosial, kesenjangan sosial pun menjadi pemicu munculnya kemiskinan. Adanya orang miskin di samping orang kaya, atau orang yang lemah di samping orang yang kuat, merupakan sunnah Allâh yang, seperti ditegaskan oleh Allah, tidak akan berubah sepanjang masa. Yang penting selanjutnya adalah bagaimana kedua kelompok yang berbeda hidup secara harmonis dalam suatu hubungan yang simbiosis-mutualistis dan bukan hubungan yang symbiosis-parasitis, yakni suatu hubungan yang meniscayakan si kaya selalu terikat (co-existence) dengan komitmen memberdayakansi miskin, baik dengan cara menunaikan zakat, infaq, atau sedekah, dan bukannya memperdayakannyadengan berbagai alasan.
Hubungan simbiosis-mutualistis melalui kehadiran zakat jelas menggambarkan peran zakat dalam membangun hubungan silaturrahim yang tidak sekadar hubungan kemanusiaan tetapi justeru dapat memberdayakan masyarakat mustahik yang tergolong sebagai kelompok masyarakat kurang beruntung. Zakat menciptakan komunitas yang saling mendukung jaringan ta‘âwun antar individu Muslim, sehingga mampu memaksimalkan pemerataan hasil produksi, serta menjamin kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder bagi setiap peribadi Muslim. Jaringan ta‘âwun merupakan jaringan yang terejawantah dari kehadiran co-existence zakat. Kehadiran zakat yang mencerminkan nilai co-existence dapat merajut hubungan sosial dari dua kelompok masyarakat yang relatif berbeda terutama dalam aspek ekonomi. Perbedaan status ekonomi memang tidak bisa dihindari, namun bisa direduksi melalui peran zakat. [SA]
*Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya