Oleh: Ahmad Inung
(Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag., Guru Besar UINSA Surabaya yang saat ini menjabat Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI)
Judas dan Brutus adalah dua nama yang paling populer dalam sejarah pengkhianatan. Bahkan, penyebutan dua nama itu seakan sinonim dengan khianat itu sendiri. Tidak ada sesuatu dalam kepala kita ketika dua nama itu disebut selain pengkhianatan.
Pengkhianatan mereka menjadi sangat terkenal karena orang tidak membayangkan bagaimana mereka bisa melakukannya. Judas Iscariot adalah salah satu dari dua belas murid Jesus atau Nabi Isa dalam keyakinan saya sebagai Muslim. Sebagai seorang murid, mestinya dia melindungi sang Guru.
Justru sebaliknya, dia melihat Jesus-nya sebagai komoditas yang bisa dijual. Dia menjual Jesus kepada para Imam yang ingin menangkapnya seharga tiga puluh keping perak. Tiga puluh keping perak, Saudara! Bahkan pada saat itu pun, itu bukan jumlah yang mewah.
Dikisahkan, setelah Perjamuan Terakhir dengan para muridnya, Jesus kemudian keluar jalan-jalan di Taman Getsemani. Di sinilah peristiwa penangkapan dan pengkhianatan itu terjadi. Karena para penangkap Jesus tidak tahu mana Jesus yang sesungguhnya, Judas memberinya tanda. Tandanya adalah Judas akan mencium seseorang. Siapapun yang dicium Judas, dialah Jesus.
Jika ciuman biasanya menjadi ekspresi cinta, kasih sayang, penghormatan, dan persahabatan, maka ciuman Judas adalah ciuman kematian. Sampai sekarang, istilah “kiss of death” atau ciuman kematian merujuk pada peristiwa ciumas Judas ke Jesus itu. Ciuman kematian adalah ciuman seorang pengkhianat; Ciuman yang sekilas tampak seperti sebuah ekspresi kasih sayang, tapi ujungnya adalah tikaman kematian.
Jika Judas adalah simbol pengkhianatan seorang murid kepada gurunya, maka Brutus adalah simbol pengkhianaan sahabat kepada pelindung sekaligus junjungannya. Brutus, lengkapnya Marcus Junius Brutus, adalah salah seorang senator Romawi. Namanya terkenal bukan karena karya-karya hebatnya di dunia politik, tapi karena pengkhianatannya kepada Julius Caesar.
Pada saat pecah Perang Sipil (49-45 SM), dia bersekutu dengan Pompey melawan Julius Caesar. Pasukan Pompey akhirnya kalah melawan pasukan Julius Caesar dan terbunuh di pelariannya, Brutus menyerah kepada Caesar. Brutus tidak hanya diampuni, bahkan dijadikan sahabat dekat Caesar dan orang kepercayaannya.
Melalui Caesar, Brutus mendapatkan jabatan tinggi. Caesar mengangkatnya sebagai Gubernur untuk wilayah Cisalpine Gaul (sekarang Italia Utara). Dia juga diangkat menjadi salah seorang anggota pendeta senior. Kekuasaan Brutus semakin tinggi berkat jabatannya sebagai Praetor (Hakim Tinggi). Caesar juga mengangkatnya sebagai konsul, salah satu dari jabatan tertinggi dalam tata pemerintahan Romawi Kuno.
Segala pangkat dan jabatan Brutus ini tidak mungkin didapatkan jika bukan karena kebaikan seorang Julius Caesar. Karena itu, betapa kagetnya Caesar ketika sahabat baiknya, orang kepercayaannya yang sudah dianggap seperti saudara sendiri, justru ikut berkomplot mengkhianatinya.
Di awal tahun 44 SM, para senator tengah berkonspirasi untuk membunuh Caesar. Brutus ikut, bahkan menjadi konspirator aktif, dalam rencana pembunuhan sahabat baiknya itu. Pada 15 Maret 44 SM, Brutus bersama para senator lain membunuh Julius Caesar dengan menikamnya saat Caesar hadir ke sebuah rapat atas undangan para senator.
Mengetahui bahwa Brutus adalah salah satu penikamnya, Caesar seakan tak percaya. Politisi bau kencur yang diampuninya dan diangkatnya ke dalam posisi politik terhormat itu mengkhianatinya. Bahkan turut menikamkan pisaunya. Oh gosh!
“Et tu, Brute?” Itulah kalimat terakhir Caesar sebelum roboh dengan tiga puluh lima tikaman pisau di sekujur tubuhnya. Kalimat itu menjadi kalimat yang sangat terkenal dalam sejarah politik yang diucapkan seorang pimpinan politik sebelum kematiannya.
Makna harfiah “Et tu, Brute?” adalah “Engkau juga, Brutus?” Seakan tak percaya hingga di titik akhir nyawanya keluar dari kerongkongannya meneriakkan kalimat itu. Caesar baru sadar bahwa dia dikhianati orang kepercayaannya sendiri, anak didiknya sendiri, anak muda yang diangkat ke posisi yang sangat tinggi.
Caesar tahu bahwa hampir semua senator menikamnya.Tapi itu bisa diterimanya karena mereka lawan politik yang sejak awal sudah mengintai untuk menjatuhkannya. Tapi Brutus? Bagaimana dia bisa berkomplot dengan para musuhnya? Bagaimana bisa?
Begitulah selalu wajah pengkhianatan. Yang menyedihkan dari pengkhianatan bukan karena si pengkhianat melawan kita. Yang sangat menyedihkan adalah karena itu bukan dilakukan oleh musuh. Sebuah tindakan yang disebut sebagai pengkhiatan selalu datang dari orang yang kita percaya.
Bagi seorang pengkhianat, tiga puluh keping perak sudah cukup untuk menyerahkan junjungannya kepada para pembunuh, asal keping perak itu diberikan saat ini, tunai. Kata Mark Twain atau Samuel Langhorne Clemens (1835-1920), jika kita mengambil anjing yang kelaparan dan memberinya makan, si anjing tidak akan menggigit kita. Itulah yang membedakan antara anjing dengan pengkhianat.
*Artikel ini telah diposting pada https://arina.id/perspektif/ar-JRLWU/ciuman-kematian-dan-gigitan-anjing?page=2 tanggal 20 Agustus 2023