Column
Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H *)
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara FSH UINSA Surabaya

Penulis pada Kamis 27 Februari 2025 menghadiri kegiatan yang diselenggarakan oleh Center for Marginalized Communities Studies Surabaya bekerjasama dengan SEMA Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, dan didapuk sebagai narasumber pada acara bertajuk “Launching De Jure (Democratic Judicial Reform) dan Diskusi Publik’ serta “Pelantikan Raya Se-Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya dan Talkshow Nasional”. Acara kali ini mengangkat tema: “Memperluas Kewenangan v.s Memperkuat Pengawasan: Kritik RUU POLRI, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan”. Kali ini penulis bersama (panel dalam satu meja) dengan 3 (tiga) narasumber yang berasal dari Jakarta yaitu Bathara Ibnu Reza, Ph.D selaku Direktur De Jure/Anggota Komisi Kejaksaan RI 2019 – 2023, Julius Ibrani selaku Ketua Umum PBHI Nasional, dan Muhammad Haripin salah satu Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Atas undangan tersebut penulis mengangkat makalah sebagaimana tema Seminar itu sendiri dengan hanya mengubah kata ‘Kritik’ menjadi ‘Catatan Kritis’ yaitu “Memperluas Kewenangan v.s Memperkuat Pengawasan: Catatan Kritis RUU POLRI, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan”.

Yang menjadi pertanyaan adalah adakah yang beda antara tema Seminar Hukum dengan Makalah yang penulis sampaikan? Serupa tapi tidak sama. Jika kita menggunakan kata ‘Kritik’ berarti itu masuk dalam ranah politik, dan mungkin ‘dapat dipolitisasi’ – karena terkadang hanya dengan mengedepankan opini, bahkan asumsi atau sekedar konsepsi tanpa dasar hukum. Sedangkan kalau ‘Catatan Kritis’, berarti masuk dalam ranah hukum karena ada telaah atau analisis terhadap pasal-pasal yang dimungkinkan ‘ambigu’, multi tafsir dan/atau tumpang tindih (over lapping). Jadi dalam hal ini, ‘catatan kritis’ tersebut merupakan analisis/telaah berdasarkan argumentasi (logika) hukum dari pasal-pasal yang ada.

Meski demikian, ada satu catatan kritis yang luar biasa dari kegiatan ini – bahwa: Pertama, mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan bangsa benar-benar memiliki jiwa high responsibility terhadap setiap perubahan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara ini – sehingga mereka memiliki sikap care, antisipasi, dan tidak antipati. Kedua, mahasiswa dalam mewujudkan kehendaknya tersebut menggunakan jalur yang benar berupa panggung ekspresi mimbar akademik dan tidak sekedar turun ke jalan tanpa arah dan tujuan. Ketiga, mahasiswa benar-benar membangun budaya dialog akademik terhadap setiap permasalahan-permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara terutama di bidang ketatanegaraan. Itu semua merupakan wujud kejernihan dan kedewasaan berpikir, serta kearifan dalam bertindak. Itu semua merupakan refleksi dan gambaran dari sejatinya calon generasai emas masa depan bangsa.

Acara yang dihadiri tudak kurang dari 100 audiens yang terdiri dari mahasiswa/i secara khusus dan masyarakat umum yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu terkait dengan lembaga penegak hukum dan praktik penegakan hukum di Indonesia, cukuplah antusias.

Isu RUU POLRI, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan

Isu terkait RUU POLRI, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan telah menjadi isu nasional dan sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) tahun 2024 di era Presiden Joko Widodo. Tetapi pembahasan tentang RUU-RUU tersebut masih banyak catatan dari para ahli hukum, dan kritik dari para polikus – bahkan juga terjadi penolakan oleh Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia. Mengapa? Menurut Koalisi sejumlah lembaga penegak hukum itu, tak ada indikasi perbaikan institusi. Sejumlah lembaga penegak hukum itu dinilai malah berlomba-lomba menambah kewenangannya. Padahal reformasi lembaga hukum dan militer dilakukan bukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan memperkuat lembaga pengawas independen (https://news.detik.com/berita/d-7782517/alasan-koalisi-masyarakat-sipil-tolak-ruu-tni-ruu-polri-dan-ruu-kejaksaan)

Terlepas dari permadalahan penolakan dan penerimaan atas RUU POLRI, RUU TNI dan RUU Kejaksaan, sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi beberapa asas yang menurut I.C. van der Vlies dalam bukunya ‘Het Wetsbegrip en Beginselen van Behoorlijke Regelgeving’ terdiri dari asas formal dan asas material. Asas formal meliputi: (1) asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); (2) asas organ/Lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan); (3) asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel); (4) asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); dan (5) asas konsensus (het beginsel van consensus). Seadangkan asas material terdiri dari: (1) asas tentang terminologi dan nsistematikan yang benar (het beginsel van duidelijke terminology en duidelijke systematiek); (2) asas tentang dapat dikenal (het beginsel van de kenbaarheid); (3) asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheids beginsel); (4) asas kepastian hukum (het rechtzekerheids beginsel); dan (5) asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).

Sedangkan pakar perundangan-undangan Indonesia A. Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut adalah yang memenuhi asas-asas yang formal dan asas-asas yang material yang sesuai dengan pedoman antara lain: (1) cita hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang mencakup sila-sila sebagai cita (idee), yang berlaku sebagai ‘bintang pemandu’. (2) asas negara hukum dan asas pemerintahan yang berdasarkan sistem konstitusi, yaitu norma fundamental yang juga Pancasila dalam hal ini sila-sila Pancasila sebagai sebagai suatu norma (grand norm). (3) asas-asas lainnya, yaitu asas negara hukum yang menempatkan UU sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum (der primat des rechts), dan asas pemerintahan berdasarkan atas konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggraaan kegiatan-kegiatan pemerintahan.

Asas-asas pembentukan peraturan perundangan-undangan yang baik/patut tersebut menjadi subtansi dan diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Artinya semua pembentukan pertauran perundang-undangan harus merujuk dan berpedoman Undang-Undang tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, bahwa: (1) setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai (asas tujuan); (2) setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibut oleh Lembaga negara/Lembaga pembentukan peraturan perundang-undangan (asas kelembagaan); (3) pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan muatan materi yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan (asas kesesuaian jenis & hierarkis); (4) setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus dapat dilaksanakan/efektivitas dalam Masyarakat (asas dapat dilaksanakan); (5) setiap pembentukan peraturan perundang-undanganharus benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat mengatur kehdiupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (asas dayaguna); (6) setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan tehnik yaitu sistematika, pilihan kata/istilah, dan hasa hukum (asas kejelasan rumusan); (7) setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus dimulai dari perencanaan sampai dengan pengundanga secara terbuka kepada Masyarakat (asas keterbukaan).

Selain proses pembentukannya, muatan materi peraturan perundang-undangan harus menuhi bebwra asas yaitu: pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka Tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).

Catatan Kritis RUU POLRI, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan

Berikut adalah catatan kritis terkait dengan RUU POLRI, RUU TNI, RUU Kejaksaan yang dapat dilakukan dan dijadikan sebagai sharing akademik agar pembahasan ketiga RUU tersebut memenuhi kriteria pembentukan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan patut.

Pada RUU Polri di antaranya adalah: Pertama, pasal-pasal yang cenderung adanya perluasan dan konflik kewenangan (Overlapping), seperti Pasal 14 ayat (1) huruf d, Pasal 14 ayat (1) huruf e, Pasal 14 ayat (1) huruf f, Pasal 14 ayat (1) huruf l, Pasal 14 ayat (1) huruf n, dan Pasal 14 ayat (1) huruf m. Kedua, pasal-pasal yang membuka ruang polri melakukan tindakan apapun tanpa proses hukum antara lain Pasal 16 ayat (1) huruf q (penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber). Ketiga, pasal-pasal  yang mengancam pihak asing/luar (negeri) yang bersolidaritas terhadap kondisi demokrasi dan HAM di Indonesia, antara lain Pasal 16A huruf d (deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman termasuk keberadaan dan kegiatan orang asing). Keempat, pasal-pasal yang memuat perluasan eksesif kewenangan intelkam dan konflik kewenangan antara lain Pasal 16B ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 16A. Kelima, pasal-pasal yang memberi peluang Polri untuk berbisnis, antara lain: Pasal 14 (1) huruf a (bisnis jasa penjagaan & pengawalan), Pasal 14 (2) huruf c (berbisni di smart city). Keenam, pasal-pasal yang memungkinan menjadikan Polri sebagai Lembaga superbody, antara lain Pasal 16 ayat (1) huruf n (superbody dalam penyidikan), Pasal 16 ayat (1) huruf p, Pasal 14 ayat (1) huruf h, dan Pasal 14 ayat (1) huruf g (superbody investigator). Ketujuh, pasal-pasal yang rentan penyalahgunaan kewenangan penyadapan antara lain 14 ayat (1) huruf o. Kedelapan, pasal-pasal yang terhalangnya regenerasi dan potensial menjadikan polisi “institusi politik, yaitu Pasal 30 tentang batas usia pension anggota Polri yang diperpanjang.

Sebagai catatan akhir atas RUU POLRI, meski menambah deretan kewenangan terhadap Kepolisian, namun RUU Polri tidak secara tegas mengatur perihal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) bagi institusi Polri dan anggotanya. RUU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian (selaku pengawasan internal) serta Komisi Kepolisian Nasional (selaku pengawasan eksternal) sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Sudah seharusnya RUU Polri juga mengatur perihal oversight mechanism yang kuat terhadap institusi Kepolisian.

Pada RUU TNI di antaranya Pasal 47 ayat (2) yang mengatur bahwa Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor  yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yangmembutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan  kebijakan Presiden. Ketentuan ini membuka peluang prajurit aktif mengisi jabatan di semua kementerian atau Lembaga. Hal ini sebagaimana pada masa pemberlakukan Dwi Fungsi ABRI di era Orde Baru.

Selain itu Pasal 53 ayat (1) mengatur tentang penambahan usia pension anggota TNI, bahwa Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun bagi perwira dan paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi bintara dan tamtama. Hal ini perlu memperhitungkan dampaknya, apakah perpanjangan usia pension tersebut akan meningkatakan efektivitas kerja personel di usia lanjut termasuk juga pertimbangan dari aspek fisik, psikis, dan kapasitas.

Sedangkan terhadap RUU Kejaksaan beberapa catatan kritisnya terkait dengan kewenangan jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali (Pasal 30C huruf h). Pasal ini telah dibatalkan oleh MK yang dalam amar putusannya menyatakan, bahwa kewenangan jaksa mengajukan peninjauan kembali (PK) bertentangan dengan UUD 1945. Pertimbangan MK bahwa penambahan kewenangan jaksa mengajukan PK menimbulkan ketidakpastian hukum, dan juga melanggar hak atas pengakuan, jaminan, dan perlindungan kepastian hukum yang adil. Pasal ini seharusnya menjadi materi dalam RUU Kejaksaan yang dihapus.

Berdasarkan paparan tersebut maka terhadap ketiga RUU hyang terpenting bukan sekedar penambahan kewenangan tetapi harus dibarengi dengan proses pengawan yang terpadu yaitu proses pengawas secara internal dan ekternal. Karena kekuasaan/kewenangan tanpa pengawasan akan melahirkan  kesewenang-wenangan.