Column

BERHARAP PADA OPOSISI

Oleh: Dr. H. Moh. Syaeful Bahar, S.Ag, M.Si.
Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama

 

Pemilu 2024 telah usai. Gambaran pemenang Pilpres maupun Pilleg sudah dapat diterka. Versi quick count, pasangan 02, Prabowo-Gibran hampir bisa dipastikan akan keluar sebagai pemenang. Pasangan ini benar-benar pecah telor, melampaui the magic number 50 persen. Jika ini benar, maka Pilpres hanya satu putaran. Tak ada lagi kontestasi dan kompetisi calon presiden dan wakil presiden. Tentu perolehan ini belum final, kita perlu bersabar untuk memastikan siapa pemenangnya, hingga real count KPU RI diumumkan.

Tidak hanya hasil Pilpres, partai pemenang Pilleg pun sudah dapat diraba. Semua lembaga survei menempatkan PDIP sebagai jawaranya. Mereka berhasil hattrick dalam tiga pemilu terakhir, disusul Golkar, Gerindra dan PKB. Sedikit terdapat anomali, PDIP menang di Pilleg tapi gagal di Pilpres. Sebaliknya Gerindra, mereka berhasil mengantarkan Prabowo namun gagal meraih insentif elektoral di Pilleg. Gerindra hanya berada di posisi ketiga, kalah ke Golkar yang tak punya calon presiden ataupun wakil presiden.

Komposisi Koalisi dan Opisisi

Mari kita baca data. Data sementara yang telah dirilis oleh beberapa lembaga survei nasional. Bukan data perolehan suara di Pilpres, data Pilpres kita kunci, kita anggap Prabowo-Gibran menjadi pemenangnya. Sekarang kita fokus pada data Pilleg, pada partai-partai yang berpotensi mendudukkan kader-kadernya di DPR RI.

Untuk sekadar mempermudah, kita pilih data yang dirilis oleh Litbang Kompas. Menurut Litbang Kompas, terdapat empat partai politik yang perolehannya tembus di atas 10 persen, yaitu PDIP dengan 16,29 persen, menjadikannya menjadi pemenang pada Pilleg 2024, disusul Golkar 14,65 persen, Gerindra 13,55 persen dan PKB 10,83 persen. Berikutnya beberapa partai yang masuk ke senayan atau mendapatkan 4 persen suara atau lebih, yaitu Nasdem dengan 9,75 persen, PKS 8,45 persen, Demokrat 7,61 persen dan PAN 7,06 persen. Selebihnya adalah partai-partai yang tak tembus parliamentary threshold atau tidak mencapai empat persen suara nasional.

Dari 8 partai yang lolos ke senayan, komposisi dukungan pada calon presiden menarik untuk diamati. Terdapat empat partai yang mendukung Prabowo-Gibran, yaitu Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat. Sedang empat partai lainnya, tidak mendukung, dan terbelah ke dua pasangan lainnya. PDIP ke pasangan Ganjar-Mahfud dan PKB, Nasdem serta PKS ke pasangan Anies-Muhaimin.

Jika disimulasi empat partai yang tak mendukung pasangan Prabowo-Gibran bersikukuh tak masuk dalam kabinet, maka empat partai tersebut akan berpotensi menjadi kekuatan oposisi di parlemen. Empat partai tersebut akan berhadapan dengan empat partai pendukung pemerintah. Dengan jumlah partai yang seimbang, maka posisi oposisi akan menjadi lebih kuat dan memiliki potensi menjadi sparring partner yang layak dan imbang bagi kekuatan politik pemerintah di parlemen.

Dengan perolehan suara PDIP 16,29 persen, PKB 10,83 persen, Nasdem 9,75 persen dan PKS 8,45 persen, maka akumulasi dari empat partai yang berpotensi menjadi oposisi ini adalah 45,32 dari seluruh jumlah suara di pemilu legislatif tahun 2024. Kelompok partai yang berpotensi jadi oposisi ini akan berhadapan dengan Gerindra 13,55 persen, Golkar 14,65 persen, Demokrat 7,61 persen dan PAN 7,06 persen atau setara dengan 42,87 persen suara di pemilu legislatif tahun 2024.

Melihat jumlah partai dan jumlah pencapaian suara partai pendukung pemerintah dan partai oposisi maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan politik keduanya di parlemen akan sangat berimbang. Kondisi berimbang ini tentu menjadi berita baik bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka kondisi politik Indonesia akan lebih dinamis dan akan lebih demokratis dibandingkan 20 tahun terakhir, yaitu sejak kepemimpinan Presiden SBY di periode tahun 2004 hingga 2014, dan dilanjutkan pada periode kepemimpinan Presiden Jokowi 2014-2024.

Demokrasi Berharap Pada Oposisi

Menurut Irish Young (2002), demokrasi tergantung pada dua hal penting, yaitu partisipasi dan anti-subordinasi. Di posisi ini, oposisi menjadi sangat penting bagi eksistensi demokrasi. Oposisi adalah konsekuensi dan adanya partisipasi masyarakat, sedangkan pada saat yang sama, demokrasi membutuhkan dan membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat. Dengan oposisi, pembagian kekuasaan (division of power) sebagai prasyarat demokrasi akan lebih mudah diwujudkan.

Indonesia punya pengalaman panjang tentang bagaimana demokrasi dihancurkan oleh otoritarianisme dan kediktatoran. Masa Orde Lama dan Masa Orde Baru adalah contoh kongkrit, yaitu saat kekuasaan hanya berpusat pada satu kekuatan atau bahkan pada satu orang. Penguasa dictator di masa Orde Lama dan Orde Baru tidak lahir serta merta, mereka lahir saat oposisi tidak berwujud, saat perbedaan atas kebijakan tidak disuarakan, di saat kebijakan hanya menfasilitasi kekuasaan dan sepi dari partisipasi, di saat penguasa menganggap dirinya pemilik mutlak tafsir kebenaran.

Penguasa tiran dan despotik tidak selalu lahir dari kepribadian dan bentukan karakter seseorang, tapi seringkali lahir dari lemahnya sebuah sistem. Sistem gagal menfasilitasi ruang kritik dan debat. Sistem tumpul saat berhadapan dengan kekuasaan yang dominan dan di saat yang sama, kelompok di luar pemerintah tak berdaya untuk memberikan pandangan lain atas kebijakan penguasa.

Gedung DPR sebagai tempat para politisi bertarung gagasan menjadi tempat yang paling ideal untuk menyuarakan aspirasi dan tarung gagasan antar politisi, sehingga penguasa, dalam hal ini pemerintah tidak akan terseret pada jebatan prilaku otoriter dan tiran. Oleh sebab itu, eksistensi oposisi menjadi sangat bernilai bagi demokrasi Indonesia di lima tahun ke depan. Oposisi di parlemen, oposisi di gedung DPR RI.

Mari kita berharap, semoga saja empat partai yang tak berhasil mengantarkan kadernya menjadi presiden maupun wakil presiden akan tetap konsisten di jalan oposisi. PDIP, PKB, Nasdem dan PKS memilih jalur oposisi, empat partai ini tetap berdiri sebagai kekuatan penyeimbang kekuatan pendukung pemerintah. Dengan begitu, harapan bahwa demokrasi Indonesia akan tumbuh dan segera bergeser menjadi terkonsolidasi—tidak selalu di posisi transisi—akan lebih memiliki masa depan cerah. Semoga…