Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Seorang pejabat utama madya kementerian sedang melakukan presentasi. Begini isinya: “Kami menawarkan program pembiayaan dengan kredit murah. Bentuknya Kredit Usaha Rakyat. Ada juga program kredit permodalan bagi perempuan untuk berusaha. Juga ada beberapa program pelatihan usaha.” Program-program tersebut ditawarkan sebagai bentuk intervensi kebijakan kemnterian dimaksud dalam rangka pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Atas sejumlah tawaran program di atas, sejumlah pertanyaan pun muncul dari peserta rapat. Pertanyan-pertanyaan tersebut langsung mengkritisi dan menunjuk program-program yang dipresentaiskaan sang pejabat utama madya di atas. “Lho, kenapa bentuknya kredit?” sahut seorang peserta rapat mencoba mempertanyakan. Yang lain menimpali, “Kenapa tidak ada program pemulihan yang bentuknya pemberian dana pembiayaan, sebagai contoh?”
Menimpali dua pertanyaan peserta rapat di atas, seorang peserta rapat lainnya bahkan lebih dalam bertanya: “Kalau semua program bentuknya tawaran kredit pembiayaan, lalu bedanya apa antara warga masyarakat yang menjadi korban pelanggaran HAM berat dengan warga pada umumnya, atau bahkan yang pernah mengalami konflik sosial biasa sekalipun?” Sahutan pertanyaan lain pun menyeruak: “Kalau program yang ditawarkan kepada mereka berbentuk kredit pembiayaan seperti itu, tidak perlu dong menjadi korban pelanggaran HAM berat?!”
Pertanyaan-pertanyaan kritis di atas muncul dari kegelisahan yang sangat mendalam atas tawaran program pemulihan oleh salah seorang pejabat utama madya sebuah kementerian di atas. Gelisah karena pimpinan instansi dimaksud tercatat belum pernah hadir jika diundang untuk sekian kali rapat yang diselenggarakan langsung oleh Tim Monitoring Pelaksanaan Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat (disingkat Tim PKPHAM). Tim ini dibentuk oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 4 Tahun 2023. Tugasnya adalah melakukan monitoring, pengawasan dan evaluasi terhadap kerja sembilanbelas Kementerian/ Lembaga yang mendapatkan perintah khusus Presiden melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 tahun 2023 untuk melakukan pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Mendapati kenyataan kinerja dan sekaligus catatan rencana salah satu instansi di atas serta respon cukup keras para peserta rapat, saya tertarik mengamati sikap dan pembawaan diri serta cara pimpinan sidang menyelesaikan keruwetan persoalan yang muncul selama rapat. Apalagi, kejadian itu muncul pada rapat koordinasi. Itulah rapat yang mempertemukan sekian macam pemangku kepentingan yang berbeda-beda. Meski instansinta beda-beda, keperluannya satu, yakni untuk membahas satu isu yang sama hingga menghasilkan keputusan yang menjadi kesepakatan bersama atasnya. Dengan begitu, sebuah program yang hendak dijalankan mendapatkan telaah yang seksama, mulai dalam bentuk mitigasi resiko, identifikasi masalah-tantangan-peluang, hingga penyiapan langkah teknis pelaksanaan.
Memang, hari itu, Kamis, 15 Juni 2023, rapat koordinasi itu dilakukan untuk ke sekian kalinya. Apalagi waktu pelaksanaan peluncuran atau kick-off dimulainya pelaksanaan rekomendasi pemenuhan hak korban HAM berat masa lalu yang sudah sangat dekat untuk dilaksanakan. Yakni, tanggal 27 Juni 2023. Tinggal beberapa hari lagi kala itu. Tempat peluncurannya di Aceh. Tepatnya di Kabupaten Pidie. Titik lokasinya di Rumoh Geudong, yakni tempat kejadian pelanggaran HAM berat di Aceh semasa diberlakukannya kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM), mulai tahun 1989 hingga 1997.
Peserta rapat koordinasi itu adalah sembilanbelas kementerian dan lembaga yang mendapat perintah khusus dari Presiden RI seperti tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 tahun 2023. Rapat koordinasi itu dipimpin langsung oleh Ketua Pelaksana Tim PKPHAM, yakni Mayjen Teguh SP. Semua anggota tim PKPHAM hadir untuk membersamai Ketua untuk melakukan sinkronisasi dan konrektisasi rencana program pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu oleh kesembilanbelas kementerian dan lembaga sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Berlangsung sepanjang hari, rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkoplhukam) itu pun serius dilakukan untuk mencermati setiap poin tahapan perencanaan. Setiap potensi risiko dimitigasi. Setiap potensi masalah diidentifikasi. Dari persoalan substansi hingga teknis. Karena itu, keterlibatan pimpinan lintas kementerian sangat dibutuhkan. Semua itu agar persiapan peluncuran atau kick-off dimulainya pelaksanaan rekomendasi pemenuhan hak korban HAM berat masa lalu bisa dilakukan secara maksimal.
Tentu karena melibatkan sembilanbelas kementerian dan lembaga, rapat koordinasi itu pun membutuhkan keterampilan yang ciamik dalam meramunya. Posisi Mayjen Teguh SP sebagai Ketua Pelaksana sangat penting untuk menjaga ritme dan irama jalannya rapat. Ada yang datang dengan paket program yang keren. Ada yang hadir dengan rencana kegiatan yang setengah matang. Ada pula yang muncul tanpa adanya program aksi yang jelas nan mapan sebagai sebuah penunaian tugas negara yang khusus diberikan untuk memenuhi hak-hak para korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Di tengah situasi itu, akupun terpesona dengan kepemimpinan dan karakter personal Mayjen Teguh SP. Yang bagus diapresiasi dengan penuh ketulusan. Yang setengah bagus diluruskan agar memenuhi ekspektasi negara seperti yang digariskan oleh Presiden dalam Inpresnya. Dan, yang parah sekalipun karena datang dengan program aksi yang tidak jelas ditegur dan bahkan diperingatkan. Bukan saja diingatkan. Itu karena dari sekian kali rapat koordinasi, ada yang baru sekali datang padahal waktu pelaksanaan kick-off program pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh tinggal duabelas hari saja kala itu.
Terhadap kasus yang disebut terakhir, semua anggota tim berada dalam campur aduk perasaan. Mulai kaget, kesal, hingga menyesalkan. Intinya, sulit menerima apa yang telah dilakukan oleh sejumlah kementerian dan lembaga yang datang dengan ketidakjelasan program aksinya selama masa awal pelaksanaan curah pendapat, penyamaan persepsi, sinkronisasi hingga persiapan jelang kick-off yang waktunya sangat pendek saat itu. Hingga gumam pun menyeruak, mulai dari ungkapan “Ini gimana toh kok hingga jelang kick-off ada instansi yang belum memahami semangat Inpres!?” hingga kalimat gerah berikut: “Bapak/Ibu sih baru ikutan rapat setelah sekian kali tidak pernah hadir pada undangan-undangan rapat sebelumnya!” Semua ungkapan itu muncul saat merespon ketidakjelasan program sejumlah instansi kementerian dan lembaga.
Melihat situasi itu, akupun, sekali lagi, terpesona dengan cara memimpin rapat koordinasi Mayjen Teguh. Tegas tapi ketegasan itu disampaikan dengan pembawaan yang kalem dan cool. Meski kesal, intonasi bicaranya sangat datar. Tidak tinggi. Apalagi menyentak. Meski sebal, pembawaannya tetap adem. Tak tampak sedang dalam keadaan tidak suka. Diksi yang muncul dari bicaranya tetap sangat positif. Intinya, tak ada tanda-tanda emosional. Apalagi tidak terkendali. Tidak tampak sama sekali. Ekspresi dirinya sangat terjaga. Pembawaannya sangat santun.
Meski begitu, dia sangat tegas. Tegas sekali dalam memimpin jalannya rapat. Latar belakangnya yang militer tentu membentuk kepemimpinan yang tegas itu. Semua dalam koordinasinya yang tangkas. Hanya saja, di tengah ketegasan yang terukur itu, tak tampak sama sekali bahwa dirinya sedang berada dalam ketidaksetujuan yang tinggi dengan sikap dan praktik kurang baik sejumlah pihak yang sedang dilakukan koordinasi. Akhirnya, ketidaksetujuan pun dikelola dengan sangat baik penuh ketangkasan menuju semangat utama dari agenda rapat.
Duh, akupun belajar dari kepemimpinan Ketua Tim PKPKHAM itu. Cara, gaya, dan pembawaanya dalam mengelola jalannya rapat koordinasi tingkat tinggi mengajarkan kepada saya bagaimana kepemimpinan yang asertif itu dipraktikkan oleh seorang jenderal. Siapapun kita yang tumbuh dan berkembang di tengah budaya masyarakat sipil dan budaya birokrasi sipil, seperti diriku, pula harus mengambil banyak pelajaran penting dari kepemimpinan asertif pimpinan saya di Tim PKPHAM ini.
Tidak ada kata terlambat untuk mengembangkan kepemimpinan asertif itu. Tidak ada kata kata telat untuk selalu belajar atas nilai positif. Dan, mengalami langsung bagaimana seorang jenderal memimpin rapat koordinasi tingkat tinggi lintas kementerian dan lembaga sebanyak sembilanbelas memberiku kesempatan emas untuk belajar dengan cara mengalami langsung bagaimana kepemimpinan asertif itu dikembangkan dan dipraktikkan.
Kubaca dan kucerna selama ini teori experiential learning. Lama kuidolakan. Tapi, keberadaanku di Tim PKPHAM memberiku kesempatan emas untuk meresapi dan menerjemahkan teori itu. Di tim itu, aku pun mengalami langsung eksperimentasi dan implementasi nilai kepemimpinan asertif yang sedang dipraktikkan oleh pimpinanku.
Akupun jadi makin percaya dengan prinsip teori experiential learning berikut ini: belajar dengan mengalami langsung memiliki dan memberi dampak yang jauh lebih besar daripada belajar atas sesuatu dengan cara membaca pengalaman orang lain. Terima kasih Bapak Presiden yang telah memberiku amanah di Tim PKPHAM ini, dan memungkinkanku mengalami serta menjalani teori experiential learning itu. Terima kasih pula Bapak Ketua Tim; engkau telah memberiku pelajaran hidup yang penting: kepemimpinan asertif.
Akhirnya, kita dingatkan oleh konsep lifelong learning. Belajar sepanjang hayat. Minal mahdi ilal lahdi. Ajaran universal ini muncul karena alasan mendasar: tidak ada manusia yang sempurna, dan karena itu masing-masing kita harus terus belajar selama hayat masih di badan. Dan dalam semangat hidup inversal ini, belajar kepemimpinan asertif patut kita lakukan dengan tidak menunjuk ke jidat orang lain. Kita penting mengasup prinsip ajaran berikut: pelajaran yang didapat dalam hidup bukan untuk menohok orang lain, tapi untuk perbaikan internal ke dalam hidup sendiri. Kisah yang kutulis ini juga bukan untuk menunjuk hidung sesama. Bukan pula untuk menertawakan siapapun. Apalagi menistakannya. Tapi, kisah itu kutulis sebagai sumber kebajikan untuk perbaikan kualitas hidup sebuah kepemimpinan. Belajar kepemimpinan asertif yang menjadi semangat tulisan ini hanya untuk proses reflektif, bukan agresif untuk merendahkan atau menyerang sesama. Semoga.