BATU RAKSASA PENYEMANGAT MUSLIM INDONESIA
TOUR DAKWAH DI LONDON (9)
“Saya lanjutkan berkisah tentang ditemukannya batu besar dalam penggalian parit. Tak ada satu pun sahabat yang kuat memukulnya. Mereka nyaris pesimis melanjutkan penggalian).”
Oleh: Moh. Ali Aziz
INILAH buka puasa yang saya tunggu-tunggu bersama pengurus IIC (Indonesia Islamic Centre) di gedung bekas sinagog dan gereja yang akan dijadikan Masjid dan pusat kegiatan muslim Indonesia.
Saya ingin sekali menjumpai para tokoh di balik keberhasilan membeli lahan mahal di London itu.
“Hampir semua pengurus hadir pak,”
Kata pengurus, sambil menunjuk 50 orang mahasiswa dan pekerja Indonesia yang duduk lesehan di atas karpet.
Di atas bus menuju lokasi, pengurus yang mendampingi saya bertanya,
“Apa materi tausiyah malam ini,?”
“Tawashau bis Shabr,” jawab saya.
“Apa saja isinya pak?” tanyanya penasaran.
“Lha kalau saya jelaskan di bus, kan tidak aktual lagi pak,” jawab saya berkelakar.
Topik itu bertujuan menguatkan semangat, kesabaran, keuletan, dan persatuan di antara semua pengurus IIC.
“Great,” responnya sambil mengangkat dua jempol.
Ketika saya memasuki ruangan, KH Hamim Syaaf, sesepuh IIC sedang memimpin bacaan Yasin dan tahlil yang dilanjutkan dengan ceramah singkat.
Ketika saya membisikkan doa umur panjang, beliau mengatakan,
“Umur saya sudah 85 tahun.”
Ia bercerita, bahwa setelah pulang dari studi di Syiria, ia diminta Pak Probosutejo, saudara Presiden Soeharto untuk menjaga rumahnya di London.
Sejak itulah, ia terlibat dalam dakwah di London sampai hari ini.
“Saya merasa tersanjung diminta bicara di depan para pejuang Islam di Inggris. Mari kita membaca surat Al Fatihah. Semoga semua keringat para pejuang diganti dengan kemuliaan keluarganya serta parfum dalam kubur dan surganya,” ajak saya.
Lalu, semua hadirin termasuk Atase Dikbud KBRI, Prof. Dr. Khairul Munadi, juga Bapak Andaru Dhaniswara, pejabat fungsi Penerangan dan Sosial Budaya KBRI, dan Bapak Ari Wibowo, pejabat Unit Komunikasi KBRI menunduk mempersembahkan doa untuk para pendahulu.
“Mohon selama saya berceramah, bapak ibu tidak menoleh ke kanan,” pinta saya.
Tapi, justru mereka menoleh ke arah nasi biryani, kebuli, kerupuk bulat dan putih, bubur kacang hijau dan aneka sajian berbuka lain di sebelah kanan mereka.
Gerrr…tawa mereka.
Setelah tawa mereda, saya berkisah tentang batu raksasa yang hampir mematahkan semangat pasukan Nabi SAW.
Ketika Nabi mencari strategi menghadapi musuh di Madinah, Salman Al Farisi mengusulkan, agar pasukan Islam tidak keluar Madinah.
“Cukup menggali parit memanjang beberapa kilo meter di sisi Madinah. Musuh berkuda yang mencoba memasuki Madinah akan terperosok, tidak bisa keluar, dan kita cabut nyawa mereka dalam galian,”
Saran anak muda itu dan Nabi SAW menerimanya.
“Begitulah bapak Ibu para pengurus IIC. Pemimpin tidak boleh melihat masukan seseorang berdasar senioritasnya. Terimalah masukan siapa pun, meskipun ia paling yunior, selama masukan itu terbaik. Itulah keteladanan Nabi SAW,”
Kata saya, lalu saya ajak mereka bershalawat bersama dengan lagu yang sudah familiar bagi mereka,
“Shalawat Jibril.”
Saya lanjutkan berkisah tentang ditemukannya batu besar dalam penggalian parit. Tak ada satu pun sahabat yang kuat memukulnya. Mereka nyaris pesimis melanjutkan penggalian.
Ketika pasukan melaporkannya, Nabi SAW dalam keadaan amat lapar, karena belum makan selama tiga hari. Nabi tenang sejenak, lalu berkata,
“Ana nazil (akulah yang menyelesaikannya).”
Saya meminta hadirin mengepalkan tangan dan menjotoskan ke atas sambil meneriakkan
“Ana nazil” sebanyak lima kali.
Dengan yel-yel itu, udara dingin dalam gedung itu seolah berubah panas seketika.
“Itulah pemimpin sejati. Tidak menyerah dengan tantangan,” kata saya menutup ceramah, sebab pengurus memberi isyarat datangnya saat berbuka.
“Setelah berjamaah Maghrib, kita akan mendengarkan ceramah tujuh menit, shalat Isyak dan tarawih,” Kata Yorga, mahasiswa S-3 yang aktif dalam kepengurusan IIC.
Saya dengarkan ceramah Mas Ruly Achdiat, pengurus NU Inggris dan IIC dengan rasa bangga dan kagum atas semangatnya belajar agama dan menyebarkannya.
Pulang tidak lagi naik bus, tapi diantar oleh Bapak Berry Natalegawa bersama istrinya.
“Beberapa tahun silam, saya berjalan kaki dari Malang ke Surabaya, pak,” kata kakak kandung mantan menlu RI, Marti Natalegawa.
Ia pelatih karate, pecinta jalan kaki, dan arsitek berpuluh tahun di London.
Terlalu singkat perjalanan malam itu, sebab asyik berdiskusi tentang rancangan arsitektur Masjid IIC, khususnya dalam perspektif syariah. Bersambung.