AI dan Problem Intelektualisasi dalam Proses Belajar Mahasiswa
Oleh
Sokhi Huda
(Kaprodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya)
Di era digital yang terus berkembang, kecerdasan buatan/Artificial Intelligent (AI) telah menjadi elemen yang tidak terpisahkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Kehadirannya menawarkan beragam manfaat, seperti efisiensi, aksesibilitas, dan personalisasi proses pembelajaran. Akan tetapi di balik semua kelebihan itu, AI juga menghadirkan tantangan tersendiri, terutama dalam hal intelektualisasi dalam proses belajar mahasiswa. Di sinilah muncul sebuah problematika yang mengundang refleksi mendalam; apakah penggunaan AI mendukung atau justru menghambat perkembangan intelektual mahasiswa? Karena itulah artikel singkat ini berusaha mengupas problematika ini, menggali potensi dan tantangan AI dalam dunia pendidikan, serta menawarkan wacana tentang kearifan belajar yang dapat membantu mahasiswa memanfaatkan teknologi secara bijak.
1. Keuntungan dan Dampak Transformasi AI dalam Pendidikan
Perkembangan AI dalam dunia pendidikan telah mengubah cara belajar mahasiswa. Salah satu kontribusi terbesar AI adalah kemampuannya menyediakan sumber daya pendidikan yang lebih cepat. Melalui platform berbasis AI, mahasiswa dapat mengakses materi kuliah sesuai dengan kebutuhan dan level kemampuan masing-masing, membantu mereka belajar dengan lebih personal.
Sebagai contoh, aplikasi-aplikasi pembelajaran seperti Duolingo dan Khan Academy menggunakan AI untuk menganalisis kemajuan belajar mahasiswa dan menyesuaikan tingkat kesulitan materi sesuai dengan kemampuan mereka. AI juga dapat memberikan umpan balik langsung, sehingga mahasiswa dapat memperbaiki kesalahan secara lebih cepat dan belajar secara lebih efektif. Tidak hanya itu, AI juga memfasilitasi pembelajaran jarak jauh, membuka peluang belajar yang lebih fleksibel bagi mahasiswa di berbagai belahan dunia.
Akan tetapi di balik keunggulan tersebut, terdapat dampak yang patut diperhatikan. Salah satunya adalah potensi kemunduran dalam kemampuan berpikir kritis dan kreatif mahasiswa. Jika proses belajar didominasi oleh AI, ada kekhawatiran bahwa mahasiswa mungkin cenderung mengandalkan teknologi untuk mencari jawaban secara instan, tanpa perlu mengerahkan daya ktiris atau mendalami topik secara mandiri. Bahkan ada kekhawatiran hipotetis bahwa kemauan baca mahasiswa mengalami penurunan. Dalam konteks PTKI, ada kemungkinan spirit “iqra’” (wahyu pertama al-Qur’an) tidak lagi dijunjung tinggi dalam pengalaman belajar. Hal ini dapat menghambat kemampuan intelektualisasi, yaitu proses berpikir mendalam dan reflektif yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan tinggi
2. Problem Intelektualisasi: Ketergantungan pada AI
Intelektualisasi dalam konteks pendidikan berarti kemampuan mahasiswa untuk berpikir secara kritis, menganalisis berbagai sudut pandang, dan menghasilkan pemahaman yang mendalam. Akan tetapi di era AI, ada kekhawatiran bahwa mahasiswa akan menjadi terlalu bergantung pada teknologi untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik. Misalnya, dengan adanya alat bantu berbasis AI yang mampu menulis esai atau menjawab soal-soal yang rumit, mahasiswa dapat tergoda untuk melewati proses berpikir yang seharusnya terjadi dalam tugas-tugas tersebut. Sebagai akibatnya, mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan analitis dan reflektif yang sangat penting dalam dunia akademik dan profesional.
Letak problematikanya adalah bagaimana cara memastikan bahwa penggunaan AI dalam pendidikan tidak mematikan kemampuan mahasiswa untuk berpikir secara mandiri? Apakah AI akan membuat mahasiswa “malas berpikir” karena jawaban sudah tersedia hanya dengan beberapa klik prompt? Hal ini merupakan dilema yang memerlukan perhatian serius dari kalangan pendidik dan mahasiswa itu sendiri.
3. Kearifan Belajar di Tengah Revolusi AI
Tantangan yang muncul akibat ketergantungan pada AI bukan berarti teknologi ini harus dihindari sepenuhnya. Sebaliknya, kuncinya adalah kearifan dalam memanfaatkan AI. Ada beberapa langkah yang bisa diambil mahasiswa untuk memastikan bahwa mereka tetap menjaga kemampuan berpikir kritis dan intelektualisasi, bahkan di era AI
a. Penggunaan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti
Mahasiswa perlu memahami bahwa AI hanyalah alat yang membantu mereka dalam proses belajar, bukan pengganti pikiran mereka. Dengan sikap ini, mereka dapat memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan kesempatan untuk berpikir mandiri. Misalnya, ketika menggunakan aplikasi AI untuk memecahkan soal eksak atau sosial, mahasiswa dapat memanfaatkan penjelasan yang diberikan AI untuk memahami konsep dasar, bukan hanya sekadar menyalin jawaban.
b. Refleksi mendalam dan evaluasi kritis
Setelah mendapatkan bantuan dari AI, mahasiswa sebaiknya meluangkan waktu untuk melakukan refleksi kritis atas jawaban atau materi yang telah diberikan. Pertanyaan seperti “mengapa jawaban ini benar?” atau “bagaimana solusi ini dapat diterapkan dalam konteks lain?” dapat membantu memperdalam pemahaman. Dengan demikian, proses intelektualisasi tetap berjalan meskipun ada campur tangan teknologi.
c. Pengembangan keterampilan kreatif dan berpikir inovatif
Meskipun AI dapat membantu penyelesaian tugas-tugas rutin bahkan tugas akhir, aspek kreativitas dan inovasi tetap menjadi ranah manusia. Mahasiswa perlu terus melatih kemampuan mereka dalam berpikir out-of-the-box dan mencari solusi yang unik. AI mungkin dapat memberikan jawaban yang cepat, tetapi inovasi dan kreativitas sering kali lahir dari pemikiran yang tidak linier dan refleksi mendalam, yang tidak dapat sepenuhnya diotomatisasi oleh teknologi.
4. Peran Pendidik dalam Mengarahkan Penggunaan AI
Selain dari mahasiswa itu sendiri, pendidik juga memainkan peranan penting dalam usaha mendorong penggunaan AI yang bijak di lingkungan pendidikan. Para dosen perlu mendesain tugas-tugas yang tidak hanya menuntut jawaban faktual, tetapi juga memerlukan analisis mendalam, diskusi, dan refleksi. Dengan cara ini, mahasiswa tidak dapat hanya mengandalkan AI, tetapi tetap harus menggunakan pemikiran kritis mereka untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Selain itu, pendidik juga dapat memberikan panduan tentang cara memanfaatkan AI secara etis dan efektif. Hal ini termasuk diskusi tentang pentingnya orisinalitas, kontrol plagiarisme, serta nilai-nilai akademik lainnya yang mungkin terganggu oleh penggunaan teknologi yang tidak bijaksana.
5. AI sebagai Katalisator Pembelajaran, bukan Pengganti Proses Intelektual
Problem intelektualisasi di tengah kehadiran AI dalam proses belajar mahasiswa merupakan persoalan keseimbangan. AI memang mampu menjadi katalisator yang mempercepat akses ke informasi dan membantu mahasiswa mengerjakan tugas-tugas dengan lebih efisien. Namun, proses intelektual yang sejati tetap membutuhkan keterlibatan manusia secara mendalam, termasuk kemampuan untuk berpikir kritis, menganalisis masalah, dan memformulasikan gagasan-gagasan baru, khususnya dalam problem based learning dan project based learing.
AI dapat diibaratkan sebagai sebuah peta. Ia menunjukkan arah dan memandu, tetapi keputusan dan perjalanan tetap berada di tangan mahasiswa. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, mahasiswa harus memiliki kearifan dalam menggunakan AI: mereka harus belajar kapan harus memanfaatkan teknologi, dan kapan harus mengandalkan pemikiran mandiri.
Sebagai catatan bersama, AI menawarkan potensi yang sangat besar untuk mendukung pembelajaran, tetapi tanpa kearifan belajar, mahasiswa dapat kehilangan esensi dari pendidikan itu sendiri. Dengan pemanfaatan AI sebagai alat bantu dan tetap menjaga kemampuan berpikir kritis, mahasiswa dapat mencapai keseimbangan yang ideal antara teknologi dan intelektualisasi, sehingga mereka siap menghadapi tantangan dunia di masa depan. Pada akhirnya, ada rambu pengingat, bahwa negara tercinta Indonesia memerlukan ketersediaan generasi emas menuju Indonesia emas. Mari kita lakukan otokritik bersama, khususnya dalam penciptaan budaya belajar yang bijak dengan AI.