Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
“Kita sebetulnya hanya mengundang 600 orang. Tapi yang datang 900. Itupun jika tidak kita batasi, yang memaksa hadir lebih dari 1.000 orang. Nah, karena aulanya tidak bisa menampung, akhirnya kita batasi hanya untuk 900 orang saja.”
Begitu yang disampaikan Dr. Abdul Aziz Wahab, M.Ag., dalam acara Halaqah Pendidikan di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo. Tanggal 30 Januari 2023. Di pagi hari. Dia utarakan data itu dalam tugasnya untuk menyampaikan laporan selaku Kepala Biro Pendidikan pesantren dan sekaligus penyelenggara kegiatan dimaksud. Tujuannya untuk mengantarkan jalannya halaqah.
Lebih jauh, dalam lanjutan sambutannya, Dr. Abdul Aziz Wahab, M.Ag. menambahkan profil mereka yang hadir sebagai “peserta aktif namun tidak resmi” halaqah dimaksud. “Mereka yang di luar 600 undangan itu memang tidak kita undang. Tapi, karena mendengar bahwa pesantren ini akan mengadakan halaqah pendidikan, mereka langsung terpanggil untuk ikut hadir walau tidak diundang. Mereka adalah para kepala sekolah/madrasah dan guru di berbagai lembaga pendidikan di Probolinggo dan sekitarnya. Dulunya mereka pernah nyantri di pesantren ini.” Begitu jelas Pak Kyai Aziz Wahab.
Akupun terpesona dengan pemandangan nyata yang dilaporkan Kepala Biro Pendidikan pesantren itu. “Kalau di tempat lain, panitia mengundang 100 orang, dan jika yang datang 80 saja, itu sudah sangat bagus,” begitu sahut saya mengawali penyampaian materi sebagai pemateri halaqah dimaksud. Kalimat itu kuungkapkan di awal ceramah. Kepentingannya untuk menjelaskan bahwa ada sesuatu yang harus kita pelajari dari fenomena selalu berlebihnya peserta kegiatan saat diselenggarakan langsung oleh pesantren tersebut. Caranya, melalui praktik pembandingan keduanya.
Pembandingan itu, bagiku, perlu kusampaikan. Apalagi, status profesi yang hadir pada acara halaqah di atas tidak sama. Acara tersebut, sebetulnya, awalnya diperuntukkan secara eksklusif bagi tenaga kependidikan, guru, dan dosen di lingkungan pendidikan yang diselenggarakan dan dimiliki oleh Pesantren Zainul Hasan tersebut. Namun, begitu infomasi soal halaqah tersebut tersebar, banyak alumni yang meminta diperkenankan hadir. Diundang atau tidak, mereka memohon diperkenankan hadir. Pesantren pun tidak bisa menolaknya. Akhirnya, halaqah tersebut dipenuhi juga oleh peserta dengan latar belakang non-tenaga kependidikan, guru atau dosen di lingkungan pesantren dimaksud.
Pesantren Zainul Hasan, sebagai informasi dasar, memiliki layanan pendidikan formal dari jejang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Itu sebagai tambahan atas layanan pendidikan pesantren yang dijalankan selama lebih dari 180 tahun. Pada jenjang pendidikan pra-universitas, sebagai misal, terdapat lembaga pendidikan bernama sekolah dan madrasah. Di jenjang pendidikan tinggi, ada yang bernomenklatur sekolah tinggi dan bahkan juga universitas.
Lepas dari itu, cukup banyak lembaga pendidikan bernama sekolah atau madrasah, dan bahkan pesantren, yang didirikan oleh alumni. Di Probolinggo dan sekitarnya. Secara mandiri. Mereka memang tidak menjadi bagian dari Pesantren Zainul Hasan beserta lembaga pendidikan formal yang dijalankan. Namun, mereka selalu mengindenifikasi diri dengan pesantren almamater. Bentuknya, mulai dari sekadar inspirasi hingga pembinaan. Itu yang mereka selalu harapkan dalam praktik penyelenggaraan layanan pendidikan yang dijalankannya.
Akupun tertarik untuk mencari tahu mengapa fenomena itu terjadi. Kucoba untuk memahami mengapa alumni pesantren yang pada perkembangan selanjutnya telah sukses menapaki profesinya merasa terpanggil untuk handarbeni pada hampir setiap kegiatan di pesantren almamaternya. Begitu kuatnya hubungan dan keterikatan personal-emosional alumni ke pesantren almamaternya.
Apa sih yang telah dan selalu dilakukan pesantren untuk alumninya hingga begitu kuat hubungan dan keterikatan personal-emosional tersebut? Dalam angan panjang, kucoba putar otak ini untuk mencari jawabannya. Satu-persatu kegiatan pesantren kucoba telaah. Satu-persatu isyarat dan suasana batin alumni kucoba serap.
Kudapatlah hasil jawabannya. Begini temuan ringkasnya:
Pertama, pesantren sangat kuat menjaga ketersinambungan spiritual-batin di internal pesantren dan antara pesantren dan alumni melalui penyelenggaraan haul wafatnya mbah yai yang menjadi rujukan pesantren. Haul adalah ritual peringatan tahunan atas wafatnya ulama atau kyai panutan. Isinya, di antaranya, tidak saja meliputi pembacaan doa tahlil, melainkan juga pembacaan manaqib atau risalah perjalanan hidup ulama atau kyai panutan yang sedang diperingati tersebut. Hampir semua pesantren, apalagi yang besar dan punya pengalaman panjang, menyelenggarakan acara ritual haul dimaksud.
Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, acara ritual haul telah berperan penting untuk menjaga dan memperkuat kharisma mbah yai yang menjadi rujukan pesantren. Di situ, santri, alumni dan warga masyarakat sekitar diingatkan kembali dengan kuatnya inspirasi mbah yai sepuh bagi pesantren. Dibacakannya kembali manaqib atau catatan sejarah hidup mbah yai sepuh, dalam realitasnya, telah menjadi pengingat kembali santri, alumni dan warga masyarakat sekitar bahwa apa yang telah dilakukan oleh mbah yai selama hidup perlu menjadi inspirasi dan bahkan pegangan praktis hidup mereka. Pada titik inilah, ketersinambungan santri, alumni dan warga masyarakat sekitar kepada pesantren dirawat untuk mengalami penguatan secara berkesinambungan.
Bagi lembaga pendidikan yang tindak dibangun di atas ketokohan ideolog seperti mbah yai sepuh, maka ketersinambungan spiritual-batin ini dapat dilakukan melalui kebijakan dan praktik penting. Insersi nilai pemikiran dan semangat perjuangan tokoh ulama atau kyai panutan terpilih ke dalam visi dan misi penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah langkah mendasar yang patut dilakukan. Contoh lanjutannya adalah menjadikan nilai pemikiran dan semangat perjuangan tokoh ulama atau kyai panutan terpilih dimaksud sebagai nilai dasar dan sekaligus isu lintas bidang (cross-cutting issue) dalam kerangka kualifikasi pembelalajaran yang dijalankan di dalamnya.
Perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) sejatinya memiliki potensi yang tinggi dari sisi referensi spiritual. Pasalnya, rata-rata, kampus-kampus Islam tersebut menggunakan nama tokoh ulama atau kyai terpilih sebagai nomenklatur lembaga. Sebut saja nama-nama Wali Songo dan sejumlah ulama atau kyai pilihan. Semua dipakai sebagai nama lembaga oleh kampus-kampus Islam. Tidak hanya oleh kampus yang bernomenklatur universitas, melainkan juga oleh mereka yang bernomenklatur institut.
Namun sayangnya, penggunaan nama-nama para ulama dan kyai yang mulia itu hanya berhenti sebagai penamaan kelembagaan kampus semata. Tak ada ikhtiar kuat untuk mengkonversi penggunaan nama itu dengan kebijakan dan praktik yang berdampak serius pada keterikatan mahasiswa dan alumni kepadanya. Caranya dengan menjadikan gagasan dan tindakan para ulama dan kyai mulia (yang namanya dipakai sebagai nama lembaga tersebut) sebagai referensi dan pengikat kuat praktik penyelenggaraan layanan pendidikan di dalamnya dengan dan kepada semangat dan nilai perjuangan hidupnya.
Tidak pernah ada ritual semacam haul di kampus-kampus Islam di atas dalam memperingati wafatnya ulama atau kyai yang namanya dijadikan sebagai nama lembaga. Padahal, ritual semacam haul tersebut adalah modal kultural dan sekaligus sosial yang dapat dijadikan oleh kampus-kampus Islam sebagai penguat keberadaan lembaganya, dan sekaligus sebagai penumbuh keterikatan personal-emosional mahasiswa dan alumni kepadanya. Modal kultural dan sekaligus sosial itu akhirnya terhempas begitu saja untuk kemudian hilang ditelan oleh keteledoran manajemen kampus Islam dimaksud.
Akhirnya, kuatnya hubungan dan keterikatan personal-emosional mahasiswa dan alumni kepada kampus almamaternya hanya menjadi isapan jempol belaka. Modal kultural dan sosial yang begitu besar akhirnya tak termanfaatkan sama sekali. Tentu ini adalah ironis besar. Karena itu, di sinilah, kampus Islam perlu mencontoh kebijakan dan praktik pesantren kepada santri dan alumninya hingga mereka pun memiliki hubungan dan keterikatan personal-emosional yang sangat kuat dengan pesantren almamaternya.
Sungguh sangat tidak mulia jika kampus Islam gagal mengambil inspirasi dan pelajaran dari lingkungan terdekat yang ada di hadapan mereka sendiri. Yakni pesantren. Bukan dari sumber dan tempat yang jauh. Pesantren sangat dekat dengan kehidupan kampus Islam. Sering sekali muncul praktik silau atas kampus yang jauh di belahan dunia lain, tapi lupa bahwa ada contoh partikular yang sangat dekat dengan lingkungan mereka sendiri. Kampus Islam perlu meniru pesantren.
Kedua, pesantren selalu menjaga dan meningkatkan layanan kepada para alumni. Acara halaqah pendidikan oleh Pesantren Zainul Hasan Genggong di atas adalah bagian dari upaya untuk menyambut dan merespon kebutuhan para alumni. Pesantren ini tidak meninggalkan begitu saja perjalanan hidup para alumni pasca mereka lulus dan atau meninggalkan almamater pesantrennya. Alih-alih, Pesantren Zainul Hasan Genggong selalu hadir dengan sederetan layanan untuk alumni.
Kuatnya aspirasi para alumni yang telah menjadi guru, ustadz, dosen, dan atau pendidik pada umumnya di lembaga-lembaga pendidikan secara mandiri di luar Pesantren Zainul Hasan Genggong untuk mengikuti acara halaqah pendidikan di atas akhirnya harus direspon secara positif oleh pesantren tersebut. Mereka akhirnya diakomodasi untuk menjadi peserta aktif acara halaqah dimaksud. Dengan begitu, berbagai update atas keilmuan, keterampilan dan bahkan praktik positif hidup yang dihadirkan oleh pesantren selalu bisa diikuti dan diserap oleh alumninya.
Kebutuhan dan sekaligus kehausan alumni atas update atas keilmuan, keterampilan dan bahkan praktik positif hidup dimaksud dipenuhi oleh pesantren almamaternya melalui berbagai layanan sosial pendidikan yang terbuka bagi mereka. Dengan begitu, alumni pun segera merasa bahwa hidup mereka tidak boleh jauh-jauh dari pesantren almamater yang telah membesarkannya. Mereka pun juga segera meyakini bahwa meskipun sudah meninggalkan fisik pesantren almamaternya, ternyata pesantren almamater yang sebelumnya telah membesarkannya masih memikirkan kebutuhan praktis hidup dan profesinya. Wajar saja jika ketersambungan mereka dengan pesantren almamater cenderung sangat kuat.
Kebijakan dan praktik yang dilakukan pesantren dalam menjaga ketersinambungan dengan alumni dan sekaligus juga melayani kebutuhan alumni di atas lebih pas disebut dalam manajemen modern sebagai after-education care. Atau layanan purna pendidikan. Melalui konsep after-education care tersebut, pesantren telah memberikan contoh positif bahwa kehadirin fisik untuk nyantri boleh purna, tapi nilai dan semangat belajar tak boleh sirna. Lulus boleh saja dan bahkan wajar saja terjadi, tapi pesantren sebagai almamater yang meluluskan tak pernah berhenti memikirkan dan memenuhi kebutuhan mereka yang telah pernah belajar alias lulus darinya.
Di sinilah perguruan tinggi Islam penting untuk menciptakan sistem pembinaan dan atau pendampingan alumni. Kita semua patut belajar kebijakan dan praktik after-education care yang lama dilakukan pesantren di negeri ini. Bentuknya, memberikan layanan untuk para alumni pasca menyelesaikan studinya. Pesantren selalu hadir tidak saja pada kehidupan mereka yang sedang nyantri atau belajar di dalamnya, melainkan juga menyapa dan memenuhi apa yang dibutuhkan oleh alumni dalam melangsungkan dan memperjuangkan hidup dan profesinya. Tentu, kampus Islam wajib belajar dari praktik positif pesantren dalam kaitan ini.