Column
Oleh: Moh. Ali Aziz dan Subiyono

أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى، عَبْدًا إِذَا صَلَّى، أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى، أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى، أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى، أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى

Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika ia shalat. Bagaimana pendapatmu jika dia berada dalam petunjuk atau mengajak kepada takwa? Bagaimana pendapatmu jika dia mendustakan dan berpaling? Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah senantiasa melihat?” (QS. Al ‘Alaq [96]: 9-14).

Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya, “Abu Pemicu Dakwah Kelabu” yang berisi ayat-ayat tentang kejahatan Abu Lahab terhadap Nabi SAW. Tulisan ini juga berisi ayat-ayat tentang kejahatan yang sama, yang dilakukan oleh Abu Jahal. Nama asli Abu Jahal adalah ‘Amr bin Hisyam. Ia lahir tahun 570 M, sebaya dengan usia Nabi.  Ibunya, Asma’ adalah muslimah yang taat dan berumur panjang sampai tahun 13 H. ‘Amr bin Hisyam lebih dikenal dengan panggilan Abul Hakam – artinya orang yang bijak dalam setiap keputusan – daripada nama aslinya. Karena kecerdasannya pula, ia dijadikan rujukan masyarakat untuk penyelesaian berbagai masalah.  Dalam usia 30 tahun, Abul Hakam dipercaya sebagai peserta dalam rapat-rapat penting, padahal seharusnya minimal usia 40 tahun. Ikrimah, putra Abul Hakam adalah muslim pejuang Islam dan mati sebagai syuhadak.

            Gelar Abul Hakam (orang bijak) yang demikian terhormat itu kemudian diganti oleh masyarakat dengan gelar baru, yaitu Abu Jahal (orang bodoh). Sebab, ia bodoh dan tak berdaya menghadapi Nabi. Suatu malam, sejumlah tokoh termasuk Abu Jahal mengintai rumah Nabi sendiri-sendiri untuk mendengarkan Al Qur’an. Mereka kaget, tanpa sengaja malam itu saling bertemu. Siang harinya mereka berdiskusi tentang ajaran Nabi. Semua memujinya, kecuali Abu Jahal. Ia mengatakan, “Tak ada yang salah pada pribadi Muhammad dan ajarannya. Hanya saja, Muhammad dari marga Bani Hasyim, sedangkan kita dari marga Makhzum. Kita harus menolak sampai kapan pun.”

Abu Jahal juga mendatangi Abu Thalib dan meminta menyerahkan Muhammad untuk diganti dengan pemuda yang jauh lebih tampan dan lebih terhormat, tapi Abu Thalib menolak dengan marah besar. Abu Jahal lalu memboikat bahan makanan semua pengikut Nabi selama 3 tahun, sekaligus mematangkan rencana pembunuhan yang melibatkan utusan dari semua suku. Hal itu dimaksudkan agar tidak ada tuntutan balas kematian antar suku di kemudian hari. Bagi yang menolak, Abu Jahal mengirimkan baju wanita dengan celak (penggaris mata untuk menambah kecantikan). Cara ini ampuh, sehingga dua putra Abu Lahab, yaitu ‘Utbah dan Syaibah menyatakan siap sebagai prajurit Badar yang terdepan. ”Jangan sedikit pun mundur,” pasan Abu Jahal. Menjelang perang, Abu Jahal berdoa, “Wahai Allah, jika yang diajarkan Muhammad itu benar dari sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau siksa yang pedih” (lihat QS. Al Anfal [8]:32).

Dalam persiapan perang Badar, dua remaja Madinah, kakak beradik yaitu ‘Amr bin al Jamuh (16 tahun) dan Mu’awwaz bin ’Afra’ (15 tahun) menyusup ke dalam tentara Islam dan mencari Abdurrahman bin Auf, r.a, minta ditunjukkan ciri-ciri fisik Abu Jahal. Dua remaja ini langsung menyerang dan berhasil menebas Abu Jahal dan jatuh dari kudanya.

Melihat Abu Jahal telah terjatuh, Abdullah bin Mas’ud, r.a berlari untuk menginjak leher Abu Jahal yang sedang sekarat. Dalam keadaan demikian, ia masih sempat menghina Abdullah bin Mas’ud, r.a, “Engkau telah mendaki bukit yang sulit didaki, wahai pengembala kecil.” Maka, Abdullah bin Mas’ud menebas leher Abu Jahal, dan kepalanya diseret ke hadapan Nabi SAW, sebagaimana tersebut dalam lanjutan ayat-ayat di atas (QS.Al Alaq: 15-16). Itulah salah satu keajaiban Al Qur’an. Wahyu yang bercerita tentang suatu yang belum terjadi, menjadi kenyataan beberapa waktu kemudian. Abu Jahal (54 tahun) dikubur dalam satu lubang bersama 70 jenazah pasukan kafir. Ia mati setelah 15 tahun menyesakkan dada Nabi SAW.

Dalam ayat-ayat di atas, disebutkan Abu Jahal menghalangi Nabi yang sedang shalat. Ia amat marah mendengar berita bahwa Nabi shalat di depan ka’bah. Ia mengancam, “Jika Muhammad mengulanginya, saya akan menginjak kuduknya.” Mendengar ancaman ini, Nabi menjawab, “Silakan jika berani. Malaikat pasti akan menyeretnya.” Shalat yang dikerjakan nabi bukan shalat lima waktu, sebab perintah shalat lima waktu baru turun setahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah.

Usaha menghalangi dakwah Nabi semakin gencar. Suatu saat, Nabi sedang bersujud. Tiba-tiba pengikut Abu Jahal meletakkan kotoran hewan di kuduk Nabi. Fatimah, putri Nabi cepat-cepat membersihkannya. Saat itu Nabi berdoa, “Wahai Allah, kepada-Mu aku menyerahkan Abu Jahal bin Hisyam dan kawan-kawannya.

Dalam ayat-ayat di atas kita diperintah Allah untuk memperhatikan, betapa sombongnya Abu Jahal. Mengapa ia tidak mengikuti agama Nabi, lalu mengajak orang untuk bertakwa. Mengapa ia tetap menentang Nabi? Apakah Abu Jahal yang mewarisi arogansi Fir’aun itu tidak tahu, bahwa Allah mengetahui apa saja yang ia lakukan? Mengapa ia tidak menyadari hukuman yang amat berat?

Ayat-ayat ini memberi tiga pelajaran berharga kepada kita. Pertama, bagaimana pun cerdasnya seseorang, ia tidak akan dihormati orang jika tidak berakhlak yang mulia. Kedua, seringkali seseorang menolak kebenaran agama atau ide-ide besar seseorang hanya atas pertimbangan gengsi sosial atau psikologis, bukan atas pertimbangan akal sehat. Ketiga, shalat adalah tiang agama. Jangan sekali-kali mengganggu pelakunya, atau menghalangi hak dan kesempatan seseorang untuk melakukan shalat. Siapa pun yang menghalangi shalat, atau mengganggu kekhusyukan shalat, ia harus menanggung risiko siksa yang sangat pedih di akhirat.

Referensi: (1) Al Hamshy, Muhammad Hasan, Al Qur’anul Karim, Tafsiir wa Bayaan, Darur Rasyid, Beirut, Libanon, tt. p. 603, (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 30, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985,  (3) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 15, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 453-476, (4) Aisyah Abdurrahman, Tarajim Sayyidat Bait An Nubuwwah (Biografi Istri dan Putri Nabi SAW), alih bahasa Umar Mujtahid LC, penerbit Ummul Qura, Jakarta, 2018, cet 2, (5) Abdul Hamid Jaudah Al-Sahhar, Ghazwatu Badr (Perang Badar: Kisah Pertempuran Yang Mengubah Sejarah Islam Selamanya), penerjemah Dedi Slamert Riyadi MA, penerbit Qalam, Jakarta, 2018, cet.1, (6) Ali Muhammad As-Shallabi, As-Sirah An-Nabawiyah (Sirah Nabawiyah, Ulasan Kejadian dan Analisa Peristiwa dalam Pperjalanan Hidup Rasulullah SAW) penerjemah Pipih Imran Nurtsani LC dan Nur Fajariyah, penerbit Insan Kamil, Solo, 2016, cet.2, (7) Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul ‘Adhim (Tafsir Ibnu Katsir), jilid 10, penerjemah Arif Rahman Hakim dkk, penerbit Insan Kamil, Solo, 2018, cet.5