Sering kita melihat, mendengar dan mempraktekan dalam kehidupan sehari hari, baik rapat, diskusi termasuk dalam kehidupan akademis. Dalam kehidupan akademis, apakah Rektor, Dekan, Prodi, Profesor pernah melakukan praktek kuasa melalui bahasa. Dalam Ujian skripsi, Tesis ataupun proposal, seringkali terjadi pertengkaran antara pembimbing dan penguji disebabkan penggunaan bahasa yang menjadi praktek kuasa
Sebagai contoh dalam rapat organisasi, rapat pimipinan sering kali ada anggota rapat yang memberikan usulan, masukan yang berbeda dengan pimpinan rapat, seringkali ditanggapi dengan diksi bahasa yang mengarah pada praktek kuasa. Contohnya, seperti proposisi; Saya ini Pimpinan, Saya ini Rektor, saya ini dekan jelas lebih tahu permasalahan tersebut.
Begitu juga seorang dosen, seorang profesor dalam menguji mahasiswa—ketika terjadi perdebatan penguji dengan mahasiswa, seringkali muncul pernyataan dari seorang penguji bahwa SAYA LEBIH TAHU DALAM PERSOALAN INI. Sang Pembimbingpun melakukan pembelaan dihadapan sidang penguji, berucap untuk membela mahasiswa dengan diksi bahwa SAYA JUGA LEBIH PAHAM DALAM MASALAH INI, karena saya terlibat. Akhirnya, antara penguji dan pembimbing terlibat dalam praktek kuasa melalui bahasa.
Kedua pernyataan atau proposisi di atas merupakan segelintir contoh dalam praktik praktik kuasa melalui bahasa dalam kehidupan sehari hari termasuk dalam dunia akademis. Praktik kuasa melalui bahasa yang sering dilakukan oleh para akademisi, pimpinan dan penguasa itu sering disebut sebagai Wacana dalam term politik kontemporer. Disinilah tulisan ini akan mengeksplorasi wacana dan praktik kuasa melalui bahasa
Wacana dan Kuasa
Kata wacana sering dikaitkan dengan politik, filsafat, demokrasi, masyarakat madani dan sebagainya. Singkatnya kata wacana adalah kata popular yang sering dipergunakan. Dari seringnya penggunaan kata wacana, kadang baik sadar ataupun tidak, bukannya semakin jelas tapi menjadi rancu dan membingungkan. Penggunaan kata wacana yang cukup popular berkonsekuensi pada banyaknya interpretasi terhadap makna kata tersebut. Ada yang mengartikan kata wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat; ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan atau diskursus. Kata wacana juga digunakan dan dimaknai secara beragam di setiap disiplin ilmu.
Pemaknaan kata wacana dalam hal ini tidak lagi tergantung pada leksikon (kamus). Kamus tidak bisa lagi ditempatkan sebagai alat pemaknaan tunggal terhadap kata-kata. Wacana : 1).Komunikasi verbal, ucapan, percakapan. 2). Sebauah perlakuan formal dari subyek dalam ucapan maupun tulisan. 3). Sebuah unit teks yang digunakan oleh lingis untuk mengalaisis satuan lebih dari kalimat. (Collins Concise English Dictionary, 1998)
Wacana adalah komunikasi lisan atau tuliasan yang dilihat dari titik pandangan kepercayaan, nilai dan kategori yang masuk didalamnya; kepercayaan, disisi lain mewakli pendangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman. (Roger Fowler,1977). Wacana; kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statetment) kadang kala sebagai individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai politik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan. (Foucault, 1980; Lydia, 2001: 100).
Diferensiasi pemaknaan berdasarkan disiplin ilmu, seperti dalam ilmu sosiologi dan linguistik. Dalam ilmu sosiologi wacana menunjukan terutama pada hubungan antara konteks social dari pemakaian bahasa. Sedangkan dalam studi linguistik wacana menunjuk pada kesatuan bahasa yang lengkap yang umumnya lebih besar dari kalimat baik disampaikan secara lisan maupun tulisan.
Dalam studi Psikologi social wacana diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksudkan disini mirip dengan struktur dan bentuk wawancara. Sedangkan dalam ilmu politik wacana adalah praktik pemakaian bahasa terutama politik bahasa. Artinya, bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek dan melalui bahasa ideologi tersamarkan.
Ada beberapa padangan epistemologis tentang wacana dimaksud: yaitu : pertama, Positivisme Empiris, wacana dikaitkan dengan tata aturan kalimat, bahasa dan pengertian bersama atau wacana dilihat berdasarkan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran sintaktik dan semantik. Kedua, Konstruktivisme, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi memandang wacana sebagai suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subyek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna pembicara.
Ketiga, Pandangan Kritis mengkoreksi pandangan konstruktivisme yang tidak peka pada proses produksi dan reproduksi makna secara historis dan istitusional. Wacana berdasarkan pandangan kritis menekankan pada konstelasi kekekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Artinya, individu bukanlah subyek netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai pikiranya, tetapi berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa dalam hal ini,. Bukanlah medium netral tetapi representasi yang berperan membentuk subyek, tema wacana dan strategi-strategi yang ada didalamnya. (Sara Mills, 1997:1-8)
Dalam tulisan ini Wacana merupakan upaya membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana dan topic apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa (secara lebih spesifik teks) selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, pembentukan subyek dan berbagai tindakan individu (representasi) dalam masyarakat. Dalam praktiknya wacana menghasilkan hubungan dialektis antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi institusi dan struktur sosial yang membentuknya. (Foucault, 1990; 92-94)
Wacana adalah medium ideologi yang dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang timpang antara kelompok dominan/mayoritas dengan tidak dominan/minoritas dimana perbedaan tersebut di representasikan dalam praktik sosial. Perspektif kritis merupakan pandangan yang kan diguanakan untuk melihat wacana serta membuka dan membongkar praktik sosial ideologi yang disamarkan melalui wacana. (Foucault, 1977)
Berdasarkan pemahaman wacana di atas, maka terdapat sebuah relasi bagaimana wacana kebenaran dibentuk dan diproduksi melalui sebuah proses-proses dan mekanisme-mekanisme kuasa. Wacana tidaklah bisa berdiri secara otonom dalam kerangka kebenaran objektif. Namun lebih dari itu wacana menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses dan mekanisme kekuasaan. Sementara kekuasaan dalam konteks ini bukanlah hal yang bersifat hierarkis. Semisal kekuasaan negara, kekuasaan aparat dan sebagainya. Namun kekuasaan ini diartikan sebagai ‘yang menormalisasi’, dan ‘yang mendisiplinkan”. kekuasaan yang sedemikian itu menyebar dan beroperasi dalam mekanisme-mekanisme sosial yang ada. Dengan demikian tidak ada yang disebut sebagai subjek kuasa. (Foucault, 1979: 57; Lydia Alix Fillingham, 2001: 143)
Pengetahuan dan Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan. Demikian bunyi teori Michel Foucault tentang relasi Kekuasaan- Pengetahuan. Kekuasaan menurut Foucault sama sekali berbeda dengan pengertian yang dipahami oleh masyarakat selama ini. (Eriyanto, 2003: 165)
Pada umumnya, kekuasaan dipahami dan dibicarakan sebagai daya atau pengaruh yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Dalam konteks ini kekuasaan diartikan secara represif dan kadangkala malah opresif. Yakni adanya dominasi antara subjek dan objek kekuasaan. Semisal kekuasaan Negara pada masyarakat, raja pada rakyatnya, suami pada isteri, pemilik modal kepada para karyawannya. Pengertian semacam itu banyak digunakan oleh para ahli sejarah, politik dan sosial. (Haryatmoko, 2002: 10)
Foucault memperlihatkan cara membaca yang berbeda tentang kekuasaan. Cara Foucault memahami kekuasaan sangat orisinal. Menurut Foucault kekuasaan tidak dimiliki dan dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan antara satu dengan yang lain. Foucault meneliti Kekuasaan lebih pada individu, subjek dalam lingkup yang paling kecil. Karena kekuasaan menyebar tanpa bisa dilokalisasi dan meresap ke dalam seluruh jalinan perhubungan sosial. Kekuasaan beroperasi dan bukan dimiliki oleh oknum siapa pun dalam relasi-relasi pengetahuan, ilmu, lembaga-lembaga. Lagipula sifatnya bukan represif, melainkan menormalisasikan susunan-susunan masyarakat. (Foucault, 1990: 92-93)
Kekuasaan tersebut beroperasi secara tak sadar dalam jaringan kesadaran masyarakat. Karena kekuasaan tidak datang dari luar tapi menentukan susunan, aturan-aturan, hubungan-hubungan itu dari dalam. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa hubungan keluarga yang menormalkan bahwa suami adalah yang harus bekerja untuk mencari nafkah sementara isteri hanya bertugas mengurusi rumah tangga serta merawat anak-anaknya. (Lydia Alix Fillingham, 2001: 12)
Contoh lain misalnya tentang karyawan yang secara berdisiplin bekerja sesuai dengan tugas-tugasnya. Bahwa ketaatan karyawan tersebut bukan karena adanya represi dari bos atau pimpinan namun karena adanya regulasi-regulasi dari dalam yang menormalkan. Mereka bekerja dengan giat bukan saja hanya karena ada ancaman atau tekanan tapi juga karena adanya semacam struktur diskursif yang mengatakan akan ada penghargaan bagi karyawan yang berprestasi dalam bekerja.
Setiap masyarakat mengenal strategi kuasa yang menyangkut kebenaran. Beberapa diskursus diterima dan diedarkan sebagai benar, ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar dan tidak benar. Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kekuasaan. Bagi Foucault kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan pengetahuan menurut Foucault selau memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasaan tidak ditopang dengan suatu ekonomi wacana kebenaran. (George Junus Aditjondro, 1994:58)
Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, namun pengetahuan berada dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu, yang menimbulkan efek kuasa. (Michel Foucault, 1980: 131)
Namun Foucault berpendapat bahwa kebenaran di sini bukan sebagai hal yang turun dari langit, dan bukan juga sebagai sebuah konsep yang abstrak. Kebenaran di sini diproduksi, karena setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan oleh wacana yang diproduksi dan dibentuk oleh kekuasaan. (Colin Gordon, 1991: 2-3)
Dalam masyarakat modern, semua tempat berlangsungnya kekuasaan juga menjadi tempat pengetahuan. Dalam penelitiannya Foucault meneliti fenomena kegilaan yang menjadi lahan subur bagi berkembangnya bidang-bidang keilmuan seperti psikiatri, psikologi, kedokteran, sosiologi, kriminologi bahkan teologi. Produksi mendorong perkembangan ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi. Demikian sebaliknya, semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroperasinya kekuasaan. Kehendak untuk mengetahui menjadi proses dominasi terhadap objek-objek dan terhadap manusia. Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subjek tertentu. Karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri terhadap subjek. Padahal klaim ini sebenarnya merupakan salah satu bagian dari strategi kekuasaan.
Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Wacana bukan muncul begitu saja akan tetapi diproduksi oleh zamannya masing-masing. Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut; wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang paling benar. (Foucault, 1980)
Persepsi kita tentang suatu objek dibatasi oleh praktek diskursif ; dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa ini benar dan yang lain salah. Ini seperti kalau kita mendengar kata dangdut, maka bayangan kita akan mengarah pada satu jenis musik yang tak lepas dari goyang. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Wacana merupakan sebuah arena di mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan yang lain.
Wacana mampu menepis segala hal yang tidak termasuk dalam garis ketentuannya namun juga bisa memasukkan apa yang dianggap oleh struktur diskursif yang membentuknya benar. Dalam hal ini objek bisa jadi tidak berubah namun struktur diskursif dibuat, menjadikan objek tersebut berubah. Seperti contoh bakteri di lautan yang dahulu dikategorikan sebagai hewan, namun kini ia dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai tumbuhan. Dalam hal ini tidak ada yang berubah dari objek bakteri tersebut, namun karena ada struktur diskursif yang melingkupinya kemudian kita memperlakukan dan mempelajari dan menempelkan sifat-sifat makhluk itu pada tumbuhan.
Referensi
Michel Foucault, Power, Truth, Strategy, Australia: Feral Publication, 1979
——-, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1. New York: Vintage Books, 1990.
——-. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977. New York: Phanteon Books.
——-. 1977. Discipline and Punish: The Birth of The Prison. New
York: Vintage Books.
George Junus Aditjondro, “Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas” Jurnal kalam No. 1 (1994).
Sara Mills, Discourse, London and New York, Routledge, 1997.
Colin Gordon, “Governmental Rationality,” dalam Graham Burchell, Colin Gordon, dan Peter Miller (eds.) The Foucault Effect: Studies in Governmentality (Chicago: The University of Chicago Press, 1991) 2-3
Eriyanto, “Analisis Wacana” Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, 2003, hal 65.
Haryatmoko, “Kekuasan melahirkan Anti Kekuasaan” dalam Jurnal Basis No 01-02 Tahun ke-51, Januari-Februari 2002. hal.10.
[Suhermanto Ja’far; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel]