Column

Tradisi tahlilan dalam masyarakat Islam di Indonesia telah menjadi bagian penting dari ritual keagamaan pasca kematian. Peringatan kematian, baik dalam bentuk doa bersama maupun kenduri, adalah bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang menganut Islam tradisional. Tahlilan merupakan salah satu bentuk upacara selamatan yang dilakukan untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya dilakukan pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000 setelah kematian. Tradisi ini diyakini merupakan adaptasi dari praktik keagamaan yang diperkenalkan oleh penyebar Islam dari Champa, seperti Sunan Ampel, kepada penduduk Nusantara pada masa penyebaran agama Islam.

Peringatan kematian dalam bentuk tahlilan sering dikaitkan dengan upaya untuk memberikan doa dan pahala bagi almarhum serta dukungan moral bagi keluarga yang ditinggalkan. Tahlilan juga berfungsi sebagai mekanisme penguatan ikatan sosial (social bonding) di kalangan komunitas muslim. Meskipun demikian, tidak semua kelompok dalam Islam menerima tradisi ini, karena ada yang berpendapat bahwa tahlilan tidak sesuai dengan syariat Islam dan merupakan warisan Hindu-Budha.

Agus Sunyoto (2019) mengungkapkan bahwa tradisi kenduri kematian pada hari-hari tertentu sebenarnya bukan warisan Hindu-Budha, melainkan berasal dari tradisi muslim Champa yang diperkenalkan oleh penyebar Islam di Nusantara. Praktik ini kemudian berkembang menjadi bagian dari identitas keagamaan masyarakat Indonesia dan menjadi tradisi yang mengakar kuat, terutama di kalangan Nahdliyin.

Tradisi tahlilan menghadapi tantangan dalam konteks keberagaman pandangan di kalangan umat Islam. Salah satu tantangan utama adalah perbedaan interpretasi syariat Islam terkait dengan praktik tahlilan. Beberapa kelompok menganggap bahwa tahlilan adalah bid’ah, yaitu sesuatu yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan generasi salaf. Pandangan ini sering dikemukakan oleh kelompok-kelompok yang lebih puritan dalam menjalankan ajaran Islam, yang berpendapat bahwa setiap praktik ibadah harus memiliki dasar yang jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Namun, bagi kelompok yang menerima tahlilan, seperti warga Nahdliyin, tradisi ini memiliki nilai spiritual dan sosial yang penting. Tahlilan dianggap sebagai salah satu bentuk sedekah yang dapat memberikan manfaat bagi almarhum dan keluarga yang ditinggalkan. Selain itu, tahlilan juga berfungsi sebagai wadah untuk mempererat ikatan sosial di antara anggota komunitas, sehingga memiliki peran penting dalam menjaga harmoni sosial di masyarakat.

Peluang yang dapat diambil dari tradisi tahlilan adalah kemampuannya untuk menciptakan bonding social capital, yaitu jaringan sosial yang kuat di antara anggota komunitas yang memiliki kesamaan latar belakang dan kepentingan. Dalam konteks ini, tahlilan tidak hanya berfungsi sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai alat untuk memperkuat solidaritas dan kerjasama antar anggota komunitas. Dengan demikian, tahlilan dapat menjadi sarana untuk membangun kohesi sosial di masyarakat yang beragam.

Kerangka Teori: Bonding Social Capital dalam Konteks Tradisi Tahlilan di Islam Tradisional

1. Bonding Social Capital sebagai Modal Sosial Intra-Komunitas

Bonding social capital merujuk pada hubungan kuat yang terjalin antara individu-individu dalam kelompok yang memiliki latar belakang dan minat serupa. Hubungan ini biasanya terjadi di antara anggota keluarga, teman dekat, dan tetangga. Dalam konteks ini, bonding social capital memperkuat rasa kebersamaan dan dukungan emosional, serta cenderung bersifat tertutup dan melindungi kepentingan kelompok. Putnam menggambarkan bonding social capital sebagai jaringan yang memperkuat identitas eksklusif dan mendorong homogenitas (Putnam, 2000).

Bonding social capital juga dapat ditemui di dalam organisasi, terutama di tim atau unit yang memiliki identitas dan pemahaman bersama serta rasa memiliki yang kuat. Di sini, hubungan yang terjalin cenderung bersifat eksklusif dan bersifat inward looking, di mana sebagian besar anggota saling mengenal satu sama lain. Namun, bonding social capital yang terlalu kuat dapat memiliki dampak negatif, seperti terciptanya bias atau eksklusif terhadap kelompok luar (Putnam, 2000). Dalam konteks tahlilan, hubungan ini terwujud dalam interaksi sosial yang melibatkan keluarga, kerabat, dan komunitas yang memiliki keyakinan agama yang sama serta terlibat dalam ritual tahlilan.

Dalam tahlilan, bonding social capital sangat terlihat karena praktik ini melibatkan kelompok dengan karakteristik demografis, sikap, dan sumber daya informasi yang serupa. Ini mengarah pada hubungan yang eksklusif dan erat, di mana ikatan antar anggota komunitas diperkuat melalui doa bersama, gotong royong, dan solidaritas untuk keluarga yang berduka.

Berbeda dengan bonding social capital yang berfokus pada hubungan dalam kelompok, bridging social capital menghubungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda berdasarkan karakteristik sosiodemografis atau sosioekonomi. Bonding social capital cenderung lebih bersifat horizontal dengan hubungan yang erat (strong ties), sedangkan bridging social capital lebih bersifat vertikal dan membuka akses ke sumber daya baru melalui hubungan yang lebih lemah (weak ties). Perbedaan ini berakar pada analisis jaringan (network analysis) yang didasarkan pada metodologi individualisme dan teori pilihan rasional (Woolcock & Narayan, 2000).

Bonding social capital bermanfaat untuk “getting by,” yaitu membantu individu atau kelompok bertahan dalam kondisi yang ada, sedangkan bridging social capital lebih bermanfaat untuk “getting ahead,” yaitu memungkinkan individu atau kelompok mengakses sumber daya dan peluang baru (Putnam, 2000).

2. Karakteristik Bonding Social Capital dalam Tradisi Tahlilan

Teori ini membedakan antara bonding dan bridging social capital. Bonding social capital dalam tradisi tahlilan dapat diidentifikasi melalui beberapa karakteristik utama:

  • Inward looking: Tahlilan berfokus pada penguatan hubungan internal dalam komunitas, seperti keluarga dan tetangga yang sering berinteraksi. Dalam masyarakat tradisional, bonding social capital sering kali terkait dengan tempat atau ruang geografis. Misalnya, dalam sebuah desa, bonding social capital terjalin melalui hubungan yang erat di antara warga desa yang telah berinteraksi secara intensif dalam jangka waktu lama. Jaringan sosial di dalam desa ini cenderung eksklusif dan inward looking, dengan tujuan utama memberikan dukungan sosial, informasi, dan bantuan emosional kepada anggota komunitas (Woolcock & Narayan, 2000).
  • Exclusive: Partisipasi dalam tahlilan terbatas pada komunitas yang memiliki keyakinan dan tradisi yang sama, menjadikannya eksklusif bagi mereka yang berafiliasi dengan Islam tradisional. Sebaliknya, bridging social capital merujuk pada hubungan dengan individu di luar komunitas tersebut, misalnya dengan warga desa lain. Hubungan ini cenderung lebih lemah karena frekuensi interaksinya yang lebih jarang, namun dapat memberikan akses ke sumber daya yang berbeda, seperti informasi atau keterampilan baru (Woolcock & Narayan, 2000)
  • Strong ties: Tali persaudaraan dan kebersamaan diperkuat melalui interaksi yang intensif dan berulang dalam konteks tahlilan. Bonding social capital dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi individu yang menghadapi kesulitan sosial-ekonomi atau kesehatan yang buruk. Penelitian Edin dan Lein (1997) menunjukkan bahwa bonding social capital membantu ibu-ibu miskin di pemukiman publik untuk bertahan hidup melalui jaringan keluarga dan teman. Namun, kurangnya bridging social capital membatasi akses mereka terhadap sumber daya atau perubahan sosial yang lebih luas.

3. Manfaat dan Dampak Negatif Bonding Social Capital

Bonding social capital dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi individu yang menghadapi kesulitan sosial-ekonomi atau kesehatan yang buruk. Penelitian Edin dan Lein (1997) menunjukkan bahwa bonding social capital membantu ibu-ibu miskin di pemukiman publik untuk bertahan hidup melalui jaringan keluarga dan teman. Namun, kurangnya bridging social capital membatasi akses mereka terhadap sumber daya atau perubahan sosial yang lebih luas.

Di sisi lain, bonding social capital juga memiliki potensi dampak negatif, terutama ketika jaringan tersebut terlalu eksklusif dan tertutup. Jaringan dengan tingkat bonding yang berlebihan dapat memicu munculnya bias, rasisme, atau eksklusif terhadap kelompok lain (Putnam, 2000). Oleh karena itu, keseimbangan antara bonding dan bridging social capital menjadi penting untuk memastikan bahwa hubungan sosial yang terbentuk tidak hanya mendukung kelompok tertentu, tetapi juga membuka peluang untuk inklusi sosial yang lebih luas.

Leason Learn

Dalam praktiknya, tahlilan memiliki beberapa aspek positif yang dapat dijadikan contoh baik dalam membangun bonding social capital. Berikut beberapa praktik baik yang dipraktikkan dalam tradisi tahlilan:

  1. Partisipasi Komunitas: Tahlilan melibatkan partisipasi aktif dari anggota komunitas, terutama keluarga, tetangga, dan kerabat dekat. Partisipasi ini menunjukkan adanya rasa solidaritas dan kepedulian terhadap sesama, terutama kepada keluarga yang sedang berduka. Partisipasi ini juga memperkuat ikatan sosial di antara anggota komunitas.
  2. Doa Bersama: Doa bersama dalam tahlilan mencerminkan rasa kebersamaan dan saling mendukung di antara anggota komunitas. Doa bersama ini juga menunjukkan adanya keyakinan kolektif bahwa dengan berdoa bersama, dapat memberikan manfaat bagi almarhum dan keluarga yang ditinggalkan.
  3. Sedekah dan Kedermawanan: Tahlilan sering kali diiringi dengan pemberian makanan atau sedekah kepada orang-orang yang hadir. Praktik sedekah ini menunjukkan adanya rasa kepedulian sosial dan kedermawanan, yang menjadi salah satu nilai penting dalam Islam. Sedekah juga dapat memperkuat ikatan sosial di antara anggota komunitas.
  4. Pemeliharaan Tradisi Lokal: Tahlilan juga menjadi sarana untuk melestarikan tradisi lokal yang sudah mengakar di masyarakat. Dengan tetap memelihara tradisi ini, komunitas dapat menjaga identitas budaya dan agama mereka, sekaligus membangun rasa kebanggaan terhadap warisan leluhur.

Kesimpulan dari tradisi tahlilan dalam konteks masyarakat Islam tradisional di Indonesia menegaskan bahwa ritual ini tidak hanya berfungsi sebagai upacara keagamaan, tetapi juga sebagai alat untuk memperkuat ikatan sosial atau bonding social capital di komunitas muslim. Meskipun praktik tahlilan sering dianggap bid’ah oleh sebagian kelompok Islam yang lebih puritan, tradisi ini tetap memainkan peran penting dalam menjaga solidaritas dan mendukung keluarga yang berduka. Tradisi ini juga mencerminkan nilai-nilai kedermawanan dan kepedulian sosial yang esensial dalam ajaran Islam. Selain itu, tahlilan menjadi sarana pemeliharaan identitas budaya dan agama yang mengakar kuat di masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Nahdliyin. Meskipun menghadapi tantangan terkait perbedaan pandangan, tradisi tahlilan tetap relevan dalam membangun kohesi sosial di masyarakat. Dengan partisipasi aktif komunitas, praktik sedekah, dan doa bersama, tahlilan berhasil menciptakan jaringan sosial yang kuat dan mendalam di antara anggota komunitas, yang pada akhirnya memperkuat stabilitas dan harmoni sosial.

Referensi:

  1. Woolcock, M., & Narayan, D. (2000). Social Capital: Implications for Development Theory, Research, and Policy. The World Bank Research Observer, 15(2), 225-249.
  2. Granovetter, M. (1973). The Strength of Weak Ties. American Journal of Sociology, 78(6), 1360-1380.
  3. Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon & Schuster.
  4. Edin, K., & Lein, L. (1997). Making Ends Meet: How Single Mothers Survive Welfare and Low-Wage Work. New York: Russell Sage Foundation.
  5. Coleman, J. S. (1988). Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology, 94, S95-S120.
  6. Sunyoto, A. (2019). Atlas Walisongo: Fakta dan Data Penyebaran Islam di Tanah Jawa. Jakarta: Pustaka IIMAN.