Column
Oleh: Prof. Dr. Sri Warjiyati, MH., Guru Besar UINSA Surabaya

Abstrak

RUU Perampasan Aset muncul sebagai sebuah inovasi penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Artikel ini mengeksplorasi urgensi dari pengesahan RUU tersebut, mengingat tantangan besar yang dihadapi dalam mengembalikan aset hasil korupsi. Dengan fokus pada substansi, urgensi, dan mekanisme yang diusulkan dalam RUU, artikel ini menganalisis bagaimana regulasi ini dapat menjadi strategi baru yang efektif dalam memperkuat sistem hukum yang lebih adil dan transparan. Selain itu, dibahas juga potensi RUU ini untuk diadaptasi menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) sebagai respons cepat terhadap kebutuhan hukum yang mendesak. Melalui tinjauan komprehensif, artikel ini menyoroti peluang dan tantangan yang akan dihadapi dalam implementasi RUU Perampasan Aset, serta dampaknya bagi upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia.

Kata Kunci: RUU Perampasan Aset, Pemberantasan Korupsi, Sistem Hukum.

A. PENDAHULUAN

Korupsi telah lama menjadi permasalahan serius di Indonesia, merusak tatanan ekonomi, sosial, dan politik negara. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini sering kali terhambat oleh berbagai kendala, termasuk sulitnya mengembalikan aset yang diperoleh secara ilegal oleh pelaku korupsi. Dalam konteks ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset muncul sebagai suatu inovasi yang sangat dibutuhkan.

Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi krusial disebabkan adanya realita kerugian negara yang muncul akibat tindak pidana korupsi di tahun 2022 telah mencapai angka Rp 48, 786 triliun, dengan tingkat pengembalian kerugian melalui pidana uang pengganti hanya sebesar Rp 3,821 triliun atau setara dengan 7,83 persen dari total kerugian yang diterima oleh negara. Besarnya kerugian yang diterima negara tersebut selaras dengan meningkatnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada awal tahun 2023. IPK Indonesia yang awalnya sebesar 38 terjun bebas menjadi 34 dan turut menjadi negara dengan peringkat 110 terkorupsi dari 180 negara. Bahkan menurut catatan yang dikeluarkan oleh Badan Transparency International Indonesia (TI Indonesia) yang menunjukkan bahwa Indonesia saat ini berada pada posisi sepertiga negara terkorup di dunia.

RUU Perampasan Aset dirancang untuk memberikan kerangka hukum yang jelas dan tegas dalam hal penyitaan dan pengembalian aset hasil korupsi. Dengan mekanisme yang lebih efektif dan efisien, RUU ini diharapkan dapat menutup celah hukum yang selama ini dimanfaatkan oleh para koruptor untuk menyembunyikan dan menikmati hasil kejahatan mereka. Pengesahan RUU ini tidak hanya penting untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, tetapi juga untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia.

Saat ini, urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset semakin meningkat seiring dengan tuntutan masyarakat untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan transparan. Melalui penerapan RUU ini, diharapkan adanya percepatan dalam proses pemulihan aset negara yang hilang akibat tindakan korupsi, serta memberikan efek jera yang kuat bagi para pelaku kejahatan. RUU ini juga berpotensi untuk diadaptasi menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), sebagai solusi cepat dalam menghadapi kebutuhan hukum yang mendesak.

Penelitian ini menggambarkan betapa pentingnya RUU Perampasan Aset dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia dan bagaimana regulasi ini dapat menjadi strategi baru yang efektif menuju terciptanya sistem hukum yang lebih adil dan merata.

B. PEMBAHASAN

  1. Substansi dan Mekanisme RUU Perampasan Aset

Substansi RUU Perampasan Aset berfokus pada penyusunan kerangka hukum yang jelas dan terperinci untuk mempermudah penyitaan dan pengembalian aset hasil korupsi. RUU ini mencakup definisi aset yang dapat disita, yang meliputi segala bentuk kekayaan baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang diperoleh melalui tindak pidana korupsi. Selain itu, RUU ini juga mencakup aset yang berada di luar yurisdiksi Indonesia, sehingga memperluas jangkauan hukum dalam mengembalikan kekayaan negara yang dicuri dan disembunyikan di luar negeri.

Mekanisme perampasan aset yang diusulkan dalam RUU ini dirancang untuk lebih efektif dan efisien dibandingkan regulasi yang ada saat ini. Proses perampasan dimulai dengan identifikasi dan pelacakan aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. RUU ini memberikan wewenang lebih besar kepada lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian, untuk mengakses informasi keuangan dan transaksi yang mencurigakan. Setelah aset teridentifikasi, proses hukum dilanjutkan dengan pengajuan permohonan perampasan ke pengadilan. Pengadilan kemudian akan menilai bukti dan memutuskan apakah aset tersebut dapat disita oleh negara.

RUU Perampasan Aset juga mengatur tentang mekanisme pemulihan aset yang telah disita. Setelah pengadilan memutuskan perampasan, aset tersebut akan dikembalikan kepada negara melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel. RUU ini menekankan pentingnya pengelolaan aset yang efektif agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi negara. Pengaturan ini mencakup penjualan aset, penggunaan aset untuk program-program sosial, atau bentuk lain yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan publik.

Secara keseluruhan, substansi dan mekanisme yang diatur dalam RUU Perampasan Aset bertujuan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan memberikan kerangka hukum yang lebih komprehensif dan alat yang lebih efektif bagi lembaga penegak hukum, RUU ini diharapkan mampu menutup celah hukum yang selama ini dimanfaatkan oleh para koruptor. Implementasi RUU ini diharapkan tidak hanya meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintah Indonesia.

Sistem peradilan Indonesia dalam rangka melakukan penyelesaian hukum terhadap tindak pidana korupsi dilaksanakan berdasarkan mekanisme sistem peradilan pidana tindak korupsi, begitu pula pada hal perampasan aset yang merupakan upaya pengembalian hasil tindak pidana korupsi dan pemulihan perekonomian negara. Di Indonesia memang telah terdapat mekanisme perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi, yakni pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Tindak Pidana Korupsi atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Perampasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Unsur perampasan aset yang dilakukan tanpa mekanisme pemidanaan secara khusus terdapat pada ketentuan Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (6) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta pada Pasal 38B ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.

Kendati sudah adanya regulasi yang mengatur tentang perampasan aset tanpa pemidanaan pada UU Tipikor. Akan tetapi, nyatanya masih terdapat kekosongan hukum dalam persoalan perampasan aset yang belum terjamah oleh UU tersebut. Hal tersebut  membahas perihal bagaimana mekanisme perampasan aset pada kasus dimana tersangka tersebut meninggal dunia, melarikan diri, menjadi gila dalam proses pembuktian, hingga tidak adanya atau tidak ditemukannya ahli waris sebagai penanggung saat gugatan perdata dilakukan. Padahal pada Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC 2003 telah mendesak semua negara (baik common law maupun civil law) untuk memperhitungkan perihal regulasi yang komprehensif sebagai upaya antisipasi sehingga perampasan aset atas hasil tindak pidana korupsi dapat diabsahkan tanpa melalui mekanisme pidana (NCB asset forfeiture) dalam kasus-kasus dimana tersangka tidak dapat  dituntut dengan alasan kematian, pelarian atau bahkan pada kasus dimana tersangka tidak dapat ditemukan. Hal ini tentu kemudian merupakan hal yang menjadi perhatian pada RUU Perampasan Aset mengingat terus membesarnya kerugian negara akibat korupsi yang masih terus berkecamuk di tanah air ini.

Adanya RUU Perampasan Aset ini tentu menjadi angin pembaharuan bagi mekanisme penegakan hukum tindak korupsi sebab terdapat tiga paradigma baru yang ditawarkan dalam RUU perampasan aset ini. Pertama, pihak yang didakwakan dalam suatu tindak pidana tidak hanya subjek hukum yang dikenakan sebagai pelaku kejahatan melainkan juga atas aset yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Kedua, mekanisme peradilan yang digunakan dalam mengadili persoalan perampasan aset atas tindak pidana korupsi adalah melalui mekanisme peradilan perdata. Ketiga, tidak dikenakan sanksi pidana terhadap pelaku tersebut sebagai halnya yang dikenakan pada pelaku kejahatan lainnya.

Adapun salah satu pasal penting dalam RUU Perampasan Aset, yakni pada Pasal 5 ayat (2) poin a yang merinci perampasan dapat dilakukan pada aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan, yang mana aset tersebut tidak dapat dibuktikan asal usulnya perolehannya secara sah oleh tersangka. Selain itu, pada Pasal 6 ayat (1) RUU Perampasan Aset kembali merinci bahwa aset yang dimaksudkan adalah aset dirampas adalah aset yang bernilai paling sedikit seratus juta rupiah atau aset yang terkait dengan ancaman tindak pidana dengan penjara empat tahun atau lebih. Jika berpedoman dari kedua pasal dalam RUU Perampasan Aset yang menganut konsep non-conventional based tersebut, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan penelusuran langsung terhadap aset yang diduga kuat berasal dari tindak korupsi tersebut dalam rangka perampasan aset tindak pidana (in rem). Secara mekanisme, perampasan aset tersebut dapat dilakukan ketika penyidik atau penuntut umum memperoleh dugaan kuat mengenai asal-usul aset tersebut, dan selanjutnya dapat langsung memerintahkan pemblokiran yang dapat diikuti dengan tindakan penyitaan oleh lembaga yang diberi wewenang tersebut. Melalui mekanisme tersebut negara nantinya dapat merampas aset-aset yang berasal dari tindak pidana dengan lebih mudah dan efisien.

Regulasi lain yang tak kalah penting yakni Pasal 7 ayat (1) RUU Perampasan Aset yang turut mengisi kekosongan hukum pada UU Tipikor Indonesia. Dimana pada Pasal 7 ayat (1) RUU Perampasan Aset merumuskan bahwa perampasan perampasan aset tetap dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, hingga pada terdakwa yang diputus lepas dari tuntutan hukum. Hal ini jelas merupakan upaya dari perwujudan kepastian hukum itu sendiri.

2. Urgensi dan Kebutuhan Pengesahan RUU Perampasan Aset

Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset sangat dirasakan di tengah tingginya kasus korupsi di Indonesia yang merugikan negara secara signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus korupsi besar terungkap, namun upaya pengembalian aset yang dicuri sering kali menghadapi kendala hukum dan birokrasi yang kompleks. Tanpa kerangka hukum yang jelas, proses pemulihan aset menjadi lambat dan tidak efektif, sehingga kekayaan negara yang seharusnya dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat tetap tersembunyi atau hilang. Oleh karena itu, pengesahan RUU ini menjadi sangat mendesak untuk menutup celah-celah hukum yang selama ini dimanfaatkan oleh para koruptor.

RUU Perampasan Aset hadir sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak akan regulasi yang lebih kuat dan komprehensif dalam menangani aset hasil korupsi. Regulasi saat ini sering kali tidak mampu menjangkau aset yang disembunyikan baik di dalam maupun luar negeri, serta tidak memberikan wewenang yang cukup kepada lembaga penegak hukum untuk melakukan investigasi dan penyitaan secara efektif. Dengan substansi yang lebih jelas dan mekanisme yang lebih tegas, RUU ini diharapkan dapat mempercepat proses perampasan aset dan mengembalikannya kepada negara. Hal ini sangat penting untuk memberikan efek jera kepada pelaku korupsi dan mengurangi insentif bagi tindak pidana serupa di masa depan.

Pentingnya pengesahan RUU Perampasan Aset juga terletak pada upaya untuk memperkuat sistem hukum dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Masyarakat sering kali merasa skeptis terhadap kemampuan pemerintah dalam menangani korupsi, terutama ketika melihat kasus-kasus besar yang tidak diselesaikan dengan tuntas. Dengan adanya RUU ini, diharapkan ada peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan aset hasil korupsi. Pengesahan RUU ini juga akan memberikan sinyal kuat bahwa pemerintah berkomitmen serius dalam memberantas korupsi dan memperbaiki sistem hukum yang ada.

Dukungan dari berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat, menunjukkan bahwa RUU Perampasan Aset merupakan langkah penting yang sangat dinanti-nantikan. Pengesahan RUU ini akan menjadi tonggak penting dalam reformasi hukum di Indonesia, yang tidak hanya menargetkan para pelaku korupsi tetapi juga memperkuat fondasi hukum untuk pencegahan korupsi di masa mendatang. Dengan demikian, pengesahan RUU Perampasan Aset bukan hanya kebutuhan hukum, tetapi juga kebutuhan sosial dan moral untuk mewujudkan Indonesia yang lebih bersih dan berkeadilan.

3. Peluang dan Tantangan Potensi RUU Perampasan Aset sebagai Perpu

Potensi pengadaptasian RUU Perampasan Aset menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) membuka peluang signifikan dalam mempercepat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan mengeluarkan Perpu, pemerintah dapat segera mengimplementasikan kerangka hukum baru yang dibutuhkan tanpa harus menunggu proses legislasi yang sering kali memakan waktu lama. Langkah ini dapat menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah memiliki komitmen serius dan tegas dalam menangani kasus korupsi yang merugikan negara. Dalam situasi darurat atau mendesak, seperti meningkatnya jumlah kasus korupsi atau adanya ancaman terhadap stabilitas ekonomi, penerbitan Perpu dapat memberikan respons cepat dan efektif untuk mengatasi masalah tersebut.

Namun, penerbitan Perpu juga menghadapi berbagai tantangan yang tidak bisa diabaikan. Salah satu tantangan utama adalah aspek politik, di mana penerbitan Perpu sering kali memicu perdebatan di kalangan legislatif dan publik. Beberapa pihak mungkin melihat langkah ini sebagai bentuk otoritarianisme atau pengabaian terhadap proses demokrasi yang semestinya dijalankan melalui parlemen. Oleh karena itu, diperlukan strategi komunikasi yang baik dari pemerintah untuk menjelaskan urgensi dan manfaat dari penerbitan Perpu ini kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, Perpu harus segera diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan, yang berarti masih ada potensi penolakan atau permintaan revisi dari anggota legislatif.

Selain tantangan politik, aspek hukum dan implementasi juga perlu diperhatikan. Mengingat kompleksitas dalam pelacakan dan perampasan aset, penerapan Perpu harus didukung dengan kesiapan lembaga penegak hukum dan infrastruktur hukum yang memadai. Tanpa dukungan tersebut, Perpu mungkin hanya menjadi regulasi tanpa efek nyata di lapangan. Pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi aparat penegak hukum, serta kerjasama internasional untuk mengatasi aset yang disembunyikan di luar negeri, menjadi kunci sukses dari implementasi Perpu ini.

Secara keseluruhan, peluang penerbitan Perpu tentang Perampasan Aset sangat besar dalam memberikan dampak positif bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, untuk memaksimalkan potensi tersebut, tantangan yang ada harus diatasi dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Dengan demikian, Perpu ini tidak hanya menjadi alat hukum yang kuat tetapi juga mendapatkan legitimasi dan dukungan penuh dari masyarakat.

C. KESIMPULAN

RUU Perampasan Aset merupakan langkah penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia yang memiliki substansi dan mekanisme jelas untuk penyitaan dan pengembalian aset hasil kejahatan. Dengan memberikan wewenang lebih besar kepada lembaga penegak hukum dan menetapkan prosedur yang lebih efisien, RUU ini diharapkan dapat mempercepat proses perampasan aset dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaannya.

Urgensi pengesahan RUU ini sangat dirasakan mengingat kelemahan regulasi saat ini yang menghambat pemulihan aset negara dan memberikan peluang bagi koruptor untuk menyembunyikan kekayaannya. Dukungan luas dari berbagai kalangan menunjukkan bahwa RUU ini merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem hukum dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap upaya pemerintah dalam memberantas korupsi.

Peluang pengadaptasian RUU ini menjadi Perpu menawarkan respons cepat terhadap kebutuhan hukum yang mendesak, meski menghadapi tantangan politik dan implementasi. Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan strategi komunikasi yang baik, kesiapan infrastruktur hukum, dan dukungan penuh dari berbagai pemangku kepentingan. Dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, Perpu ini dapat menjadi alat hukum yang kuat dan mendapatkan legitimasi serta dukungan dari masyarakat, memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan mewujudkan sistem hukum yang lebih adil di Indonesia.