Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Mau berangkat, dikontak. Di perjalanan, dihubungi. Saat dilokasi, didampingi. Terus diajak bincang sana-sini. Ringan-ringan. Bahkan, saat mau pulang pun, dilepas dengan beragam ekspresi penghormatan. Itulah yang kudapati saat menghadiri wisuda Institut Agama Islam (IAI) At-Taqwa, Bondowoso, pada Sabtu (28/12/2024). Hospitality-nya keren. Setiap tahapan rencana kehadiran kami dipantau. Dikontak, dihubungi, didekati, didampingi, dan diajak ngobrol adalah bagian dari cara tim manajemen kampus itu menunjukkan nilai hospitality yang secara kuat mereka percayai. Hingga, rangkaian acara wisuda sarjana itu pun berjalan baik, sukses, dan menyenangkan di hati.    

Itu, Mas Yanu yang selalu hubungi saya,” begitu Mas Ribut menjelaskan siapa yang berkontribusi pada kerennya layanan hospitality kampus di atas. Mas Ribut adalah sahabatku yang setia mendampingi, menemani, dan mengantarku ke mana pun aku bertugas. Khususnya di sepanjang Jawa Timur hingga Yogyakarta. Termasuk saat bertugas menghadiri dan menyampaikan orasi ilmiah pada acara wisuda ke kampus di Bondowoso di atas. Dan, nama Yanu yang dia sebut adalah seorang tenaga kependidikan senior di IAI At-Taqwa, Bondowoso, yang menyelenggarakan acara wisuda itu. Tentu, kerja dia di bawah koordinasi dan arahan pimpinan kampus itu.

Mas Yanu tampak memainkan peran sebagai penangung jawab komunikasi dengan kami. Dan tanggung jawab itu dia tunaikan dengan sangat baik sekali. Lihatlah bagaimana dia selalu menjaga komunikasi itu dengan baik hati. Hingga perjalananku ke Bondowoso selalu dia pantau. Melalui sahabatku, Mas Ribut. Seperti bisa dilihat dari pesannya dalam komunikasinya per-WA dengan Mas Ribut seperti di bawah ini. Dari pesan di WA itu, tampak kuat sekali, dia sangat bertanggung jawab dengan amanah yang harus dia tunaikan. Bahkan, dia harus pastikan kehadiranku plus waktu yang selalu dipantaunya. 

Foto: Screenshot WA Mas Ribut dan Mas Yanu (Dokumen Pribadi Mas Ribut, 04/12/2024)

“Mas Yanu itu sejak dulu tekun, Pak. Dia dulu sering ketemu saya saat dia punya urusan ke Kantor Kopertais. Dari Bondowoso ke Surabaya, dia tempuh dengan naik motor.” Begitu penjelasan Mas Ribut soal Mas Yanu itu. Mendengar cerita itu, aku pun terperangah. Lalu berucap: “Haa !!! Naik motor dari Bondowoso ke Surabaya?” Kalimat itu kulontarkan karena aku seakan tak percaya dengan fakta itu. Sebab, Kantor Kopertais yang dimaksud Mas Ribut adalah Kantor Kopertais Wilayah IV Surabaya. Terletak di dalam kompleks Kampus UIN Sunan Ampel di. Jl. A Yani 117 Surabaya. “Leres, dia selalu bawa motor dari Bondowoso ke Surabaya,” pungkas Mas Ribut meyakinkanku.  

Anda bisa bayangkan berapa jauh perjalanan dari Bondowoso ke Surabaya. Itu dia tempuh dengan naik motor. Entah, butuh berapa jam perjalanan itu dia lakukan. Pasti terbayang jauh dan lama. Hitungan kasarnya di atas 200 km jauhnya. Tentu jarak itu akan memakan waktu yang sangat lama. Tapi, Mas Yanu itu melakukan tugas itu dengan ikhlasnya. Dia lakukan perjalanan yang jauh dan lama itu dengan sebaik-baiknya. Karena hal itu diyakininya sudah menjadi tanggung jawabnya. Tak ada keluh-kesah. Dan sudah cukup lama dia menjalani tugas itu. Untuk kampus kebanggaannya.  

Aku pun lalu teringat dengan istilah unquestioning loyalty. Loyalitas yang nggak perlu dipertanyakan. Kesetiaan yang tak lagi perlu diragukan. “If you describe a person or their beliefs as unquestioning,” kata kamus Collins Dictionary, “you are emphasizing that they accept something without any doubt or disagreement.” [lihat penjelasan utuhnya di URL: https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/unquestioning-loyalty#google_vignette]. Begini terjemahannya: Jika Anda menggambarkan seseorang atau keyakinan yang dianut sebagai hal yang unquestioning atau tidak perlu dipertanyakan lagi, Anda menekankan bahwa mereka menerima sesuatu tanpa ada keraguan atau ketidaksepakatan.

  Orang seperti Mas Yanu, pada hematnya, telah sampai kepada derajat unquestioning loyalty terhadap lembaganya. Cintanya kepada lembaganya tanpa tapi. Loyalitasnya kepada lembaganya tanpa tepi. Ketulusan kerjanya kepada lembaganya, karena itu, tak perlu diragukan lagi. Kinerjanya untuk lembaganya, karena itu pula, tak perlu disangsikan lagi. Semua sudah terjamin. Melalui kinerja diri yang membanggakan hati. Sebab, jangankan yang dekat. Perjalanan yang jauh nan lama saja diarungi. Dan, energinya pun tak dihitung lagi. Semua itu dia lakukan untuk kemuliaan lembaga yang dia cintai.    

Beruntunglah lembaga yang memiliki pegawai seperti Mas Yanu itu. Kerjanya tak lagi dihitung dengan insentif yang diterima. Kinerjanya tak tertawan oleh praktik yang serba hitung-hitungan semata-mata. Amanah yang diberikan kepadanya ditunaikan dengan penuh cinta. Tugas yang diberikan dia laksanakan dengan seksama. Walau perjalanan yang harus ditempuh jauh dan lama. Berangkat sangat pagi dan pulangnya sungguh sangat larut di malam harinya. Tapi tak ada keluh yang dibawa serta. Tak ada kesah yang dipelihara. Semua tugas dan amanah itu ditunaikan dengan sebaik-baiknya.

Pengalaman lapangan memang membuktikan. Saat kerja serba hitungan-hitungan, ujungnya adalah penunaian atasnya yang selalu dinegosiasikan. Untung-rugi selalu menjadi ukuran. Tugas pun akhirnya ditawar-tawar untuk tidak ditunaikan. Kecuali jika dipastikan diperoleh keuntungan perseorangan. “Wani piro!!!” Begitu yang kerap terdengar dari celotehan yang keluar dari sejumlah lisan. “Nggak ah. Percuma bayaran kena portal. Kena batas atas.” Ini adalah contoh kalimat lain dari kerja serba hitung-hitungan. Portal dimaksud adalah batas atas remunerasi kinerja. Intinya, semua jenis pekerjaan dihitung dengan pendapatan material yang dimungkinkan. Walaupun akhirnya penolakan sering terlontarkan atas tugas kantor  yang diberikan.

Mental kerja hitung-hitungan seperti ini, menurut pengalaman yang ada, memang tak akan pernah diikuti dengan mental serba cukup. Selalu yang muncul mental kurang dan kurang. Selalu tak bisa menerima rezeki yang ada.  Tak ada dalam kamus orang yang serba hitungan-hitungan itu konsep dan praktik melampaui target kinerja (surpassing the target). Karena kerjanya selalu ditakar dengan potensi pendapatan yang akan diterima. Kalau tak ada pendapatan lebih yang mungkin dan bisa diterima, tugas pekerjaan yang diamanahkan akan ditawar. Itu walaupun lembaga sedang butuh kerja tangannya.  

Tapi, sebaliknya, saat apa yang dirasa menjadi haknya lalu ternyata diterimanya tak sesuai dengan ekspektasinya, suaranya jadi kencang diperdengarkan. Nyaring dikampanyekan. Keluhan pun dilontarkan. Bahkan umpatan pun tak lepas dari perbendaharaan pikiran dan tindakan. Padahal belum tentu ekspektasi yang dipunya tervalidasi oleh aturan. Bisa saja memang ada kekhilafan. Dari para pihak yang terlibat dalam penunaian pekerjaan. Apalagi saat penunaian atas pekerjaan itu di-outsourcing-kan ke selainnya. Tapi kerap, kemuliaan diri tak lagi diperhatikan. Hingga marwah diri pun bisa terkalahkan. Oleh ekspektasi yang kerap tak tervalidasi oleh aturan yang sudah ditetapkan dan diberlakukan.      

Saat mental kerja hitung-hitungan di atas menguat, tidak sedikit di antara kita ini yang lalu sadarnya telat. Bahwa hidup adalah investasi. Ada saatnya menanam. Ada saatnya pula menuai. Tak akan bisa menunai banyak, jika investasi yang ditanam sedikit. Tak akan ada hasil tanam maksimal sekali jika tak ada kehendak untuk memilih bibit yang unggul. Lalu bibit unggul itu dirawat dengan sebaik-baiknya. Pupuk dan air adalah bagian dari bahan yang harus disediakan untuk kebutuhan perawatan bibit itu. Bibit unggul pun tak akan bisa berbuah unggul saat tak ada intervensi perawatan atasnya. Saat pupuk dan air tak pernah diberikan, jangan pernah berharap bibit itu akan berbuah baik. Meskipun bibit itu unggul. 

Kisah hidup dan perjalanan kerja Mas Yanu di kampus Islam yang dikelola masyarakat di Bondosowo di atas, karena itu, penting menjadi bahan telaah. Penting dilakukan praktik lessons-taking atasnya. Harus ada aksi ambil pelajaran darinya. Harus ada lessons-learning atasnya. Harus ada praktik sedot makna dari kisah kerja Mas Yanu dimaksud. Kebetulan yang sedang dibicarakan memang dia. Dan kisah kerjanya bisa juga dimiliki, dialami, dan dilakukan oleh selainnya. Tapi, tetap saja bahwa kali ini pelajaran harus bisa dipetik dari kisah kerja Mas Yanu di atas.    

Nah, dalam hemat saya, ada dua pelajaran penting dari kisah kerja Mas Yanu di atas. Pertama, kepentingan lembaga harus diutamakan. Bahkan untuk itu, tak pernah lagi perlu mikir-mikir jika kepentingan lembaga sudah memanggil. Tak perlu ada lagi istilah hitung-hitungan. Semua dilaksanakan jika kepentingan lembaga memanggil. Mas Yanu memberikan pelajaran bagaimana dia harus menghabiskan tenaga dan waktunya untuk menempuh perjalanan jauh dengan kendaraan motor, seperti diceritakan di atas. Bondowoso-Surabaya ditempuhnya dengan penuh khidmat. Plus tentu rasa hormat. Karena memang tugas yang diberikan kampusnya harus dilaksanakan dengan segala keikhlasan dan kepatuhan yang tinggi.

Tentu kampus yang menjadi tempat kerjanya sudah memikirkan perihal kebutuhan Mas Yanu saat dia ditugaskan. Mulai dari kebutuhan dokumen hingga logistik. Karena, toh perjalanan  Bondowoso-Surabaya memang jauh. Lebih dari 200 km seperti disebut sebelumnya. Tentu dibutuhkan bensin yang lebih dari cukup. Juga uang perjalanan. Biar Mas Yanu yang ditugaskan tak kehabisan energi apapun selama dalam perjalanan pergi-balik Bondowoso-Surabaya. Tapi, sebagai pegawai Mas Yanu melaksanakan tugas yang untuk orang kebanyakan berat itu dengan entengnya. Dengan segala kepatuhan, seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Itu artinya, Mas Yanu lebih mengutamakan panggilan tugas dari tempat kerjanya. Sebagai kampus yang dikelola oleh masyarakat, perguruan tinggi Mas Yanu itu pasti akan selalu berurusan dengan Kantor Kopertais Wilayah IV Surabaya. Karena kantor yang disebut terakhir ini merupakan kepanjangan tangan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI yang memang berkewenangan untuk melakukan fungsi pengawasan, pengendalian dan pembinaan (wasdalbin). Dan karena itu, tugas perjalanan Bondowoso-Surabaya harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Tak bisa ditunda. Tak bisa ditawar. Menunda hanya akan menambah masalah. Apalagi menawar. Sebab, kampus yang mempekerjakannya sedang sangat membutuhkan energinya. Untuk berurusan dengan Kantor Kopertais Wilayah IV di atas.       

Pelajaran kedua, menunaikan tugas yang diamanahkan lembaga adalah bagian dari investasi masa depan. Memang, seperti yang juga telah dijelaskan di atas, ada saat menanam. Ada pula saat memanen. Tapi, yakinlah bahwa menanam kebajikan sama artinya dengan menambah batu bata kemuliaan pada bangunan peradaban kemanusiaan. Mungkin saja hasilnya bukan kita yang menikmati. Bisa saja selain kita, atau bahkan generasi setelah kita, yang mungkin akan memanen hasil dan menikmatinya. Itu mungkin saja terjadi. Sebab, bisa saja kebajikan itu baru menunjukkan hasilnya saat yang menanam telah tak lagi bersama dalam hidup. Bisa pula kemuliaan itu baru menampakkan wujudnya saat orang yang menanam di awalnya telah berpulang. 

Tapi lepas dari itu semua, ada satu hal yang penting dicamkan. Berinvestasilah untuk lembaga. Tanpa tepi. Tanpa tapi. Sebagai bagian konkret dari praktik mengutamakan kepentingan lembaga. Setiap investasi pasti ada artinya. Setiap ikhtiar yang disumbangkan ke lembaga pasti ada maknanya. Jika ada seribu pegawai, sebagai misal, dan masing-masing berpikir dan bertindak yang sama untuk kepentingan dan kebajikan lembaga, maka akan ada seribu investasi pula yang akan dinikmati oleh lembaga itu. Besar-kecil adalah soal ukuran semata. Tapi semua memiliki kontribusi yang sama untuk kebajikan lembaga.

Anggitan unquestioning loyalty, seperti diuraikan sebelumnya, mengajarkan agar khidmat kepada lembaga itu tanpa tapi. Kontribusi balik kepada terwujudnya kebajikan lembaga itu tanpa tepi. Itu semua akan menjadi ukuran dan sekaligus menentukan loyalitas yang tak perlu dipertanyakan lagi. Kesetiaan kepada lembaga pun juga tak perlu diragukan lagi. Tentu jika semua itu dilakukan dengan sepenuh hati. Setiap kita pasti memiliki kepentingan tersendiri. Setiap pegawai pasti mempunyai kehendak hati. Tapi, semakin membaiknya kinerja lembaga juga akan berdampak kepada kebaikan masing-masing diri.

Maka penting dipahami, investasi dalam bentuk kinerja terbaik diri ke lembaga sejatinya tak hanya kembali untuk kepentingan lembaga semata. Melainkan juga kembali kepada kebaikan diri pegawai yang ada di dalamnya. Bahkan, kebaikan itu justeru akan kembali untuk kepentingan diri pegawai yang melakukannya. Maka berkinerja terbaik adalah bagian dari investasi diri kepada lembaga. Tentu keuntungannya juga kembali kepada diri sendiri secara bermakna. Tak selalu dipetik hari ini. Bisa saja suatu saat ini. Tapi kinerja terbaik diri adalah investasi masa depan yang tak boleh berhenti. Dan, berhenti berarti mematikan diri sendiri.     

Loading