Column

Selamat datang bulan Ramadhan, bulan penuh Keberkahan, Ampunan dan Rahmat Nya yang tak terbatas. Begitu istimewanya bulan ini sehingga nabi Muhammad S.A.W sampai mempersiapkan dirinya sejak awal memasuki bulan Rajab dan berlanjut hingga bulan Sya’ban. Tentu bukan dalam kapasitas saya untuk menulis Ramadhan dalam perspektif keagamaan formal, karena saya bukanlah orang menguasai area keilmuan tersebut. Serial tulisan ini sebatas artikulasi pengalaman keagamaan seorang hamba yang hidup dalam konstruksi sosial keagamaan yang memulyakan Ramadhan dengan beragam ekspresi kebudayaan yang bernuansa keagamaan. Karena itulah tulisan-tulisan dalam serial kali ini akan bersifat ringan dan lebih melihat Ramadhan sebagai sebuah peristiwa kebudayaan, yang mempengaruhi ekspresi ekonomi, sosial, budaya dan juga spiritualitas masyarakat dimana penulis hidup selama ini.

Konstruksi ajaran keagamaan yang menempatkan Ramadhan sebagai bulan suci yang istimewa tentu saja sangat mempengaruhi pola kehidupan ummat dimana pun mereka berada. Karena itu pula, sambutan kepada kedatangan bulan Ramadhan ini begitu marak dan beragam bentuknya. Ekspresi penyambutan Ramadhan begitu beragam sebanyak ragam budaya yang menjadi akar dan latar kehidupan ummat Islam itu sendiri. Bahkan terkadang bentuk ekspresinya seolah tidak memiliki kaitan dengan Ramadhan itu sendiri yang sering dipahami sebagai bulan untuk membatasi diri dari hasrat keinginan untuk makan, minum, dan melakukan hubungan seksual. Alih-alih melatih diri untuk berpuasa, adat lokal di masyarakat jawa (misalnya) justru lekat hidangan makanan yang sangat beragam. Meskipun demikian tidak berarti orang Jawa tidak sedang mempersiapkan diri untuk berpuasa, mereka sebenarnya ingin memasukkan banyak makna kesucian Ramadhan dalam simbol-simbol budaya yang mereka yakini dan praktekan dalam kehidupan keseharian mereka.

Bukti keistimewaan bulan Ramadhan dalam setiap ekspresi budaya ummat Islam di dunia sangat banyak dan bervariasi bentuknya. Semua aktivitas budaya tersebut menandakan bahwa para pendahulu kita sangat serius dalam menyambut bulan suci ini. Sehingga mereka melakukan banyak sekali rekayasa kultural dan sosial agar semua orang tahu kemuliayaan di dalamnya. Meski para “pendatang baru” yang menamakan diri mereka sebagai “kaum hijrah”, banyak menganggap rekayasa dan ekspresi budaya tersebut sebagai bentuk bid’ah, akan tetapi tetap saja masyarakat kita terus melestarikan “tradisi keagamaan” itu tanpa merasa terganggu. Alih-alih berhenti dan merubah tradisi, mereka justru memperluas jangkauan aktivitasnya sehingga merambah ke sektor kehidupan formal lainnya. Sebagai contoh adalah ritual “Mengengan”. Ritual budaya menyambut Ramadhan ini sekarang bukan hanya dilakukan di kampung, surau dan atau masjid semata, tetapi juga mulai dikenalkan di komunitas dan bahkan institusi perkantoran. Ritual ini sering dimaknai dengan upaya membersihkan diri dengan saling meminta maaf dan bersedekah sebelum menjalankan ritual puasa selama sebulan penuh. Inilah yang dalam kacamata antropologi disebut sebagai bentuk “rekayasa budaya” akan mereka bisa melewai sebuah fase krisis dalam kehidupan spiritual mereka agar bisa kembali seimbang setelah melaksanakan ibadah puasa. Sebuah tradisi menyambut Ramadhan dengan aktivitas budaya yang dipenuhi rasa syukur dan riang gembira. Sehingga puasa sebulan yang sesungguhnya sungguh berat bisa dihadapi dan disikapi dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur.

Masyarakat seolah tidak peduli akan naiknya semua kebutuhan dasar mereka, yang penting mereka gembira menyambut bulan suci yang penuh berkah ini. Keberkahan bulan ramadhan tidak bisa dibandingkan dengan kemewahan dunia yang konon melenakan. Bahkan bagi mereka yang beriman, meski sedang menghadapi kesulitan hidup paling menyedihkan sekalipun, tetap menyambut ramadhan dengan penuh kegembiraan. Inilah rahasia Ramadhan yang sulit dipahami orang kecuali dia memiliki kecerdasan iman. Tidak ada sesuatupun didunia ini yang lebih pantas bagi orang beriman (dalam keadaan lapang atau sempit, senang atau sedih, kaya atau miskin) untuk diperjuangkan melebihi perjuangan untuk mendapatkan keberkahan dan kemuliaan Ramadhan.
Ramadhan dihadirkan oleh Tuhan untuk memuliakan manusia, khususnya orang beriman agar bisa memantaskan dirinya sebagai seorang hamba. Hanya hamba yang mengenal Rabb nya yang bisa mengetahui betapa mulianya bulan suci ini. Sedangkan mereka yang hatinya tertutup kabut kejahilan akan melihat bulan suci sebatas beban dan mengisinya dengan kemungkaran. Inilah orang -orang paling bodoh di dunia. (Bersambung)

Ayo persiapkan masa depan dunia dan akheratmu bersama UIN Sunan Ampel Surabaya.

Oleh:

Dr. Muhammad Khodafi, M.Si.