Column UINSA

TIDAK UNJUK GIGI POTONG GAJI
(Kampus Sebagai Rumah Kedua – Seri 6)

 Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Siang itu saya check-out dari hotel yang kusinggahi. The Rich, namanya. Di Jalan Magelang Yogyakarta. Kuserahkan kunci kamar ke resepsionis. Lalu kutitipkan koper. Biar tidak harus nenteng kesana-kemari. Karena kami berdua ingin jalan-jalan. Dan bersantai ria. Di Jalan Malioboro yang tiada bikin bosan sama sekali. Menikmati indahnya Yogyakarta dari jalan yang selalu ramai oleh kendaraan dan pejalan kaki. Siang hingga sore di Hari Sabtu (9 Desember 2023) itu, kumerasa beruntung sekali. Sepanjang jalan yang legend itu tak ditutup sama sekali. Untuk akses siapa saja yang melintasi. Hingga sore itu kami pun bisa menghabiskan waktu berdua penuh arti. Untuk family time yang selalu kunanti.

Sepuas bersantai, kami pun bergegas kembali ke hotel yang tadinya kusinggahi. Untuk mengambil koper. Nah, saat menunggu staf hotel mengambilkan koper dari ruang penyimpanan, kuberdiri persis di samping kanan agak ke belakang dari resepsionis. Begitu saya berbalik ke arah resepsionis, kulihat tulisan yang terpampang di mika akrilik. Di atas meja resepsionis. Tapi, tulisan itu hanya bisa dibaca dari arah staf resepsionis. Tak akan bisa terbaca dari arah depan. Saat konsumen berdiri untuk mendapatkan layanan dari staf resepsionis pun, tak akan bisa mendapati tulisan itu. Karena, mika akrilik yang posisinya standing di meja resepsionis itu bertuliskan berbeda pada dua sisi. Sisi depan berisi informasi soal layanan hotel. Sisi belakang berisi pesan khusus manajemen hotel kepada para staf resepsionis.

Kalimat yang menjadi pesan khusus bagi para staf resepsionis itu berbunyi begini: Tidak unjuk gigi potong gaji. Seperti terlihat di gambar di bawah, pesan itu tercetak dalam kertas putih. Selebar setengah kertas HVS. Diletakkan di bagian dalam mika akrilik yang ada di meja resepsionis. Karena kutertarik dengan isinya, kufotolah tulisan itu. Aha!! Ini keren sekali. Begitu otakku langsung meresponnya kala itu. Menarik untuk saya jadikan sebagai materi pembelajaran yang harus kuulas. Untuk menjadi contoh yang patut untuk ditiru. Oleh siapapun yang “takdirnya” adalah memberikan pelayanan terbaik. Kepada setiap konsumen. Kepada setiap pemangku kepentingan. Internal maupun eksternal.

Foto Pesan Manajemen Hotel The Rich ke Staf Resepsionis

Akupun tak bisa menyembunyikan ketertarikan besarku. Untuk menelaah lebih jauh kalimat tidak unjuk gigi potong gaji itu. Bagiku, itu cara manajemen hotel untuk menjaga mutu kerja karyawannya. Menjaga kinerja pegawainya. Apalagi para pegawai yang berhadapan langsung dengan tamu hotel. Merekalah sebetulnya pelaku garis depan seluruh layanan hotel. Mereka adalah etalase hotel. Mereka adalah ruang pamer (showroom) dari seluruh jenis layanan hotel. Termasuk hospitality atau keramahan yang menjadi bagian penting dari penyelenggaraan layanan hotel. Juga kecepatan layanan. Karena, hospitality dan kecepatan layanan itu berkaitan langsung dengan tingkat kepuasan konsumen.

Kalimat tidak unjuk gigi potong gaji di atas adalah pengingat konkret bagi karyawan. Bahwa unjuk gigi adalah nama lain dari kinerja. Unjuk gigi adalah ilustrasi bahwa kinerja adalah wajah pekerja. Marwah pegawai. Kehormatan karyawan. Otomatis, semua itu juga menjadi kehormatan lembaga. Karena itu, semua pemilik usaha, perusahaan, instansi, dan semua jenis pelaku layanan umum lainnya memiliki kepentingan yang sama. Bahwa semua pagawainya dalam kinerja jempolan. Semua dalam performa yang prima. Atas kepentingan itu, masing-masing pemilik pekerjaan tidak ingin ada masalah dalam kerja pemberian layanan oleh pegawai kepada konsumen.

Lalu, biasanya kepentingan untuk menjaga kinerja pegawai selalu menjadi skema pemikiran manajemen pemilik pekerjaan. Kalimat potong gaji digunakan oleh manajemen hotel The Rich untuk mengingatkan kapada seluruh pegawai garis depan di bagian resepsionis tentang resiko jika tidak berkinerja. Dipasangnya kalimat potong gaji di atas meja resepsionis adalah pengingat pula bahwa ada resiko yang harus dibayar jika tidak berkinerja baik. Manajemen hotel tampak memiliki perhatian cukup besar dalam persoalan kinerja pegawainya. Agar semua pegawai dalam kinerja tinggi. Karena kinerja layanan yang prima berdampak langsung pada kepuasan konsumen.

Memang, kuyakin, manajemen hotel The Rich sudah memiliki alat ukur untuk mengevaluasi kinerja pegawai yang lebih terstruktur. Tapi, kalimat tidak unjuk gigi potong gaji yang menjadi tagline kerja para staf resepsionis penting sebagai pengingat harian. Mudah dilihat. Cepat ditangkap mata. Gampang ngukur-nya. Orang Barat menyebut pengingat harian tersebut dengan daily reminder. Yang namanya indikator memang pasti harus mudah diukur. Tapi instrumentasi indikator melalui tagline yang mudah diingat dan cepat ditangkap adalah ikhtiar menarik dan keren. Saat sebuah ukuran penilaian mudah diingat dan cepat ditangkap, hasilnya akan mudah didapat.

Kita mengenal konsep stick and carrot. Tongkat dan wortel. Konsep ini dibangun dari kebajikan masa silam. Kini digunakan oleh orang Barat modern sebagai instrumen manajerial untuk menggambarkan penggunaan reward and punishment (penghargaan dan hukuman) dalam sistem kerja. Kepentingannya adalah untuk memompa semangat kerja. Memotivasi kinerja. mendorong kerjasama. Sekaligus meluruskan barisan. Untuk kepentingan dicapainya kinerja yang utama. Stick digunakan untuk melecut laju dan gerak perjalanan. Dan carrot dipakai untuk memacu gerak menuju harapan di depan mata. Keduanya dimanfaatkan secara bersamaan untuk melejitkan kinerja.

Semua pasti merindukan kinerja yang utama. Bukan saja pemberi layanan. Atau pelakunya. Tapi juga penerima layanan kerja. Semuanya dalam kehendak yang sama. Untuk selalu dalam performa terbaiknya. Apalagi pemilik kerja atau instansi pasti memiliki target terukur yang harus dipenuhi secara maksimal. Masalahnya, semua itu harus diukur. Semua harus dikerangkai. Semua harus diatur. Agar kinerja bukan musiman. Agar kinerja bukan suka-suka. Saat tertentu ada. Saat lainnya tiada. Padahal, kinerja seharusnya menjadi bagian dari nafas bersama. Oleh semua yang berada dalam institusi yang sama. Dalam satu kantor layanan yang serupa. Tak boleh ada beda-beda. Satu berkinerja. Lainnya tidak.

Kebutuhan terhadap kinerja utama menjadi salah satu ukuran orang baik. Memang ada sedikit beda paham. Orang Barat melihat semua orang baik. Aturan dibuat agar orang tetap menjadi baik. Dan tidak tergelincir. Di Indonesia, kita pernah berada dalam situasi di mana orang awalnya diasumsikan dan dianggap tidak baik. Dan untuk menandai bahwa dia orang baik, maka dibuatkan instrumen administrasi negara. Namanya SKKB. Surat Keterangan Kelakuan Baik. Memang surat tersebut sudah diubah sejak zaman reformasi. Menjadi SKCK. Surat Keterangan Catatan Kepolisian. Mirip dengan konsep criminal code di sejumlah negara Barat.

Apapun perbedaan basis kebijakan itu, satu yang pasti: manajemen kantor apapun tidak sedang berhadapan dengan malaikat. Manajemen berhadapan dengan manusia. Yang punya akal. Juga punya hati. Nama lainnya emosi. Kadang naik. Kadan turun. Yazidu wa yanqusu. Begitu meminjam konsep yang popular dalam kajian studi Hadits. Seperti yang terbaca di awal kitab kumpulan Hadits bernama Shahih Bukhori. Karena multidimensi diri manusia ini, maka pergerakan naik-turun dan dinamika yang terus-menerus terjadi tak boleh mengganggu kinerja. Tak boleh merusak irama kerja. Hingga kinerja utama pun hanya menjadi isapan jempol belaka.

Karena itu, aturan penting dibikin. SOP penting diciptakan sebagai turunan yang lebih teknis dari regulasi. Bahkan, tagline pun menjadi kebutuhan yang harus disusun dan dipenuhi. Semua itu untuk mengerangkai agar kinerja menjadi nafas kerja bersama. Mutu performa terjaga dengan baiknya. Tak terganggu oleh masalah apa saja yang menimpa. Tak tergerus oleh instabilitas emosi yang bisa muncul kapan saja. Tak tergantung pada suasana batin yang tak bisa dipastikan selalu sama. Padahal kerja tak boleh berhenti atas alasan apapun adanya. Karena kerja adalah ruh dari sebuah lembaga. Layanan akan terganggu jika ada yang berhenti bekerja. Minimal tak ada performa. Seperti yang diinginkan bersama. Sebagai sebuah ekosistem sosial yang terlembaga.

Dalam kehidupan kampus, petugas pemberi layanan administrasi adalah pegawai garis terdepan. Di perguruan tinggi ternama, mereka persis seperti pegawai resepsionis sebuah hotel atau kantor perusahaan. Mereka dikondisikan untuk berperan sebagai humas harapan. Pemberi layanan yang mapan. Termasuk informasi yang dibutuhkan. Oleh siapa saja yang datang dengan berbagai pertanyaan. Juga permintaan. Apalagi, orang datang bisa dengan berbagai soal yang ditanyakan. Bahkan, yang diminta pun juga tak bisa dipastikan. Karena masing-masing datang dengan agenda dan kebutuhan yang berlainan. Satu atas lainnya tak berkeserupaan. Pertanda bahwa layanan yang efektif dan efisien sangat dibutuhkan.

Maka, kampus penting untuk selalu menjaga kinerja mereka. Agar layanan yanag diberikan bisa secara optimal tertata. Menuju kepuasan yang maksimal adanya. Jangan hanya dosen yang terus dilatih keterampilannya. Mulai dari seni mengajar hingga produksi publikasinya. Tenaga kependidikan yang bertugas sebagai pemberi layanan teknis harus juga disertakan. Dalam berbagai kesempatan pelatihan. Dalam berbagai jenis dan jenjangnya. Agar keterampilan penyelenggaraan layanan administrasinya terus bisa ditingkatkan. Untuk memenuhi harapan. Pada pemenuhan layanan yang dinantikan. Tentu dengan kualitas yang memuaskan.

Minimal, ada empat keterampilan yang harus selalu ditingkatkan pada tenaga kependidikan. Penguasaan substansi atas materi layanan. Itu yang pertama. Mengapa ini penting? Karena, sebagai pemberi layanan garda depan, mereka sejatinya adalah humas. Itu walaupun disertai degan penguatan prinsip berikut ini: everybody is a PR person here. Setiap kita adalah humas di lembaga yang ada. Yang kedua adalah keterampilan komunikasi. Karena berperan sebagai humas, maka pegawai pemberi layanan penting dilatih terus untuk meningkatkan keterampilan komunikasi asertif daripada agresif. Cirinya, apresiatif kepada lawan bicara. Dengan dibuktikan oleh penggunaan kata dan ekspresi tubuh yang santun-memesona. Juga mengutamakan fakta daripada penilaian (value judgment) semata. Wujudnya, tidak baperan.

Yang ketiga adalah seni melayani dalam tekanan. Ini lebih ke daya tahan psikologis (psychological endurance). Sebab, yang datang bisa saja tidak stabil saat keinginannya tidak terpenuhi. Atau permintaannya tidak terpuaskan. Daya tahan terhadap tekanan dimaksud, lagi-lagi, diwujudkan dalam bentuk pilihan kata dan penggunaan ekspresi tubuh. Yang disebut terakhir ini mewujud mulai dari ekspresi kontak mata dan pandangan hingga mimik wajah. Bahkan yang juga tak kalah pentingnya adalah gerak tangan. Dalam melayani, tangan penting untuk terus dijaga agar tidak ada gerakan yang bisa ditangkap oleh pencari layanan merendahkan dirinya. Atau minimal tak menghormatinya.

Itu semua dibutuhkan untuk terciptanya kenyamanan dan keamanan di kampus idaman. Apalagi, rasa nyaman dan aman itu prasyarat utama bagi penciptaan Kampus Sebagai Rumah Kedua yang diinginkan (baca tulisan sebelumnya “Kampus Sebagai Rumah Kedua (Seri 1)” pada https://uinsa.ac.id/id/blog/kampus-sebagai-rumah-kedua-seri-1). Tentu untuk kepentingan itu, kepuasan penerima manfaat layanan harus dijaga. Demi terciptanya situasi pelaksanaan layanan pendidikan tinggi yang utama. Demi menjaga kenyamanan dan keamanan penerima layanan.  Yang dalam konteks pelaku usaha disebut pelanggan. Atau konsumen setia.

Maka siapapun pengelola perguruan tinggi hendaknya tidak menyepelekan pegawai garda depan. Yang bertugas memberi pelayanan. Kepada siapa saja yang membutuhkan. Dalam kaitan ini, hendaknya pimpinan lembaga pendidikan tinggi tidak mengecilkan arti pemberian layanan. Oleh pegawai garda depan yang sudah ditugaskan. Karena menyepelekan berarti mengecilkan. Dan mengecilkan berarti menganggapnya tak penting dan tak punya peran. Jangan pernah ada ketidaksetaraan kemampuan dalam penyelenggaraan layanan. Oleh para pegawai yang telah ditetapkan. Ketidaksetaraan kemampuan dimaksud akan menimbulkan ketimpangan dalam penunaian tugas dan jabatan. Maka, tenaga kependidikan pun selayaknya diberikan akses dan kesempatan yang sama dengan pendidik untuk meningkatkan kualitas diri dan layanan. Agar tercipta ekosistem layanan yang jempolan.

Kemuliaan sebuah perguruan tinggi ditentukan di antaranya oleh tenaga kependidikan. Sebagaimana juga oleh dosen. Kampus tak bisa menafikan keberadaan mereka. Apalagi yang bertugas di garda depan. Untuk kepentingan layanan, mereka adalah etalase kampus. Mereka adalah showroom kampus. Apalagi, hubungan pemberi dan penerima manfaat layanan akan menentukan masa depan sebuah institusi. Saat hubungan pemberi dan penerima manfaat layanan dalam kondisi baik, maka baik pula marwah insitusi yang membawahinya. Saat hubungan dimaksud dalam kondisi titik nadir, martabat lembaga pun bisa tergadaikan olehnya. Mahasiswa pula yang menjadi korbannya. Karena layanan prima hanya menjadi angan-angan semata.

Atas kepentingan itulah, slogan tidak unjuk gigi potong gaji seperti oleh Hotel The Rich di atas penting untuk menjadi inspirasi nilai kerja. Jika nilai kerja ini telah melembaga, maka sejatinya ada-tidaknya kebijakan potong gaji tentu tak akan mengurangi indeks kinerja. Dan itu tentu yang lebih mulia. Bukankah Islam punya ajaran tentang ihsan? Engkau boleh merasa tak diawasi orang. Tapi saat engkau merasa Tuhan selalu hadir di setiap detak nafas dan gerak langkahmu, engkau akan selalu berada dalam kinerja terbaik dalam hidupmu. Dan itu berlaku pada semua aspek kehidupan. Maka, berkinerja utama adalah juga kewajiban agama. Bukan sekadar panggilan profesi semata.