Column UINSA

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.DRektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Petang itu jam menunjuk angka 18:26 WIB. Harinya Senen. Tanggal 05 Juni 2023. Pesan singkat melalui aplikasi percakapan WhatsApp (WA) masuk ke HP saya. Begini bunyinya: “Ass Prof ngapunten besok mau silaturrahim ke njenengan. Wass.” Saya tidak bisa menjawabnya. Itu karena saat itu saya tidak bisa memberi kepastian. Takut mengecewakan. Padatnya jadwal menjadi pertimbangan saya. Terlewatlah pesan singkat tersebut tanpa ada jawaban seketika dari saya petang itu.  

Keesokan paginya, muncul lagi pesan singkat melalui WA ke HP saya. Dari orang yang sama. “Ass ngapunten Prof, pagi ini saya bisa silaturahim ke njenengan. Wass.” Begitu bunyi pesan singkat tersebut. Pagi itu tanggal 6 Juni 2023. Terlewat pula pesan singkat itu persis seperti malam sebelumnya. Saya pun belum bisa memberi jawaban kepastian karena takut mengecewakan akibat padatnya agenda.

Kebetulan, pagi jam 07:30 pada hari itu ada acara syukuran kecil-kecilan persis satu tahun saya diberi amanah oleh Menteri Agama untuk menjadi rektor. Lepas itu, jam 07:40 saya terjadwal harus mengajar di S1 Prodi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UINSA. Lalu, jam 10:10 saya harus terbang ke Jakarta untuk memenuhi undangan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam acara “Rektor Berbicara Untuk Indonesia Emas 2045”.   

Tuhan memang kalau sudah berkehendak, maka terjadilah. Itu bahasa agamanya. Takdir, itulah ungkapan lainnya. Orang Barat kerap menyebut hal ini dengan istilah the element of surprise. Elemen keterkejutan. Unsur ketidakterdugaan. Aspek ketiba-tibaan.  Sesuatu yang datang dalam hidup tanpa bisa dikira sebelumnya.

Alkisah, usai mengajar di S1 PBI di atas, saya lalu bergegas ke toilet fakultas. Tujuannya jelas: mau buang air kecil. Hanya, begitu mau masuk ke toilet, saya mendapati dua tempelan kertas berisikan tulisan yang membuat mata jadi sepet. Penyebabnya sederhana. Tempelan kertas itu berserakan walaupun dengan pesan serupa nan sama. Tempelan-tempelan kertas itu ada di pintu toilet dan tembok sebelahnya. Kutertarik membacanya lalu memfotonya. Kertas di toilet itu bertuliskan begini: “Toilet laki-laki karyawan dan dosen. Tempat toilet mahasiswa di lantai 2, 3, 4.”

Gambar: Pintu Toilet Pegawai

Intinya, di fakultas itu ada toilet yang memang khusus diperuntukkkan bagi pegawai. Bukan untuk umum. Termasuk mahasiswa. Namun toh begitu, pemandangan yang muncul pada toilet Gedung fakultas yang dibangun dengan anggaran puluhan miliar itu jadinya mirip toilet umum yang tak bertatakelola baik. Ada serangkaian kertas menempel di tembok dan pintu yang membuat asas kerapian dan ketertiban terancam berat.

Nah, usai mendapati pemandangan tak rapi dan tak tertib itu, bergegaslah saya ke dalam toilet. Karena, memang niat awalnya adalah untuk buang air kecil. Ndilalah, begitu memasuki toilet, kontan ada lelaki yang menyapa: “Pak Rektor!” “Ya, siap!” sahut saya. “Ah mumpung ketemu di sini, tadi saya kirim WA ke njenengan untuk konsultasi.”   

Terjadilah pembicaraan di dalam toilet itu. Saya sambil buang air kecil, dan lelaki yang saat itu sudah hampir usai mencuci tangan di westafel. Karena saya baru masuk toilet dan baru memulai ritual buang air kecil, lelaki itu melanjutkan pembicaraan kecil ke saya. Percakapan pun berlangsung di dalam toilet itu. Dia menceritakan perihal yang dialaminya sambil sesekali minta pendapat saya. Sejurus kemudian, saya pun menjawab santai sambil menyelesaikan ritual buang air kecil itu. Perbincangan itu terjadi tanpa saling pandang satu sama lain. Saya berkonsentrasi pada buang air kecil, dan lelaki itu fokus menyelesaikan cuci tangannya.

Akupun tersadar dengan kejadian kecil ini. Saat ku sulit memberi keputusan soal waktu pertemuan. Tuhan hadir dengan the element of surprise-Nya. Atas takdir-Nya, akhirnya aku dipertemukan dengan kolegaku di tempat yang seharusnya hanya untuk buang hajat. Jika saja Habermas masih hidup, dia akan terkejut pula: bahwa toilet pun bisa menjadi ruang publik (public sphere) yang mengatasi fungsi awalnya hanya untuk buang hajat namun ternyata memiliki fungsi tambahan nan tak terperkirakan. Yakni, mempertemukan seseorang dengan lainnya (dan mungkin lebih dari dua orang) untuk membicarakan perihal yang berkaitan dengan urusan publik.

Mungkin saya bisa menyebutnya dengan istilah “mini ruang publik”. Yakni, ruang publik yang tidak secara sengaja lahir untuk membincangkan urusan bersama tapi dilakukan hanya dalam waktu yang relatif singkat nan pendek. Tidak memungkinkan untuk melakukan perbincangan dalam waktu yang lama dan jenak. Minimal untuk ukuran perbincangan masalah yang agak serius. Itu pun terjadi karena faktor ketidaksengajaan. Hanya memanfaatkan pertemuan singkat yang tak disengaja, perbincangan terjadi dengan singkatnya. Itulah ilustrasi mini ruang publik dimaksud,

Dan mungkin mini ruang publik ini sangat berbasis kultural tertentu, seperti dapat muncul di sejumlah gugus masyarakat Indonesia dengan kecenderungan etiket tertentu pula. Sebab, di kultur masyarakat lain seperti di Barat, tidak mungkin muncul pembicaraan seperti antara saya dan kolega saya di atas di dalam toilet. Etiket yang berlaku di mereka, toilet itu ruang yang cenderung privat meskipun statusnya bisa saja “toilet umum”. Sebab, kata “umum” dalam frase yang disebut terakhir di situ hanya menunjuk bahwa toilet itu bisa digunakan oleh siapa saja, namun hak-hak privat sangat dijunjung tinggi atas apa yang terjadi di toilet. Secara kultural, tidak “diperkenankan” ada pembicaraan antara satu dan lainnya di dalam toilet, apalagi dilakukan dalam waktu yang membuat orang lain berhenti dan atau menahan kegiatan buang air atau cuci tangannya dari waktu singkat yang dibutuhkan. 

Kalaulah terjadi pembicaran, paling banter hanya sapaan “hi” (hai) atau “hello”. That’s it. Hanya itu saja. Jawabannya juga singkat, mulai “hi” hingga “good” atau “well”.. Selebihnya, tidak ada. Tak ada perbincangan lebih dari sekadar sapaan dimaksud. Karena, dalam basis kultural mereka, toilet itu tempat buang air kecil dan cenderung privat. Secara etiket, tak boleh ada yang mengganggu keperluan privat orang lain. Mengajak bicara panjang atau melibatkannya dalam perbincangan lebih hanya akan masuk ke dalam kategori mengganggu privasi orang lain. 

Waktu pun berjalan, dan perbincangan di toilet itu pun berakhir singkat. Selesailah urusan yang sedang dan hendak dimusyawarahkan oleh kolega saya ke saya. Toilet telah menjadi mini ruang publik. Dengan durasi yang berlangsung antara tiga hingga lima menit, perbincangan di toilet telah menyelesaikan urusan yang menimpa kolega saya dengan problematika status kepegawaiannya.

Namun, akupun seperti mendapatkan keberkahan lainnya. Kebutuhan untuk buang air kecil di toilet akhirnya memungkinkanku untuk mendapat asupan kemuliaan lain: perlunya perbaikan tata kelola toilet di fakultas yang sempat saya kunjungi. Pertama, sebuah pesan ke publik tak harus berulang. Apalagi, ditulis dalam prasarana yang statis, seperti pintu toilet dan tembok. Tempelan kertas menjadi instrumennya. Sebab, untuk dapat terkirim dan terpahami (delivered), pesan harus efektif. Ukuran sederhananya adalah singkat, padat dan bermakna tanpa harus berulang. 

Kedua, sarana yang digunakan untuk mengirim pesan harus dikemas secara rapi, tertib, dan menarik. Pesan yang mulia tak akan sampai dengan kemuliaannya jika kemasannya tak rapi. Pesan yang baik tidak akan selalu sampai dan diterima baik jika dikirim dengan media yang tak menunjukkan unsur ketertiban. Akhirnya, mata pun jadi sepet, seperti kuuraikan sebelumnya. Dan, gedung pun akan tampak dan jadi kumuh dan kumel. Akhirnya, penerima pun tak akan tertarik untuk membaca dan mencernanya, apalagi menerima isinya.

Duh, the element of surprise. Kau telah menganugerahiku banyak kemuliaan untuk perbaikan kampusku. Kau telah memberiku kesempatan emas untuk melakukan refleksi dan sekaligus evaluasi atas tata kelola gedung dan layanan ruang publik secara umum di kampusku. Hanya butuh waktu tiga hingga lima menit saja, kau menyadarkanku betapa urusan publik di kampusku masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah yang butuh solusi segera.

Dan lebih-lebih, berasal dari hal kecil seperti kehendak untuk buang air kecil, kau, wahai the element of surprise, akhirnya membuatku makin yakin bahwa amanah harus dibayar lunas dengan kerja keras dan komitmen tinggi untuk menjaga kemuliannya. Kini, kusemakin yakin pula bahwa berawal dari yang kecil, inspirasi bisa kita raih untuk menunaikan amanah publik. Berangkat yang kecil, perihal besar pun bisa didesain untuk perbaikan secara lebih efektif. Kusemakin percaya ini: Mengurusi yang besar penting. Tapi tidak membiarkan yang kecil tak terurus juga awal dari perwujudan kebajikan publik untuk kemaslahatan yang lebih besar. Dan kebetulan kali ini, berangkat dari urusan toilet fakultas sebagai wasilahnya, kuraih inspirasi untuk perbaikan tata kelola kampusku secara lebh luas.