Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Suatu saat aku ditanya. “Apa yang paling sulit dalam pengalaman Anda memimpin beragam lembaga?,” begitu bunyi pertanyaan itu. Seorang kawan yang bertanya ini mengerti perjalanan karir berorganisasiku. Mulai dari aktivisme di lembaga nirlaba, ormas keagamaan hingga birokrasi pemerintahan. Pertanyaan itu kontan kujawab: “Membangun mentalitas baru.” Itu jawaban yang kuberikan. Dan, itu yang bagiku paling menantang, namun tetap harus dilakukan. Karena lembaga harus mengalami transformasi. Terutama saat tantangan dan situasi berubah dengan cepat. Sementara capaian kinerja tak bisa ditawar-tawar. Lemah kinerja hanya akan membuat lembaga terpuruk. Minimal stagnan.

Lembaga dimaksud terutama adalah instansi pemerintah. Kampus negeri adalah bagian dari instansi pemerintah. Bidang garapnya saja yang spesifik. Yakni layanan pendidikan tinggi. Dan penyelenggaraan layanan pendidikan tinggi di kampus itu harus responsif dan aktif mengelola perubahan di internal maupun eksternalnya. Saat tantangan yang dihadapi sangat tinggi, kampus pun harus melakukan transformasi yang relevan. Terhadap situasi eksternal, kampus bagaimanapun harus cakap membaca tanda-tanda zaman. Juga mengelola modal internalnya dalam menyelenggarakan transformasi itu.

Di sinilah, mentalitas baru dibutuhkan. Sebab, sumber daya manusia yang ada di dalamnya tetaplah sama. Tak ada perubahan. Hanya mungkin pergeseran tugas dan fungsi saja yang terjadi. Istilah teknisnya rotasi. Bentuknya bisa mutasi atau promosi. Tapi semua sumber daya manusia itu, sekali lagi, tetap sama. Sementara tantangan dan situasi yang dihadapi sudah mengalami perubahan. Lazimnya, perubahan itu bukan mengecil. Melainkan membesar. Nah, dalam situasi seperti itu, hanya ada satu yang mungkin dan bahkan harus dilakukan: membangun mentalitas baru.

Mentalitas baru itu harus dibangun di atas sistem nilai. Sebab, tanpa sistem nilai, sebuah pekerjaan tak akan bisa mencapai kemuliaan dalam cita-cita. Tanpa sistem nilai, kualitas dari penunaian kerja akan mudah untuk naik-turun. Tanpa sistem nilai, kinerja tak akan bisa tercapai seperti yang diinginkan bersama. Karena itu, mentalitas baru yang dibutuhkan untuk menyambut tantangan baru dalam dunia kerja profesional harus dibangun di atas sistem nilai. Kepentingannya sederhana. Agar kerja tak kehilangan arah. Juga, tingkat keberlangsungan kinerja bisa dijaminkan secara memadai nan kuat.        

Dalam konteks inilah, nilai yang menjadi fondasi sistem kinerja UIN Sunan Ampel Surabaya sebagai contoh khusus diciptakan. Isinya ada lima: satu barisan, gak pakai lama, buy one get two, berorientasi pendapatan akademik-finansial, dan clean and clear. Lima nilai ini melandasi seluruh kerja yang diselenggarakan untuk memperkuat kinerja lembaga. Kelimanya dibutuhkan untuk membangun mentalitas baru. Yakni, mentalitas Islamic socioprenuer university di era baru perguruan tinggi sebagai academic industry. Kampus UIN Sunan Ampel Surabaya membutuhkan mentalitas baru ini untuk kemajuan institusi. Di tengah tantangan yang makin kompleks dan tinggi.       

Hanya, mengandalkan sistem nilai saja tak cukup. Harus dilakukan konkretisasi. Di sinilah praktik birokrasi menjadi penting disempurnakan. Sebagai contoh, kalau mentalitas baru dibangun di atas nilai gak pakai lama seperti disinyalir sebelumnya, maka praktik birokrasinya juga harus cepat dan tepat. Karena itulah, maka disiplin waktu adalah bagian dari praktik mentalitas baru yang harus dibangun dan dikembangkan secara kuat. Semua kegiatan harus dikelola dengan disiplin waktu yang ketat. Saat sebuah kegiatan disampaikan dalam surat undangan dimulai jam 09:00 WIB, maka jam 09:00 itu pula harus dimulai. Tak boleh ada jam karet. Molor dan tak jelas.

Saat mentalitas baru itu sudah terbangun dan terlaksana dengan baik dalam praktik birokrasi, sebuah institusi berarti telah sukses melakukan transformasi kelembagaan melalui budaya kerja baru. Sebab, kerja pelembagaan mentalitas baru berarti telah sukses terlaksana. Nah, kalau sudah sukses seperti ini, tantangannya sangat jelas nan konkret: mempertahankan mentalitas baru itu. Kata “mempertahankan” ini muncul karena adanya kebutuhan terhadap ketahanan budaya birokrasi pada satu sisi dan perubahan manajemen birokrasi di sisi lainnya. Satu dari dua faktor ini bisa memberikan tekanan kuat kepada mentalitas baru yang telah mulai terbangun itu untuk runtuh, minimal melemah.

Diskusi soal ini lalu kuutarakan ulang saat menerima rombongan tim KKH (Kerjasama Kelembagaan dan Humas) UINSA Surabaya. Di ruanganku. Kamis, 2 Januari 2025 yang lalu. Kala itu pertemuan dilakukan untuk membahas mentalitas baru dengan contoh kerja cepat dan disiplin waktu dalam pengelolaan kerjasama dan humas. Ku sebut kala itu kalimat ini: “Sangat ironis jika kita kembali ke budaya sebaliknya dalam kerja birokrasi.” “Sebab,” kataku kala itu, “mentalitas kerja cepat dan disiplin waktu sudah terbangun baik. Masa akan kembali tidak cepat dan lemah disiplin waktu dalam bekerja?” Demikian catatanku kala itu kepada teman-temanku di tim manajemen KKH itu.  

“Semoga kita tetap terus bisa disiplin waktu dan tidak kembali ke sebaliknya,” kataku melanjutkan penjelaskanku di atas. Kalimat itu kuucapkan sebagai harapan. Sekaligus juga peringatan agar mentalitas baru tak runtuh. Sebagai akibat dari fondasi mentalitas baru yang  belum tertanam kuat. Sekaligus juga akibat praktik implementasi konkretnya yang juga tak penuh semangat. Mendengar kalimatku ini, Ketua Tim KKH, Retno Indriati, dalam pertemuan itu lalu kontan berkomentar, “Kalau sampai kembali ke budaya kerja sebaliknya, berarti kita kembali ke setelan pabrik he heee.” Riuhlah pertemuan kecil di ruanganku kala itu. Ketawa lepas pun segera menghiasi. Tentu ketawa di sini dalam rangka untuk menertawakan diri sendiri. Sebagai autokritik.

Penyebutan frase “setelan pabrik” menjadi pemantiknya. Penyebutan frase itu yang membuat riuh seisi ruang rapat kecil di kantor ku kala itu. Frase “setelan pabrik” ini memang sangat akrab di telinga. Sebab, hampir semua orang kini tak bisa terhindar dari penggunaan piranti elektronik. Tentu beserta pengaruhnya. Gadget dan komputer adalah di antara contohnya. Apalagi, di dalam semua piranti elektronik, termasuk kedua contoh tersebut, selalu terdapat kosa kata “setelan pabrik” itu. Bahasa Inggrisnya, default setting. Artinya, mode yang ada pada piranti itu murni seperti yang ada sejak awal pada selera kecenderungan pabrik. Bahasa Jawanya, gawan pabrik.

Konsumen memang bisa melakukan pengubahan sesuai selera. Bahasa teknisnya, customizing. Artinya, pengguna bisa saja melakukan customizing atau pengubahan atas mode yang diinginkan pada piranti elektroniknya. Suka-suka. Sesuai selera dan keinginan. Tak sama antara satu orang dan lainnya. Karena itu, pasti akan muncul sekian ragam perbedaan. Sesuai selera dan keinginan yang diperturutkan. Meskipun begitu, setelan pabrik tidak akan pernah hilang dari sistem kerja piranti itu. Hanya untuk sementara tidak diaktifkan saat sudah dilakukan praktik customizing atas mode setelan yang diinginkan. Tak dipergunakan untuk sementara waktu. Atau selama mode hasil customizing atau pengubahan itu diberlakukan.

Namun begitu, cara kerja piranti elektronik itu masih bisa dikembalikan ke setelan pabrik sewaktu-waktu dibutuhkan. Tak berarti saat mode hasil customizing atau pengubahan itu dipergunakan, lalu setelan pabrik hilang sama sekali. Bukan. Sekali lagi tidak begitu. Setelan pabrik masih ada. Dan sewaktu-waktu bisa dibangkitkan lagi. Khususnya saat mode hasil customizing atau pengubahan itu tak lagi diberlakukan pada piranti elektronik itu. Artinya, setelan pabrik tetap masih bisa efektif lagi saat itu dikehendaki kembali.      

Nah, saat piranti elektronik itu disetel ulang untuk kembali ke mode default setting atau setelah pabrik, berarti tak ada lagi mode lain setelah dilakukan perubahan sesuai yang diinginkan. Semua kembali kepada gawan pabrik. Bentuknya, setelan pabrik yang menjadi mode awal nan asli saat diberlakukan efektif di awal pengoperasian piranti elektronik itu. Dalam kaitan inilah, pengubahan apapun yang dilakukan pada mode piranti elektronik itu tak lagi berfungsi apa-apa. Tak lagi bermakna apa-apa.

Artinya, intervensi apapun yang dilakukan pada piranti elektronik itu tak memiliki dampak apapun saat setelan pabrik kembali difungsikan. Dengan skema kerja begitu, maka piranti elektronik itu murni kembali ke setelah awal oleh pabrik. Lalu, customizing atas mode yang diinginkan di awalnya kembali nonaktif. Teknis, kecakapan, dan intervensi yang dilakukan pada piranti elektronik itu tak berdampak apapun. Sekali lagi, tak bermakna apa-apa. Tak berarti apa-apa. Hilang sama sekali.

Apa yang diuraikan di atas hanyalah ilustrasi belaka. Untuk memudahkan pemahaman. Frase “setelan pabrik” di atas digunakan untuk menggambarkan redupnya mentalitas baru karena kembalinya praktik dan budaya lama nan sebaliknya ke dalam perilaku seseorang. Dan saat frase itu diucapkan sebagaimana dalam kalimat di atas, tim KKH UINSA dan aku  pun kala itu di perbincangan itu sejatinya sedang menertawakan diri sendiri. Karena sungguh ironis jika praktik kembali ke setelah pabrik itu terjadi. Padahal mentalitas sudah didesain berubah. Sedangkan mentalitas baru, dalam kenyataannya, tak berumur panjang. Lalu pilihan hidup dikembalikan ke mentalitas selainnya yang pernah ada dalam kerja hidupnya.

Tentu saja, saat frase “setelan pabrik” diucapkan, masing-masing kami kala itu sedang mempertanyakan integritas diri masing-masing jika hal itu memang benar-benar terjadi. Dan praktik  “kembali ke setelan pabrik” itu kini menjadi perbincangan hangat. Menjadi perhatian. Agar hal itu tak terjadi. Sebab, sudah dua tahun UINSA Surabaya telah mengembangkan mentalitas baru dalam menunaikan tugas pekerjaan di kampus tersebut. Lima nilai dasar yang menjadi fondasi sistem kerja pada mentalitas baru itu telah menjadi satu dan menyatu dalam nafas dan gerak warga UINSA Surabaya. Maka, praktik  “kembali ke setelan pabrik” itu tak dikehendaki dalam kamus kerja kampus dimaksud.

Foto: Tim KKH UINSA (Dokumen Pribadi Mas Rian KKH, IG rian_stiwow92, 17/01/2025)

Merujuk pada uraian pengalaman di atas, ada dua pelajaran penting bagi siapa saja yang ingin melakukan transformasi kelembagaan. Pertama, transformasi kelembagaan harus diawali dengan pembangunan mental baru. Perbincangan ringan seperti diuraikan di atas memberi kita pelajaran bahwa mental baru itu penting agar perubahan yang sedang dijalankan bisa dipastikan tidak masuk kategori bubble. Ya, seperti busa. Semua serba seakan-akan. Serba seolah-olah. Seakan-akan besar. Padahal besarnya rapuh. Seolah-olah membumbung. Padahal busung.

Frase “setelan pabrik”, awalnya, memang menjadi bagian dari fasilitas yang disediakan oleh produsen kepada konsumen untuk memudahkan pemakaian. Semua produk teknologi dilengkapi dengan mode itu agar piranti itu segera bisa digunakan secara mudah oleh konsumen dari semua kalangan. Tapi, frase dimaksud dalam perkembangan di lapangan digunakan oleh sejumlah gugus warga masyarakat sebagai ungkapan pejoratif. Kepentingannya untuk menggambarkan susahnya usaha untuk membangun mental baru dalam sistem kerja individu.

Tentu, frase “setelan pabrik” di awalnya dihadirkan dengan maksud baik. Sebagian seperti diuraikan dalam paragraf di atas. Manfaat lainnya bergantung pada dan sekaligus kembali kepada masing-masing individu warga masyarakat sebagai pengguna piranti teknologi. Lalu, meminjam perspektif teori interaksionisme simbolik dalam sosiologi oleh George Herbert Mead (1863-1931), frase tersebut berkembang dalam interaksi sosial pada gugus masyarakat tertentu. Hingga frase itu mengalami apa yang disebut dengan pengembangan dan bahkan pembiasan makna akibat interaksi sosial yang berubah pada gugus masyarakat dimaksud.        

Nah, berubahnya makna atas frase “setelah pabrik” di atas mengirimkan pesan sederhana. Frase itu kini menjadi ungkapan sosial untuk menguraikan mentalitas seseorang yang bisa kembali ke kondisi yang sebaliknya dari nilai mentalitas baru yang diharapkan. Kecenderungan itu sangat mungkin terjadi. Khususnya saat perubahan tak dibangun dan dilengkapi dengan pembangunan mentalitas baru yang diharapkan. Maka, jangan anggap ringan soal pembangunan mentalitas baru. Jangan sepelekan pengembangan nilai yang menjadi fondasi dari mentalitas baru itu. Itu semua dibutuhkan agar perubahan yang dilaksanakan untuk kebaikan lembaga bisa berlangsung dengan baik.    

Kedua, membangun mental baru saja tak cukup. Harus disempurnakan dengan kerja institusionalisasi. Pelembagaan. Pembudayaan. Atas tata nilai yang menjadi fondasi mentalitas baru itu. Ini adalah kerja untuk menjamin keberlanjutan efektivitas nilai itu dalam tata kerja kelembagaan. Sederhana caranya. Semua yang menjadi tata nilai atas mentalitas baru itu dilaksanakan. Prinsipnya, sekarang juga. Bukan nanti. Tak boleh ada penundaan. Juga harus dilakukan oleh siapa saja. Berlaku untuk semua. Agar perubahan bisa segera melembaga.

Tapi di atas itu semua adalah pentingnya role model. Pimpinan harus memberi contoh sebelum mengkampanyekan tata nilai di atas. Tak boleh ada prinsip: Mentalitas baru untuk Anda, bukan untuk saya. Tata nilai dikembangkan dan didorongkan kepada pegawai. Semua pegawai lalu ditekankan untuk melaksanakan semua nilai yang ada dalam tata nilai baru di sistem kerja yang baru juga. Sementara pimpinannya hanya cukup berkampanye semata. Bukan begitu caranya. Itu tak bisa. Karena jika begitu, maka itu tak akan punya makna  strategis bagi pelembagaan nilai. Tak punya kontribusi penting bagi pembudayaan nilai. Tak akan ada signifikansi yang berarti bagi institusionalisasi nilai.

Institusionalisasi nilai itu butuh regulasi. Mengapa begitu? Karena yang dihadapi oleh tim manajemen lembaga bukan malaikat. Yang tak pernah punya keinginan. Yang tak pernah pasang surut dalam menunaikan amanah dan tugas pekerjaan. Yang tak pernah hanyut oleh godaan. Yang tak pernah labil dalam menjalani tanggung jawab yang diberikan. Alih-alih, yang dihadapi dalam kerja transformasi kelembagaan adalah manusia yang tak pernah lepas dari godaan. Juga tuntutan dan tekanan. Daya tahan dirinya, karena itu, bisa yazid dan bisa pula yanqush. Bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Bisa menguat dan bisa pula melemah. 

Karena itulah, nilai dan cita-cita harus diikat secara kuat dalam temali. Mengikatnya harus melalui regulasi. Agar nilai dan cita-cita itu tak memudar oleh situasi hati. Lalu, regulasi itu harus mewujud ke dalam praktik-sehari-hari. Tak perlu menunjuk jemari. Untuk diarahkan ke sana-kemari. Semua harus dimulai dari diri sendiri. Tentu diri sendiri di sini dimulai pemimpin sejati. Agar siapapun yang berada di bawahnya bisa mengikuti sepenuh hati. Agar lembaga betul-betul mengalami transformasi. Untuk tujuan yang semua sepakati dan kehendaki.         

Nilai tak berada di ruang kosong. Ia butuh ruang material agar bisa efektif. Karena itu, nilai tak bisa berdiri sendiri. Juga tak bisa beroperasi sendiri. Butuh dibuatkan skema tata kerja yang terukur dan sistematis. Dalam kaitan inilah, tata nilai membutuhkan tata kelola yang baik. Ukuran baiknya tak hanya ada di atas kertas semata. Tapi juga harus mewujud dalam praktik kerja lembaga. Agar ungkapan “setelan pabrik” tak lagi berkembang menyusul mentalitas individu yang kembali ke nilai dan kerja sebaliknya. Untuk itu, kebaikan lembaga harus dijaga sekuat tenaga. Menuju asa hidup yang lebih mulia.     

Loading