Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Lama tak jumpa, kehangatan begitu menggelora. Itulah yang kurasakan saat ketemu dengan Pak Subhan Cholid, Lc., MA. Beliau adalah Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI. Tanggung jawab penyelenggaraan layanan haji di Arab Saudi adalah tanggung jawabnya. Maka, hampir semua yang terjadi dengan pelayanan haji di Arab Saudi menjadi urusannya. Jika ada masalah hukum yang dialami atau dilakukan oleh jemaah haji Indonesia, maka dia orang pertama yang pasti ditanya. Baik oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi maupun Pemerintah Indonesia.

Alkisah, pagi itu di Hari Minggu (17 November 2024), kami berdua bersama seluruh peserta berkumpul di lapangan Pelindo Learning Centre. Tempat acara di Ciawi Bogor. Kala itu, kami berdua sedang menghela nafas. Di sela-sela pendidikan baris-berbaris (PBB) oleh tim militer. Memang, dalam tiga hari secara total, mulai Jumat hingga Minggu (15-17 November 2024), kami berdua bersama seluruh peserta sedang mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama RI. Di setiap pagi selama Rakernas itu, selalu ada kegiatan rutin berikut ini: shalat subuh berjamaah, senam pagi, lalu latihan PBB. Rutinitas itu baru berakhir jam 07:30.

Foto: Pose Santai Usai Senam Pagi dan PBB Peserta Rakernas (17/11/2024)

Di sela-sela menghela nafas itu, aku dan Pak Subhan berbincang santai. “Kalau ada senam pagi seperti ini, kita jadi ingat jemaah haji yang rutin melakukan senam setiap pagi selama di Saudi, nggih,” kataku mengawali pembicaraan dengannya. “Iya, betul, Prof,” begitu jawabnya seraya memanggilku dalam jabatan guru besarku sebagai bentuk penghormatan beliau kepada diriku. “Hanya, saya pernah dipanggil Polisi Kerajaan Arab Saudi karena hal itu,” imbuhnya. Akupun lalu penasaran kenapa dia dipanggil Polisi Kerajaan Arab Saudi hanya gara-gara persoalan senam pagi. Termasuk senam yang dilakukan jemaah haji lansia itu. Bagiku, itu kasus menarik. Aku pun pingin tahu lebih jauh. “Aku harus tanya lebih detail soal ini,” bisikku dalam hati.  

“Bagaimana ceritanya itu, Pak Subhan? Kenapa terjadi?” tanyaku agak investigatif. “Apakah karena ada ikhtilath?” tanyaku lebih spesifik.  Kutanya ini karena bagaimanapun, saat senam pagi, jemaah haji laki dan perempuan berkumpul di taman sisi kanan, kiri atau depan hotel. Khawatirku, karena alasan ikhtilath atau bercampurnya jemaah haji laki dan perempuan pada satu tempat terbuka itu, lalu Polisi Kerajaan Arab Saudi mengambil langkah penting sesuai ketentuan yang mereka yakini dan terapkan. Termasuk memanggil dan memintai pertanggungjawaban Pak Subhan selaku penanggung jawab penyelenggaraan Haji Indonesia di Arab Saudi.

Ternyata, yang terjadi lebih dari sekadar yang kukhawatirkan. Pak Subhan pun menjelaskan detailnya. Begini, ceritanya: “Polisi Kerajaan Arab Saudi menanyai saya kenapa ada laki-laki dan perempuan menggoyang-goyangkan dan meliuk-liukkan tubuhnya di tempat terbuka yang bisa disaksikan banyak orang secara umum.” Mendengar jawaban ini, aku pun spontan bertanya lagi: “Oh begitu, Pak Subhan?” Dia pun menjawab segera: “Iya Prof, begitu yang ditanyakan kepada saya oleh Polisi Saudi.” “Kasusnya,” jelasnya lebih jauh, “Memang tentang jemaah haji Indonesia yang sedang senam pagi di halaman hotel. Kebetulan kejadiannya memang di area hotel tempat menginap mereka di daerah Misfalah.”  

Mendengar jawaban yang diceritakan Pak Subhan di atas, aku pun tersadar. Bahwa dugaanku sedikit meleset. Bukan karena ikhtilath atau bercampurnya jemaah haji laki dan perempuan yang menjadi masalah. Karena memang di musim haji, jutaan orang dari seluruh dunia berkumpul di Tanah Suci. Untuk satu tujuan: beribadah haji. Maka, ikhtilath dimaksud memang menjadi isu yang cenderung sulit dihindarkan meskipun khalwat dalam pengertian berduaannya lawan jenis bukan dalam status perkawinan tetap menjadi masalah serius. Apalagi di Tanah Haram. Yang justru menjadi masalah dan dipermasalahkan oleh Polisi Saudi adalah adanya sekumpulan perempuan yang menggoyang-goyangkan dan atau meliuk-liukkan tubuhnya di tempat terbuka yang bisa disaksikan banyak orang secara umum.  

Pak Subhan pun menjelaskan bahwa sekumpulan perempuan yang menggoyang-goyangkan dan atau meliuk-liukkan tubuh itu adalah dalam rangka senam pagi. Cara yang digunakan untuk menjaga kebugaran oleh jemaah haji Indonesia. “Tapi tetap saja Polisi Saudi tidak bisa menerimanya. Karena kejadian itu dilakukan di tempat terbuka yang bisa disaksikan banyak orang secara umum,” cerita Pak Subhan. Sejak saat itulah, lalu senam pagi tak lagi dilakukan di taman di sekitar hotel. Melainkan pindah ke dalam ruangan agak besar di dalam hotel. Ada yang di lorong. Ada pula yang di lobby.

Kejadian senam pagi di area umum nan terbuka yang akhirnya dilarang oleh Polisi Kerajaan Arab Saudi di atas memang terjadi di hotel tempat menginap Jemaah Haji Indonesia di daerah Misfalah. Tapi, dampak ikutannya akhirnya juga mengenai semua jemaah lainnya di daerah-daerah selainnya pula. Yakni, bahwa senam tidak boleh lagi dilakukan di tempat umum secara terbuka. Seperti halnya di area taman di sekitar hotel tempat menginap. Kasusnya adalah pengalaman senam jemaah haji di taman sekitar hotel di daerah Misfalah. Akhirnya senam pun tak bisa lagi dilakukan di area umum nan terbuka seperti di sekitar hotel. Pengalaman di hotel di daerah Misfalah dimaksud menjadi pemantiknya.  

Senam pagi memang menjadi kebijakan Pemerintah Indonesia. Itu dilakukan untuk menjaga kebugaran jemaah haji. Apalagi, jumlah jemaah haji lansia juga masih cukup besar. Pada musim haji 1445 H/2024 M saja, menurut data dari Kemenag RI, masih terdapat lebih dari 45.000 orang. Atas latar belakang itu, apa yang disebut dengan Senam Haji pun diciptakan, sebagaimana uraian detailnya di bagian bawah. Lalu, Senam Haji itu dipraktikkan selama musim pelaksanaan haji di Arab Saudi. Maka, hampir di semua hotel tempat menginap Jemaah Haji Indonesia dilaksanakan Senam Haji itu. Lebih-lebih untuk jemaah lansia. Namun, sejak mendapat teguran dari Polisi Kerajaan Arab Saudi itu, senam pagi itu akhirnya memang tetap dilaksanakan namun di dalam ruangan di dalam hotel tempat menginap.

Mendengar kisah yang diceritakan ulang oleh Pak Subhan di atas, kita pun penting untuk mengambil pelajaran.  Pertama, jangan ingkari norma sosial yang berlaku di masyarakat yang berbeda. Apalagi melanggarnya. Sadar atau tidak sadar. Sengaja atau tidak sengaja. Sebab, norma sosial yang berlaku di tengah-tengah sebuah masyarakat memunculkan sensitivitas publik tersendiri di kalangan mereka. Kita yang berasal dari latar belakang normal sosial yang berbeda dengan masyarakat itu harus memahami dan mengikuti betul normal sosial itu. Jangan sampai melanggar. Sebab, akan pasti kena sanksi. Minimal sanksi sosial. Maksimal akan ada sanksi dari negara. Itu jika normal sosial sudah bergerak dan diinstrumentasi menjadi ketentuan negara.

Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, adalah latar belakang saja. Bisa karena basis pengetahuan yang tidak sama. Bisa pula karena motivasi yang berbeda. Tapi, untuk ukuran pemilik norma sosial itu, tetap saja praktik yang berlawanan adalah bentuk ketidakpatuhan. Dan setiap ketidakpatuhan adalah bentuk pelanggaran. Karena itu, atas praktik senam pagi yang menggoyangkan dan atau meliuk-liukkan tubuh di tempat umum nan terbuka dinilai sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang berlaku di Tanah Suci. Karena itu pula, praktik senam pagi itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma sosial yang sudah menjadi norma negara yang diberlakukan di Tanah Haram. Hingga akhirnya, Polisi Kerajaan Arab Saudi harus memanggil Pak Subhan untuk dimintai keterangan. Karena dia menjadi penanggung jawab dari pemerintah Indonesia untuk pelayanan haji luar negeri.

Cerita Pak Subhan di atas menjelaskan bagaimana menggoyangkan dan meliuk-liukkan tubuh di muka umum dalam kerangka senam pagi menjadi perihal yang terlarang di Tanah Haram di Arab Saudi. Karena itu, perihal dimaksud menjadi isu sensitif. Senam saja dianggap melanggar. Apalagi lebih dari sekadar itu. Karena itu, senam di muka umum yang —tidak bisa tidak— harus berkonsekuensi pada menggoyangnya dan meliuk-liuknya tubuh menjadi isu sensitif. Dan karena itu pula, akibatnya bisa dirasakan langsung. Yakni, praktik itu sangat tidak diperkenankan, untuk tidak mengatakan dilarang.  

Senam pagi memang dianjurkan oleh penyelenggara jemaah haji. Khususnya bagi jemaah lansia. Karena itu, seperti dijelaskan sebelumnya, Senam Haji pun dibuat. Bahkan sebelum pemberangkatan jemaah haji ke Arab Saudi pun, Senam Haji itu diluncurkan. Itu pun waktunya hanya dua minggu sebelum pemberangkatan pertama. Senam lansia diluncurkan pada 28 April 2024 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Adapun pemberangkatan pertama jemaah haji dilakukan pada 12 Mei 2024. Pemerintah Indonesia menilai Senam Haji begitu penting hingga peluncurannya pun diikuti serentak secara daring oleh lebih dari 28.000 peserta dari 34 provinsi di Indonesia.

Foto: Peluncuran Senam Haji di Asrama Haji Pondok Gede (Dokumen Kemenag RI)

Mengapa Senam Haji dinilai begitu penting? Karena jumlah jemaah lansia masih cukup tinggi. Sekali lagi, angka total melebihi 45.000 orang, seperti dijelaskan sebelumnya. Tentu jumlah itu terhitung besar. Risiko kesehatan mereka pun, karena itu, juga cukup tinggi. Karena itulah, Senam Haji sangat dianjurkan untuk mereka. Agar kebugaran tetap terjaga. Dari kedatangan hingga kepulangan. Tak muncul persoalan kesehatan yang merisaukan. Mulai dari sekadar kelelahan hingga kekambuhan. Karena semua dari jemaah haji Indonesia pasti ingin berangkat sehat dan pulang pun juga penuh afiat.

Tapi dilarangnya senam pagi untuk dilakukan di tempat umum nan terbuka membuat penyelenggara haji Indonesia memutar otak kembali. Tak lagi senam pagi itu dilakukan di tempat umum nan terbuka yang menimbulkan masalah di mata otoritas Polisi Kerajaan Arab Saudi. Seperti yang terjadi di hotel di wilayah Misfalah di atas. Mempertimbangkan itu, lalu jemaah haji Indonesia diminta untuk beralih ke ruang dalam hotel. Karena sebetulnya, yang dilarang bukan senamnya. Tapi pelaksanaannya di tempat umum nan terbuka yang tak diizinkan. Jemaah pun akhirnya memanfaatkan ruangan yang agak leluasa di dalam hotel. Mulai dari lorong hingga ruang pertemuan dalam hotel.

Kebijakan di lapangan yang diambil oleh penyelenggara Haji Indonesia di luar negeri yang dikomandani Pak Subhan di atas semata-mata untuk menghormati dan menaati norma sosial yang berlaku di Tanah Suci. Tak ada argumentasi atas norma sosial yang berlaku dan diterapkan di Tanah Suci itu. Semua perubahan kebijakan di lapangan yang diambil oleh Pak Subhan selaku penanggung jawab penyelenggaraan Haji Indonesia di Arab Saudi adalah bentuk kepatuhan yang ditujukan kepada peraturan yang diberlakukan oleh Polisi Kerajaan Arab Saudi. Kepatuhan itu adalah ekspresi penghormatan dan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku atas norma sosial itu.

Sebagai pelajaran kedua, agar tidak muncul bias dan ekses yang tak diinginkan dalam praktik di lapangan, sebuah kebijakan tak cukup hanya didasarkan pada asumsi sendiri. Atau juga pengalaman sendiri di wilayah sendiri. Apalagi saat hal itu sudah harus beririsan dengan masyarakat, bangsa, dan ortoritas negara lain. Memang asumsi dan pengalaman sendiri dalam beberapa hal membantu mendekatkan kita kepada perihal baru dalam kehidupan bersama. Namun, pengalaman bersenam pagi di Tanah Suci, sebagai sebuah contoh, memberikan pelajaran bahwa data harus didapatkan sebelum sebuah kebijakan diambil, apalagi dilaksanakan. Apalagi kebijakan itu dilakukan oleh gugus sosial sendiri namun lokasinya justru di setting masyarakat yang berbeda. Yakni, Arab Saudi.  

Karena itu, dalam praktik konkretnya, pengambilan kebijakan (policy making) sudah sepantasnya didahului dengan proses telaah dan benchmarking secermat mungkin terhadap norma dan ketentuan yang berlaku pada urusan serupa di masyarakat berbeda. Jangan sampai terlewat. Dan, ini bukan untuk mengatakan bahwa kebijakan soal Senam Haji di musim haji 1445 H/2024 M tidak didahului dengan telaah yang memadai terhadap norma sosial yang berlaku di masyarakat Arab Saudi di Tanah Suci. Tentu saja bukan itu sama sekali. Ku yakin proses itu sudah juga dilalui. Hanya, selalu saja fakta lapangan memungkinkan lahirnya masukan penting bagi perubahan kebijakan di lapangan. Dan, pengalaman ini tentu berharga sekali untuk kebijakan ke depan. Dalam urusan haji atau kepentingan umum apapun yang sedang menjadi perhatian.

Pengalaman sendiri memang kerap memberikan kekuatan campur tangan (interference power) yang kuat kepada praktik diri. Kuasa campur tangan pengalaman ini biasanya muncul saat akan melangsungkan kegiatan serupanya. Begitulah yang terjadi dengan Senam Haji untuk kebugaran diri. Maksudnya pasti baik di hati. Untuk menjaga kebugaran jemaah haji. Namun, praktik Senam Haji di tempat umum nan terbuka seperti yang terjadi dan menjadi pengalaman Jemaah Haji Indonesia di wilayah Misfalah di atas, dalam faktanya di lapangan, justru dinilai oleh Polisi Kerajaan Arab Saudi telah menabrak normal sosial lokal di Tanah Suci. Dan karena itulah, oleh Pemerintah Indonesia dilakukan perubahan kebijakan pelaksanaan dari ruang terbuka nan umum ke ruang dalam hotel.

Senam memang sesuatu yang biasa di negeri sendiri. Dilakukannya pun tak hanya di ruang tertutup dan tersendiri.  Melainkan juga di ruang terbuka. Di taman-taman. Di alun-alun. Bahkan juga di halaman-halaman pusat perkantoran dan perbelanjaan. Intinya, di hampir semua tempat terbuka selain peribadatan. Bahkan senam itu juga bisa diikuti oleh semua. Tak peduli laki atau wanita. Semua bisa dilakukan di negeri sendiri di Indonesia. Dan karena pengalaman konkret itulah, maka Senam Haji juga dilakukan oleh Jemaah Haji Indonesia di ruang terbuka di sekitar hotel tempat menginap selama berhaji.  

Tapi, pengalaman di negeri sendiri itu ternyata menjadi masalah saat dilakukan di Tanah Suci. Karena norma dan ketentuannya memang tak sama. Dan, perubahan kebijakan Senam Haji dari dilakukan di tempat umum nan terbuka ke ruang dalam hotel tempat menginap jemaah haji adalah sebuah ikhtiar birokrasi yang patut dipuji. Dan itulah di antara yang membuat citra haji Indonesia sangat harum sekali. Di mata warga masyarakat maupun Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Dan perubahan praktik implementasi kebijakan bukanlah sebuah kesalahan jika di sana memang ada kemaslahatan lebih besar yang menanti. Senam Haji adalah contoh kebijakan untuk menjangkau dua hati yang harus dihormati. Jemaah Haji Indonesia sendiri dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.