Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Personal Development. Pengembangan diri. Itulah tajukku. Untuk catatan pendekku. Ku-posting ke akun medsosku. Mulai dari Instagram, Fecebook, hingga TikTok milikku. Catatan pendek itu kubuat singkat. Hasil ingatanku pada sambutan penutupan rapat kerja UINSA di Solo, 8-10 Maret 2024. Kuunggah catatan pendekku itu bersama video hasil rekaman pada acara yang penuh hikmat. Rekaman itu dibuat oleh sahabat karibku, Pak Sirajul Arifin, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) yang hebat. Meski rekaman langsung dilakukan hanya dengan gadget, aku pun merasa terbantu dengan sangat.
Dalam unggahanku itu, kutulis pesan ringkas. Begini bunyinya: “Orang modern begitu membutuhkan personal development. Nama lainnya self-improvement. ‘Perbaikan diri’ dalam bahasa lokal kita. ‘Pengembangan diri’, istilah lainnya.” Begitu kuawali pesanku pada unggahanku itu. Kusebut di awal pesan itu, betapa orang modern sekalipun butuh praktik pengembangan diri. Butuh perbaikan diri. Untuk kemajuan diri yang selalu dirindu terus-menerus tanpa tersudahi. Betapa orang modern yang gila kinerja saja masih merasa perlu untuk melakukan perbaikan diri. Melalui pengembangan potensi dan koreksi diri tanpa henti.
Aku pun lalu mengingatkan. Tentu untuk diriku sendiri yang terlebih dulu. Bahwa Islam jauh sebelum era modern sudah menekankan pentingnya personal development itu. Islam menaruh perhatian besar pada isu self-improvement itu. Buktinya, ada surat khusus yang ada dalam kitab suci al-Qur’an yang memberikan atensi besar soal itu. Begini kutulis kala itu: “Islam memiliki konsep pengembangan dan perbaikan diri itu. Al-Qur’an Surat al-‘Ashr (ayat 3) di antaranya memberikan resep handal. Bunyinya: وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر (saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran).”
Lalu apa hubungan antara personal development dan praktik berbagi nasehat? Apa kaitan antara self-improvement dengan kemauan memberi dan menerima nasehat? Kata “berbagi” dan “kemauan memberi dan menerima” seperti yang dilukiskan oleh kata تَوَاصَوْا dalam ayat di atas menunjuk kepada terbukanya pikiran dan perasaan terhadap masukan dan nasehat. Seseorang baru bisa menerima nasehat dan masukan jika dia merasa butuh atasnya. Saat dia merasa tak butuh atasnya, maka pikiran dan perasaannya tak akan bisa terbuka terhadap masukan dan nasehat. Semuanya jadi cenderung tertutup. Padahal, pengembangan dan perbaikan diri baru bisa dimulai saat seseorang merasa dirinya masih memiliki kekurangan. Dan karena itu, terdapat kebutuhan terhadap masukan dan nasehat dari luar dirinya.
Makin kubaca dengan piranti keilmuan modern, makin kunikmati keutamaan al-Qur’an. Bagaimana itu bisa terjadi? Dalam konteks personal development, sebagaimana dalam kaitan pembahasan ini, al-Qur’an meletakkan kebutuhan yang tinggi untuk melakukan pengembangan dan perbaikan diri itu ke dalam konteks dan prinsip kerugian diri (خُسْرٍ). Tengoklah ayat ke-2 dari al-Qur’an Surat al-‘Ashr di atas. Jelas disebutkan bahwa seseorang sungguh dalam kerugian diri yang besar: إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. Itu terjadi jika tak ada kehendak “berbagi” dan “kemauan memberi dan menerima” atas masukan dan nasehat pada dirinya.
Orang modern menyebut prinsip kerugian diri di atas dengan istilah self-loss. Maknanya, kerugian diri. Atau kehilangan diri. Sara Kuburic, seorang terapis psikologis dan konsultan pengembangan diri dari Kanada, sebagai misal, mengenakan label self-loss pada orang yang merasakan kepedihan dan kehampaan yang muncul karena menjalani atau mengamati kehidupan, alih-alih membuatnya hidup. Seperti bisa dibaca dalam bukunya yang berjudul It’s on Me (New York: The Dial Press, 19 September 2023), Kuburic mengidentifikasi self-loss ini dengan kerugian eksistensial, dan bukan fisik: This loss… is not physical, it is existential (halaman 19). Dan karena itu, dalam buku tersebut, Kuburic menawarkan sejumlah strategi untuk keluar dari jebakan self-loss dengan pendekatan psikologi klinis.
Foto: Sampul Depan Buku It’s on Me Karya Sara Kuburic
Jadi, perhatian keilmuan modern terhadap personal development dan atau self-improvement seperti oleh Kuburic di atas memiliki irisan yang dekat dengan perspektif al-Qur’an yang sudah berkembang sejak 14 abad lebih yang lalu. Itulah yang membuatku semakin kagum pada kitab suciku itu. Lalu, kuurailah lebih jauh hebatnya perspektif al-Qur’an dalam mendekati pentingnya personal development dan atau self-improvement itu. Bagaimana bentuknya? Al-Qur’an meletakkan kebutuhan atas personal development dan atau self-improvement itu ke dalam konteks dan prinsip kerugian diri. Begini catatanku pada unggahanku pada akun sosmedku di atas: “Konteks potongan ayat tersebut mengaitkan persoalan pengembangan diri dengan kerugian hidup (khusr), sebagaimana disampaikan pada ayat sebelumnya dalam surat itu.” Sebab, ayat yang meminta setiap kita untuk saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran sebagai modal bagi personal development dan atau self-improvement tersebut datang setelah ayat tentang kerugian diri itu.
Lalu, unggahanku di atas kututup dengan pesan singkat. Pesan itu tentu untuk diriku sendiri terlebih dulu. Begini bunyinya: “Maka, jangan sia-siakan nasehat dan masukan. Itu modal pengembangan dan perbaikan diri.” Kuyakin bahwa kesadaran untuk melakukan pengembangan dan perbaikan diri itu bisa datang dari mana saja. Termasuk dari selain diri kita. Sebab, pada diri kita masing-masing ada unsur afeksi. Yang kadang bisa meninggikan derajat. Dan kadang bisa pula menjatuhkannya. Karena itu, saling berbagi dalam kebenaran dan kesabaran adalah prinsip mulia dalam hidup. Sebagai modal penting bagi pengembangan dan perbaikan diri. Maka, kataku dalam unggahan itu, “Menolak masukan dan nasehat? Yang bener aja! Rugi dong!”
Nilai kerugian di atas bukan saja mengenai domain pribadi. Melainkan juga meliputi kepemimpinan publik. Tak hanya berkaitan dengan kerugian pada kehidupan diri sendiri. Melainkan juga berdampak pada munculnya disinsentif publik. Yakni, kerugian pada kualitas tata kelola ruang publik. Karena itulah, setiap pemimpin, termasuk di perguruan tinggi, penting untuk menjadikan semangat al-Qur’an dan perspektif keilmuan modern di atas sebagai inspirasi untuk membangun kepemimpinan yang baik. Tentu minimal di institusi masing-masing. Inspirasi dimaksud di antaranya bisa diraih dengan mengambil sejumlah pelajaran penting di dalamnya. Beberapa di antaranya sebagaimana dapat diuraikan di bawah ini.
Pertama, jangan pernah congkak atas yang dipunya. Yakinlah, yang dipunya masih kalah jauh dibanding yang belum dipunya. Juga, jangan sombong atas apa yang diketahui. Sadarilah, yang diketahui masih kalah jauh dari yang belum diketahui. Tak kalah pentingnya, jangan pernah jemawa atas pengalaman yang dipunya. Karena penting dicamkan, bahwa yang dialami masih kalah jauh dibanding yang belum dialami. Masih terlalu banyak yang belum kita punya, kita ketahui, dan bahkan yang belum kita alami. Di luar yang sudah kita punya, kita ketahui, dan bahkan yang sudah kita alami, masih terlalu banyak kebajikan dan kemuliaan yang bertebaran dan belum kita asup. Intinya, tetaplah rendah hati atas yang sudah dimiliki, diketahui dan dialami.
Maka, dalam kerangka personal development dalam kepemimpinan, tidak ada cara lain untuk keuntungan dan kebaikan diri kecuali dengan membuka diri terhadap masukan. Pikiran dan perasaan yang terbuka terhadap nasehat sudah menjadi kebutuhan diri. Menuju kemuliaan yang selalu didamba oleh setiap diri. Pikiran dan perasaan yang terbuka seperti ini menjadi lawan dari kecenderungan congkak diri. Penanda congkak diri adalah pikiran dan perasaan yang tertutup terhadap masukan dan nasehat. Tentu, hal yang demikian tak membantu sama sekali terwujudnya personal development dalam kepemimpinan. Apapun jenis dan jenjang kepemimpinan itu.
Karena itulah, kesombongan atas jabatan sangat tidak disuka oleh manajemen modern. Sebab, hal itu akan menjadi awal berhentinya seseorang untuk belajar. Pasalnya, dia akan cenderung memuja diri dan jabatannya. Selain juga memandang rendah siapapun selainnya. Chole R., seorang manajer program pada lembaga ternama manajemen perubahan Change Wizard (lihat: https://www.linkedin.com/pulse/confident-vs-arrogant-leadership-chloe-rees-), membedakan antara pemimpin percaya diri (confident leader) dan pemimpin sombong diri (arrogant leader). Pemimpin percaya diri merasa sangat yakin atas kemampun dirinya untuk menolong sesama dan melakukan sesuatu yang berbeda. Sedangkan pemimpin sombong diri meyakini dirinya tak lagi butuh untuk belajar, berkembang, dan berubah.
Jadi, dalam perspektif kepemimpinan, kesombongan tak akan banyak membantu penunaian tugas jabatan. Mengapa? Karena kesombongan membuat seseorang berhenti untuk melakukan continuous improvement atau perbaikan berkelanjutan. Terjebak pada apa yang sudah dipunya, diketahui, dan dialami. Seakan yang sudah dipunya, diketahui, dan dialami adalah segalanya. Padahal perubahan begitu cepat sekali. Dan, orang yang terjebak pada mencukupkan diri atas yang sudah dipunya, diketahui, dan dialami berarti dia menafikan perubahan. Apalagi, kebajikan bisa datang dari siapa saja. Maka, tiadanya kebutuhan dan praktik continuous improvement akan segera menandai berhentinya berprestasi lebih tinggi.
Agama memang soal nilai. Tapi dalam hal penunaian jabatan, nilai agama pun sudah hadir memberi pendasaran spiritual. Agar jabatan tak membuat pemangkunya resisten pada masukan. Itulah kenapa nilai agama pun mengajarkan agar menjauhi kesombongan. Termasuk dalam soal penunaian tugas jabatan. Itu karena, meminjam Bahasa Hadits Nabi, الْـكِبْرُ بَطَرُ الْـحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ. Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan sesama. Sombong itu pasti ditandai oleh sikap resisten terhadap kebenaran. Dan pada saat yang sama, sombong membuat pelakunya secara otomatis merendahkan sesamanya. Itu semua karena dirinya menganggap di atas segalanya.
Berdasarkan identifikasi dan pengukuran prinsip kesombongan oleh Hadits Nabi di atas, maka pemimpin yang baik tak pernah menutup telinga dari masukan. Tak pernah menutup mata atas nasehat yang disampaikan. Tak pernah resisten dan bahkan menolak terhadap masukan dan nasehat. Termasuk dari mereka yang berada di bawahnya. Intinya, tidak hanya manajemen modern yang tak suka atas pemimpin sombong. Agama pun juga serupa sedari awalnya. Bahkan, kategori pemimpin percaya diri sekalipun, seperti diulas sebelumnya, juga tak menolak terhadap masukan dan nasehat demi personal development dalam kepemimpinan yang diidamkan.
Kedua, jangan gelisah pada berseliwerannya omongan orang. Karena tak semua omongan itu nasehat. Tak semua omongan itu masukan. Ada yang memang asal beda. Ada yang memang dasarnya tak suka. Maka, nyinyir pun menjadi penandanya. Gaduh pun bisa lebih mengemuka. Meski begitu, tetaplah berpikir positif. Bahwa motivasi bisa macem-macem. Namun, substansinya, anggaplah semua yang masuk sebagai ekspresi kecintaan pada kebaikan. Sisanya, jangan membuat diri menjadi baper (kebawa perasaan). Karena niat baik tak boleh kalah oleh niat jahat. Jika niat baik sedikit-sedikit larut, maka panggung akan dikuasi oleh niat jahat.
Karena itu, al-Qur’an menitikberatkan pada nilai konstruktif dalam proses pemberian serta pengambilan masukan dan nasehat. Digunakannya kata بِالْحَقِّ (kebenaran) dan بِالصَّبْر (kesabaran) menandai bahwa kehendak “berbagi” dan “kemauan memberi dan menerima” atas masukan dan nasehat didasari oleh, dan didasarkan pada, dua hal utama: kebenaran dan kesabaran. Keduanya ini menjadi substansi dari, dan sekaligus pembentuk, nilai konstruktif dalam proses pemberian serta pengambilan masukan dan nasehat dimaksud. Saat salah satu atau bahkan keduanya hilang, maka proses pemberian serta pengambilan masukan dan nasehat menjadi tertawan. Akan pincang. Hasilnya pun bisa sumbang.
Kerugian akan menimpa saat seseorang telah berhenti belajar. Defisit nilai diri pun akan membesar. Itu saat seseorang sudah merasa tak butuh melakukan perbaikan diri secara wajar. Juga, kemalangan diri pun akan menyasar. Saat seseorang sudah merasa tak lagi butuh nasehat dari luar. Pun, keburukan juga akan menimpa secara liar. Saat seseorang sudah merasa tak perlu masukan sesuai nalar. Lebih-lebih, kehancuran pun akan mengedepan. Saat seseorang menolak kebenaran. Dan sikap arogan, sombong serta jemawa dalam kepemimpinan sejatinya sama dengan menolak kebenaran. Dan itu yang oleh Islam dan prinsip kepemimpinan modern dijauhkan. Karena itu, self-loss bisa lahir dari sikap menolak kebenaran. Maka katakan pada diri sendiri: “Mau menutup diri dari masukan dan nasehat? Yang bener aja! Rugi dong!”