VAKSINASI VIRUS KIBIR
Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ وَٱقْصِدْ فِى مَشْيِكَ وَٱغْضُضْ مِن صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلْأَصْوَٰتِ لَصَوْتُ ٱلْحَمِيرِ
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan, serta lunakkanlah suaramu. Sungguh suara terburuk adalah suara keledai” (QS. Luqman [31]: 18-19)
Pada ayat-ayat sebelumnya dalam surat Luqman, yaitu mulai ayat 12-17, Allah menjelaskan pesan-pesan Luqman kepada anaknya. Luqman adalah salah satu hamba Allah yang dipilih-Nya untuk diberi al-hikmah atau ketajaman spiritual. Pesan Luqman dalam deretan ayat tersebut amat lengkap, mencakup sendi-sendi agama, yaitu iman, Islam, dan ihsan atau akhlak. Sebagai kelanjutan, ayat 18-19 ini merupakan ayat terakhir dari semua pesan Luqman, yaitu larangan sombong, dan perintah rendah hati kepada semua orang.
Pengertian sombong atau kibir telah disampaikan Nabi SAW,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ، قَالَ رَجُلٌ، إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا، وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ، يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidaklah masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan sekecil atom. Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana dengan orang yang senang berpakaian bagus, dan sandalnya juga bagus?” Nabi menjawab, “Sungguh Allah itu indah, dan Dia menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran, dan meremehkan orang” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud r.a)
Mengapa kibir dilarang keras? Sebab, bahayanya amat dahsyat, yaitu (1) ia virus dahsyat perusak keimanan yang masuk ke dalam darah secara tiba-tiba, tanpa kita rasakan, (2) hati pelakunya tertutup dari ayat-ayat Allah (QS. 40: 35), (3) tidak diijinkan masuk surga, meskipun kibirnya hanya sebesar atom, (4) merusak keharmonisan masyarakat, (5) keberkahan hidupnya dicabut Allah, meskipun ilmu dan ibadahnya setinggi langit. Apalagi orang bodoh yang kibir, (6) mendapat murka Allah (QS. 31: 18), karena menyamai setan (QS. 2: 34), dan menyaingi Allah. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT berfirman,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ ، اَلْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِداً مِنْهُمَا، قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Abu Hurairah, r.a berkata, Nabi SAW bersabda, Allah ‘Azza wa jalla berfirman, “Kebesaran adalah selendang-Ku, dan keagungan adalah pakaian-Ku. Maka, siapa pun yang merampas salah satu dari keduanya, Aku akan melemparkannya ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Kibir itu dalam hati. Tapi, gejalanya bisa diamati. Syekh Habib Abdullah Alwi Al Haddad dalam kitabnya, An-Nasha-ihud Diniyah wal Washaya Al Imaniyyah menyebutkan tujuh gejala kibir, yaitu (1) selalu bangga dan menonjolkan dirinya di depan orang, (2) ingin selalu tampil dalam berbagai pertemuan, (3) bergaya hidup mewah, dan berbangga dengan kemewahannya, (4) selalu merasa benar dan suci, sehingga susah menerima kritik dan kebenaran, (5) memandang rendah para duafak dan orang yang lebih rendah status sosialnya, serta bertindak semena-mena, (6) membanggakan diri sebagai keturunan orang ternama dalam keilmuan, kesucian, dan status sosialnya, dan (7) membanggakan prestasi amancu (anak, mantu, dan cucu).
Meskipun gejala-gejala kibir telah tampak, kita tidak boleh serta-merta memberi label kibir pada seseorang. Sebab, ada penonjolan diri yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Misalnya, bertujuan agar tidak diremehkan pihak lain, dan agar mendapat kepercayaan publik sebagai muslim yang berkualitas. Itulah yang dilakukan Nabi Yusuf a.s dengan tujuan bisa masuk dalam lingkaran kekuasaan Mesir dan berdakwah melalui kekuasaan. Ia berhasil diangkat sebagai menteri keuangan di Mesir. Ia menyakinkan penguasa dengan mengatakan,
قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendahara di negeri ini (Mesir). Sungguh, aku orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan” (QS. Yusuf [12]: 55)
Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk pencegahan atau vaksinasi agar tidak mudah terserang virus kibir? Pertama, ingatlah selalu enam bahaya kibir terhadap masa depan dan akhirat kita, sebagaimana tersebut di atas. Kedua, hayatilah doa-doa dalam shalat. Antara lain, makna hamdalah dalam Al Fatihah, rukuk, dan i’tidal, bahwa hak pujian hanya bagi Allah, dan kita dilarang keras mengharap pujian orang. Hayati juga doa tasyahud yang mengajarkan, bahwa kemuliaan dan kebesaran hanya milik Allah. Ketiga, renungkan sejumlah firman Allah yang melarang sombong. Antara lain, firman Allah,
فَاِنَّ الْعِزَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۗ
“Sungguh, kemuliaan itu hanya milik Allah” (QS. An Nisa’ [4]: 139)
Keempat, berlatihlah menghapus kibir itu dari hal-hal yang terkecil dalam pergaulan sehari-hari, dan pompakan keyakinan, bahwa harga diri hanya patut dipersembahkan untuk Allah, bukan untuk manusia. Ucapkan berkali-kali (self-talk) doa Nabi berikut ini sampai terekam kuat dalam otak kita,
اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِيْ وَعِرْضِيْ لَكَ
“Wahi Allah, sungguh harga diri dan kehormatanku hanya untuk-Mu.”
Sebagai penutup, saya kutipkan nasihat Syekh Habib Abdullah Alwi Al Haddad,
وَأَّنَّ الخَيْرَ كُلَّهُ فِي التَّوَاضُعِ وَالخُشُوْعِ وَالخُضُوْعِ لِلّهِ تَعَالَى، وَأَنَّ الخُمُوْلَ وَالإِخْتِفَاءَ وَكَرَاهِيَّةَ الشُّهُوْرَةِ وَالظُّهُوْرِ لَمِنْ اَخْلَاقِ صَالِحِي المُؤْمِنِيْنَ، وَالرِّضَا بِالدُّوْنِ مِنَ المَجْلِسِ، وَمِنَ اللِّبَاسِ وَالطَّعَامِ وَسَائِرِ أَمْتِعَةِ الدُّنْيَا كَذَالِكَ اَيْضًا، فَاحْرِصْ اَيُّهَا المُؤْمِنُ عَلَى ذَالِكَ
“Kemuliaan hanya bisa diraih dengan rendah hati, tunduk, dan taat di hadapan Allah SWT. Menghindari keramaian, penyembunyian diri, menjauhi ketenaran dan penampilan adalah akhlak orang mukmin yang saleh. Juga akhlak-akhlak lainnya, yaitu ikhlas dan senang ketika ditempatkan dalam kelompok orang rendahan dalam suatu pertemuan, senang kesederhanaan dalam berpakaian, makanan, dan dalam hal-hal keduniaan lainnya. Perhatikan hal ini, hai orang-orang yang beriman!.”
Sumber: (1) As Syekh Habib Abdullah Alwi Al Haddad, An-Nasha-ihud Diniyah wal Washaya Al Imaniyyah, penerbit Darul Kutubil Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 1971, p. 188-189, (2) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol 10, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p.311-312.