Oleh. Yusuf Amrozi*
Kembali ke Fitri pada judul tulisan ini bukan kembali ketemu kawan atau mantan lama yang bernama “Fitri”, tentu bukan. Semangat ‘kembali ke fitri’ adalah sebuah konsep dalam Islam yang menggambarkan bagaimana individu untuk kembali kepada kodrat atau keadaan semula saat dia dilahirkan, yaitu fitri atau suci. Keadaan dimana manusia yang murni dan bersih tersebut diciptakan pada awalnya oleh Allah. Dalam Islam, manusia dipercaya diciptakan dalam keadaan fitri atau fitrah.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan pengaruh lingkungan selama pertumbuhan hidup, manusia terjerembab pada sejumlah kesalahan atau kekhilafan yang dilarang dalam kitab suci, dan karenanya mendapatkan ganjaran dosa. Oleh sebab itu ada sejumlah momen untuk kembali menyucikan diri dari dosa dan kesalahan. Kembali ke fitri berarti upaya untuk membersihkan diri melalui jalan spiritual serta moral. Jalan yang pertama kali perlu dilakukan biasanya adalah penyesalan diri atau yang biasa disebut taubat. Taubat adalah proses penting dimana seseorang menyadari kesalahannya, menyesalinya perbuatan buruknya serta komitmen untuk meninggalkan dosa, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Taubat merupakan langkah awal dalam proses kembali ke fitri.
Proses berikutnya adalah upaya Pembersihan Diri. Proses ini melibatkan introspeksi diri dan upaya untuk membersihkan hati dan pikiran dari hal-hal yang negatif atau sesuatu yang membuat mudlarat, yaitu bagaimana meninggalkan kebiasaan dan perilaku buruk, serta penggantinya dengan hablum minallah dan hablum minannas yang dituntunkan oleh ajaran agama. Artinya bahwa kembali ke fitri juga melibatkan pembaharuan jiwa dan spiritualitas, melalui peningkatan kualitas hubungan dengan Allah (hablum minallah), dan hubungan dengan sesama. Hal tersebut bisa dilakukan dengan meningkatkan pemahaman ajaran agama, dan menimba ilmu pengetahuan yang memiliki nilai guna.
Dari proses diatas bentuk kefitrian dapat berwujud dari Ketaatan dalam beribadah dan amal sholih. Kembali ke fitri juga berarti meningkatkan ketaatan kepada Tuhan dan memperdalam ibadah. Ini bisa meliputi peningkatan dalam menjalankan kewajiban ritual agama maupun ibadah yang sifatnya sunnah, serta tentu berusaha untuk menjauhi segala larangan-laranganNya. Kesalehan akhlaq menjadi aspek penting dari kembali ke fitri, misalnya memberikan sedekah, membantu orang yang membutuhkan, dan interaksi yang positif sehari-hari.
Lebaran dan Momen Kembali Suci.
Lebaran atau hari raya Idul Fitri yang akan kita lalui sebentar lagi adalah momen penting dalam tradisi Islam yang dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia. Momen tersebut dipenuhi kegembiraan dan kesyukuran setelah menyelesaikan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Puasa sebagai titik puncak menggembleng diri dan proses menuju kefitrian yang dijelaskan diatas, ber-ending pada hari raya Idul Fitri. Lebaran idul fitri ditandai dengan tradisi silaturahim atau anjang sana serta mudik ke kampung halaman untuk bermaaf-maafan ke handai tolan, tetangga dan para sahabat. Konon dalam sejarahnya tradisi lebaran ini berkembang pada kedatangan agama Islam di Nusantara pada abad ke-13, yang sejak saat itu dikenal dan dipraktikkan oleh para pensyiar Islam di Nusantara kepada masyarakat. Hal hal tersebut dipandang efektif dengan proses akulturasi budaya yang akhirnya begitu mengakar hingga sekarang. Namun seiring dengan perkembangan zaman, tradisi silaturahim pasca ramadhan dan masa lebaran idul fitri ini seolah bergeser menjadi “pesta” yang akhirnya menafikan semangat kembali ke fitri tersebut.
Antara Banalitas dan Kefitrian.
Dalam konteks kemodernan hari ini, memang tradisi agama tidak lepas dari setting sosialnya. Artinya ada sejumlah aktor dan para pihak yang menjadikannya sebagai suatu social commodity. Oleh sebab itu, di satu sisi menciptakan efek hedonisme dan konsumerisme, namun bagusnya mampu mengungkit perputaran roda ekonomi. Ada mobilitas ekonomi dari kota ke desa dengan adanya fenomena mudik. Dengan demikian, secara faktual bahwa upaya meredam diri dari hawa nafsu duniawi untuk menuju ke suci diatas, akhirnya juga terdistorsi dengan rayuan-rayuan iklan baju baru dan segala macamnya. Artinya bahwa spirit ‘suci’ tersebut pada prakteknya merupakan sesuai yang lumrah atau sesuatu yang profan. Saya mengutip istilah dari Hannah Arendt sebagai sesuatu banalitas. Sebuah kondisi yang fitri tetapi tidak ‘fitri’ lagi. Maka saya jadi teringat apa yang pernah digagas oleh Hassan Hanafi tentang bagaimana ‘menggeser’ orientasi dari teosentris ansich menuju ke antroposentris. Dengan demikian, mengutip Hassan Hanafi diatas bahwa semangat beragama tidak serta merta menjadi diametrikal atas-bawah, tetapi menjadi sesuatu yang lebih egaliter atau setara, menjadi sesuatu yang biasa biasa saja, bukan..?
* Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya