Runner, Pengungkit Layanan Cepat
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Seorang lelaki berlarian. Dengan mendorong kereta makanan dan minuman. Didorongnya kereta itu sambil berlari penuh perhatian. Suara kraaaaakkkk!!! pun tak bisa dihindarkan. Dalam detik waktu yang panjang. Berasal dari roda kereta yang didorong dengan kencang. Telinga siapapun pasti terngiang. Semua pasti mendengarnya di manapun memilih tempat duduk di area yang jauh dari tegang. Dari ujung ke ujung. Dari sudut ke sudut. Dan dari lorong ke lorong. Belum genap terdengar di ujung satu, muncul di ujung yang lain. Belum usai di lorong satu, terdengar di lorong yang lain. Setiap terdengar suara keras, pasti di situ ada lelaki yang mendorong kereta dengan berlari. Tentu dengan penuh hati-hati.
Bukan hanya satu lelaki saja yang berlari begitu. Bukan. Ada beberapa lainnya. Berlari bersama kereta makanan dan minuman yang didorongnya. Semua mengenakan celana hitam dan baju biru. Di belakang baju biru tertulis “runner”. Setiap ada suara agak keras, setiap kali itu pula bisa dipastikan ada sang runner. Sedang berjalan-berlari. Bersama kereta yang didorong tanpa henti. Ke sana kemari. Mondar-mandir. Bolak-balik. Hilir-mudik. Dan setiap lelaki itu berlari dengan mendorong kereta itu, semakin mudah dikenali dia adalah runner. Jumlahnya lebih dari satu. Bergiliran ke sini dan ke situ.
Apakah ada di luar runner? Ada. Pelayan lainnya. Ada yang berbaju biru. Ada yang berbaju putih. Semua bercelana hitam. Bedanya, tak satupun dari mereka bertuliskan runner di bagian punggung bajunya. Yang berbaju sama-sama biru, sebagai misal, punggung kaosnya bertuliskan lain. Yakni, identitas rumah makan. Ya, nama rumah makan di punggung baju birunya. Namanya Kampung Kecil. Mudah terbaca karena tulisan Kampung Kecil itu berwarna kuning. Kontras dengan warna baju yang biru. Dicetak miring. Beda pula dengan runner. Dicetak tegak. Warnanya pun putih. Hanya ukuran hurufnya lebih besar dari tulisan Kampung Kecil pada baju pegawai lainnya.
Memang, ada dua gerak kerja pada mereka yang menggunakan baju bertuliskan runner di punggungnya. Ada yang cenderung berlari. Ada yang berjalan cepat. Walaupun sama-sama mendorong kereta makanan dan minuman. Yang berlari karena membawa piring dan peralatan makanan-minuman bekas pakai oleh pelanggan. Yang berjalan cepat karena sedang membawa pesanan makanan-minuman ke pengunjung yang sedang duduk menunggu. Dan saya pun lalu bisa memastikan begini: setiap ada runner yang berlari bersama kereta dorongnya, pasti dia sedang membawa piring dan peralatan makanan-minuman bekas. Saat berjalan, berarti dia sedang membawa makanan-minuman yang siap disajikan kepada pengunjung yang sedang menunggu. Tidak mungkin sebaliknya.
Layanan pun berubah. Cepat. Nggak pakai lama. Tak harus gelisah. Tak perlu resah. Nggak dikenal istilah “gegana”: gelisah, galau, dan merana. Kayak anak muda yang sedang bermasalah dengan yang dicinta. Pengunjung tak akan mengalami itu semua. Apalagi ngumpat-ngumpat. Akibat lama tak terlayani. Makanan yang dipesan tak datang-datang. Minuman pun tak kunjung tiba. Ngobrolnya jadi lama. Bukan saat makan. Atau sesudahnya. Melainkan nunggu lama karena pesanan tak kunjung siap. Setiap ditanya kapan pesanan siap, setiap itu pula jawabannya “sedang proses”. Setiap ditegur “kok lama sih?”, setiap kali itu pula terdengar jawaban “masih nunggu antrian”. Konsumen pun dibikin jengah karena lama menunggu.
Pernah seorang konsumen berujar begini: “Pisan ae rene!” Sekali saja ke sini. Emoh datang lagi. Ogah kembali. Untuk makan dan minum di sini. Semua itu karena butuh waktu yang tak pasti. Menunggu lama tanpa kejelasan informasi. Selalu menanti untuk waktu yang tak ada ujung sana-sini. Akhirnya, kesal pun mewarnai. Resah pun menghampiri. Keluh pun tak bisa dihindari. Semua itu terdengar tanpa henti. Seakan menghalangi siapapun untuk datang lagi. Untuk makan dan minum guna memanjakan diri.
Tapi itu semua dulu. Di awal buka. Di awal rumah makan itu beroperasi. Di Lingkar Barat Kota Sidoarjo. Aku pun mengalami sendiri. Bersama anak-isteri. Tapi dua bulan berikutnya, semuanya berubah. Layanan sajinya cepat. Tak perlu menunggu lama lagi. Tak butuh mengeluh lagi. Tak perlu resah kembali. Semua terlayani dengan puasnya. Setiap pengunjung segera bisa menikmati pesanan tak lama setelah order disampaikan. Kepada pelayan yang datang dan telah mencatatkan pesanan.
Akupun berbisik dalam hati: Apa yang membuat perubahan layanan itu terjadi? Apa yang membuat layanan mereka berubah, dari lambat ke cepat? Kenapa mereka mulai saat itu begitu cepat melayani? Aku pun penasaran. Saat datang ketiga kalinya, saya hanya membatin: Eh, layanan rumah makan ini kini cepat sekali! Kunikmati saja kesan dan perasaan itu. Tanpa berpikir sana-sini. Tanpa merasa perlu bertanya kecuali hanya menikmati perubahan cara kami dilayani. Saya pun puas dengan perubahan layanan itu. Saya juga yakin begitu pula semua pengunjung. Puas terlayani dengan cepat.
Giliran datang yang keempat kali, aku pun melirik sana-sini. Mencoba mengamati apa yang terjadi. Hingga layanan berubah cepat dan menyenangkan hati. Pingin tahu aja untuk diri sendiri. Naluri investigatif menguasai. Dan hasilnya? Ahaa!! Ini salah satu jawabannya: runner. Ya, para lelaki yang bertuliskan runner di punggung atas kaosnya. Itu ternyata solusinya. Itu ternyata resep jitunya. Memang saya yakin pasti ada rangkaian lainnya sebagai ekosistem layanan efektif. Mulai dari produksi hingga penyajian. Tapi, yang bisa kuakses hanya pemandangan luar yang tampak di restoran itu. Di dapur? Tentu saya tak punya akses ke situ.
Saya pun terpesona dengan sosok runner yang disiapkan oleh rumah makan itu. Runner telah efektif menjadi pengungkit layanan cepat. Restoran itu cerdas sekali. Keresahan pengunjung di awal buka tak dibiarkan berkepanjangan. Kegundahan akibat nunggu lama layanan tak boleh berketerusan. Itu yang kira-kira dilakukan oleh restoran itu. Dan, manajamen rumah makan itu terbukti sukses dengan memunculkan sosok runner sebagai salah satu pemain utama. Ya, pelaku langsung layanan cepat. Ya, pelayan garda depan layana cepat. Hingga kepuasan pelanggan pun bisa didapat.
Semua bisa merasakan perubahan layanan restoran itu. Khususnya mereka yang pernah mengalami layanan di awal buka-operasional dulu dan layanan terkini. Manajemen rumah makan itu tampak responsif terhadap yang terjadi. Akomodatif terhadap aspirasi pengunjung yang datang silih berganti. Tak membiarkan keresahan menyelimuti. Tak membolehkan layanan lambat muncul kembali seperti saat dulu mengawali. Semua tampak dievaluasi. Semua tampak diperbaiki. Hingga akhirnya layanannya pun menyenangkan sana-sini. Cepat sekali. Dan tidak lagi menimbulkan keresahan yang tak disukai. Seperti dulu lagi.
Memang sosok runner adalah contoh yang baik untuk ditiru. Tapi, bagaimana manajemen restoran menggerakkannya merupakan praktik baik (best practice) yang juga patut diikuti dan digugu. Manajemen restoran Kampung Kecil itu menunjukkan kelasnya untuk layanan cepat. Terbukti, konsep layanan cepat yang diikhtiarkan dilengkapi dengan instrumentasi pada para runner sebagai garda depan. Lihatlah gambar foto di bawah ini. Sang runner juga dilengkapi dengan perangkat headset yang selalu menempel di telinga. Perangkat itu sebagai sarana untuk komunikasi lintas pelaku layanan cepat. Antara pelayan di dapur dan pelayan lainnya di restoran itu. Para runner tidak dibiarkan begitu saja dengan tuntutan layanan cepat yang menjadi prinsip. Tapi, juga dilengkapi dengan perangkat yang membantu terciptanya layanan cepat itu. Melalui sarana komunikasi headset yang selalu menempel di telinga.
Semua pemberi layanan publik penting untuk belajar dari sosok runner. Tak terkecuali kampus. Semua penting belajar juga dari manajemen restoran di atas. Saat ada sumbatan, harus dicarikan sudetan. Saat terjadi kemacetan layanan, harus dicarikan pengungkit-pendereknya. Sumbatan dan kemacetan layanan bisa saja terjadi pada instansi apa saja. Sumbatan dan kemacetan layanan bisa saja lalu dianggap sebagai hal yang lumrah. Tapi langkah untuk memecahkannya adalah kecerdasan pengelolaan.
Sosok runner telah terbukti menjadi salah satu pengungkit layanan cepat. Mereka telah berkontribusi penting untuk lahirnya layanan restoran yang tangkas dan cekat. Mereka menjadi pemain garda depan dalam penciptaan layanan cepat. Restoran pun akhirnya berhasil membuat pengunjung terlayani dengan baiknya. Semua tampak makin happy dibuatnya. Tingkat kunjungan konsumen pun bisa dipastikan selalu tinggi. Meskipun bukan di akhir minggu. Restoran selalu ramai pengunjung. Tentu pemilik dan pengelola restoran serta pengunjung merasakan dampak baik dari keberadaan runner sebagai pengungkit layanan cepat di atas.
Para penyelenggara layanan birokrasi pada khususnya penting untuk memahami dari sedini mungkin bahwa mesin birokrasi bisa diganti. Tapi sumber daya manusia penggeraknya tidaklah berganti. Tetap yang lama. Karena itu, harus dilakukan mitigasi resiko dari awal saat pelaku penyedia layanan birokrasi tetap, sementara tuntunan terhadap layanan efektif terus meningkat. Di situlah dibutuhkan kebijakan berikut ini: menyudet sumbatan, mengungkit kemacetan. Risiko sumbatan dan kemacaten itu memang kerap dan biasa terjadi dalam penyelenggaraan layanan birokrasi. Hanya, menjadi tidak lazim saat sumbatan dan kemacaten layanan itu terjadi berkepanjangan dan tak ada langkah perbaikan yang dilakukan.
Berpikirlan tentang runner. Petik pelajaran darinya. Sosok itu memang menjadi bagian dari kekhasan layanan rumah makan Kampung Kecil. Tapi, inspirasi tentang runner itu harus segera dipetik dan dijadikan sebagai energi baru untuk perbaikan layanan. Membiarkan layanan lambat adalah praktik buruk. Tidak pernah memperbaikinya, lebih-lebih, adalah awal dari kehancuran. Setiap kali ada hambatan, langkah perbaikan patut dilakukan. Setiap kali ada halangan, langkap cepat penting diprioritaskan. Pelambatan adalah disinsentif bagi kinerja. Kelambanan adalah awal melemahnya kinerja. Jangan biarkan petaka terjadi akibat praktik buruk pembiaran atas pelambatan dan kelambanan layanan.