Column UINSA

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Hari itu, tanggal 15 Juni 2023. Saya lagi bertugas di tim presiden di Jakarta. Agendanya untuk persiapan kickoff pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat di Aceh 27 Juni 2023. Saya menjadi bagian dari Tim Monitoring Pelaksanaan Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat (disingkat Tim PKPHAM). Dibentuk oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2023. Kami sedang rakor dengan semua tim pengamanan Presiden.  Saat ada arahan dari Sesmenkopolhukam soal pengamanan Presiden, semua jajaran pengamanan mulai dari Kodam, Polda dan pengamanan lain langsung menyambut: “Siap! Siap laksanakan!”  

Melihat pemandangan itu, saya lalu berbisik kepada Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, kolega senior di tim: “Enak juga ya rapat dengan TNI/Polri. Nggak banyak berdebat. Tapi langsung siap laksanakan. Lha kalau dengan sipil, kita banyak berdebat. Dan bahkan rapatnya usai, perdebatan masih berlanjut😄.” Pak Letjen Kiki pun tertawa sambil berbisik ke saya: “Dan di sipil, kertas kosong pun dikomentari, he heee.” Hemmmm makjleb. Jreng jreng. Akupun tersenyum kecut atas kritikan beliau. 😄

Perbincangan ringan itu pun membuat kami berdua lalu tertawa. Menertawakan kondisi yang terjadi. Di tengah-tengah kehidupan bersama. Terutama di lingkungan terdekat. Dan kritik Pak Letjen Kiki itu membuatku pun tersadar. Sadar atas kebiasaan yang terjadi di birokrasi sipil. Di situ kerap muncul kebiasaan yang menjadi materi kritikan beliau. Kalimat “kertas kosong pun dikomentari” memang kritik beliau kepada kebiasaan banyak di antara kita yang sipil. Tak mampu membedakan mana rapat dan mana berdebat. Kapan rapat dan kapan berdebat. Untuk apa rapat dan untuk apa berdebat.

Bahkan, undangannya rapat, isinya berdebat. Di situ usul, di sini usil. Di ujung satu menyampaikan pendapat, di ujung lainnya sia-siap menyikat. Satu sama lain kerap kehilangan orientasi. Tak pernah ketemu dalam visi. Apalagi mereka juga beda misi. Kadang bahkan misinya masing-masing. Yang dipentingkan keperluan sendiri. Yang diutamakan kepentingan diri. Urusan umum yang harus dipecahkan akhirnya terkebiri. Tak pernah tumbuh mendapatkan solusi. Pada main sendiri-sendiri. Akhirnya, masalah pun terus terjadi. Pemecahan hanya tinggal mimpi. Program pun akhirnya tak pernah membumi. Selalu berakhir tanpa hasil yang berarti. Tak terkendali. Di tangan orang-orang yang tak pernah menyadari. Bahwa rapat tak sama dengan debat yang tiada henti.  

Suka atau tidak. Senang atau tidak senang. Kritikan Pak Letjen Kiki di atas penting menjadi bahan renungan. Kita perlu melakukan refleksi untuk kesempurnaan diri. Kita perlu menjadikannya sebagai pintu masuk dalam perbaikan kepemimpinan sipil di ruang publik. Sungguh kritikan itu penting sekali. Hidup akan celaka. Saat kita salah, orang lain diam. Tak pernah mengingatkan. Apalagi menasehati. Diamnya bisa karena macem-macem alasan. Bisa karena sungkan. Bisa karena perasaan tidak enak hati. Bisa karena tidak mau ada masalah.

Semua alasan itu membuat diam dianggap lebih baik. Menyebabkan diam sebagai pilihan utama. Membuat tidak berpendapat dipandang sebagai kebaikan. Semua akhirnya memilih diam daripada berpendapat. Sebab, jika alasan-alasan itu dikemukaan, justeru terkadang akan menimbulkan masalah pribadi. Padahal, orang tak ingin mendapatkan masalah. Umumnya pingin yang nyaman-nayaman saja. Karena itu, tak ada cara hidup yang lebih mulia kecuali menjadikan kritik sebagai sarana perbaikan diri.

Kampus adalah bagian dari ruang publik yang memanjakan kepemimpinan sipil untuk menyusu kepada kemaslahatan publik. Tapi, ruang publik kampus punya kekhasan tersendiri. Inilah ruang publik yang dibangun oleh para terdidik. Inilah ruang publik yang dikembangkan di atas nilai akademik. Dan inilah ruang publik yang dikelola oleh para pengabdi ilmu. Latar belakang keahlian dan keilmuan mereka memang macem-macem. Ada yang hard science. Ada yang soft science. Tapi, semua dalam semangat yang sama untuk menjaga kemaslahatan publik berbasis norma keilmuan.   

Kekuatan orang kampus adalah intellectual capital. Modal intelektual. Modal akademik. Itu yang menjadi kekayaan mereka. Orang kampus memiliki kekuatan modal intelektual yang memandu gerak langkah layanan mereka dengan kekuatan akademik itu. Inilah yang menjelaskan mengapa kampus dan orang kampus selalu menjadi standar pergerakan di tengah masyarakat. Kepercayaan publik (public trust) selalu tinggi kepada kampus dan orang kampus. Apapun situasi dan masalah yang dihadapi kampus di internalnya. Akhirnya, kampus dan orang kampus selalu menjadi rujukan banyak orang.  

Hanya, orang kampus penting untuk membedakan mana debat dan mana rapat. Debat tak harus menghasilkan simpulan. Yang dipentingkan adalah deliberasi. Rapat itu mengambil keputusan. Tentu ujungnya untuk lahirnya kebijakan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengingatkan begini: “Debat” adalah “pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.” Dan, kata “rapat” mengandung makna “mendekatkan kepada,” “mendekat,” dan “menjadi (berusaha) supaya akrab, erat (tentang persahabatan).”

Pemaknaan antara debat dan rapat jelas. Definisi di atas adalah bukti pembenarnya. Hanya masalahnya, orang kampus saat masuk ke dunia birokrasi, debatnya cenderung masih lebih kuat daripada rapatnya. Termasuk mungkin saat berada di dalam birokrasi kampus sendiri. Itu sebuah kecenderungan. Bisa menjadi umum di sebuah instansi pendiidkan tinggi. Bisa pula keumumannya lebih melemah di lainnya. Tapi faktanya, tidak sedikit yang lupa bahwa saat akademisi mendapatkan kepercayaan sebagai pengelola jabatan di kampus, sejatinya dia telah berubah sebagai birokrat pendidikan. Ya, birokrat yang berlatar belakang ilmuwan. Karena itulah, statusnya berubah dari DS (dosen) menjadi DT (dosen dengan tugas tambahan). Dan dia harus sadar bahwa rapat menjadi kebutuhan utama dibanding debat dalam kapasitas birokrasi ini.

Apalagi, layanan kampus sejatinya tak boleh jauh-jauh dari pasar. Analisis pasar harus menjadi ruh dari semua layanan. Semua kebijakan harus didasarkan pada pemenuhan kebutuhan pasar. Itu walaupun pada saat yang sama pasar juga harus diedukasi. Jadi, dua kata kunci harus dipertimbangkan secara kuat: absorpsi dan edukasi. Sesederhana berikut ini penjelasannya. Absorpsi mengharuskan pengelola kampus untuk menyerap aspirasi pasar. Jangan jauh-jauh dari aspirasi pasar. Penyerapan aspirasi ini penting untuk menjadi energi pengembangan dan penumbuhan kampus dan kualitas tata kelolanya. Edukasi mendorong pengelola kampus untuk melakukan langkah-langkah penguatan pemahaman pasar ke arah yang lebih positif melalui berbagai strategi pendampingan. Edukasi ini penting agar pasar bisa bergerak dalam rel yang positif sesuai ekspektasi normatif.

Saat ada program studi yang memiliki kecenderungan untuk terus struggle dari sisi enrolment rate (tingkat pendaftaran), sebagai misal, maka semua harus mengevaluasi diri. Jangan sampai ada gap antara praktik layanan dan ekspektasi pasar. Jangan sekadar yang dipikirkan kepentingan akademik. Atas nama keilmuan, siapa saja orang kampus bisa melakukan apa saja sesuai selera keilmuannya. Atas nama keterpelajaran, orang kampus bisa ngomong apa saja dalam kepentingannya. Tapi, sepinya peminat atau lemahnya tingkat pendaftaran harus memberikan kesadaran baru kepada siapa saja untuk melakukan evaluasi diri yang mapan dan berkesinambungan. Semua itu agar penyelenggaraan layanan pendidikan program studi dekat dengan ekspektasi pasar.

Benar, pasar itu perlu diedukasi. Agar kecenderungannya tidak dibiarkan terbuka dan “liar”. Benar pula, pasar itu patut didampingi. Tapi pasar juga jangan dikesampingkan. Pasar jangan ditinggalkan. Pasar jangan dianggap enteng. Pasar jangan diperlakukan semaunya. Pasar jangan ditelantarkan. Sebab, pasar punya logika sendiri. Pasar juga punya mekanisme kerja sendiri. Pasar punya ekspektasi sendiri. Salah memahami pasar, kita justru akan ditinggalkan pasar. Salah membaca pasar, kita sendiri justeru dijauhi pasar. Kalau itu terjadi, petaka pun datang. Kita dan pasar tidak akan ketemu. Salah-salah, malah berseberangan.

Pada kasus bahwa layanan program studi mendapatkan respon yang lemah dari pasar, maka harus dilakukan refleksi. Harus ada evaluasi. Semua dalam gerak langkah yang sama: mendekatkan layanan dengan selera pasar. Siapapun boleh berdebat, tapi fakta lemahnya respon konsumen jangan dibiarkan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Saat respon warga masyarakat kepada layanan sebuah program studi lemah, haruslah disadari bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja. Dibutuhkan langkah yang juga tidak biasa-biasa saja. Maka, absorpsi dan edukasi adalah dua kata kunci yang harus dilakukan secara simultan untuk memperkuat tingkat kehadiran program studi di tengah ekspektasi pasar yang berkembang.

Pada titik inilah, berdebat itu mungkin menjadi bagian dari nafas hidup warga kampus. Tapi rapat untuk mengambil keputusan bagi lahirnya solusi atas masalah harus dilakukan. Jangan hanya berhenti berdebat yang hanya akan memuaskan dahaga akademik semata. Lanjutkan dan sempurnakan semua proses itu dengan pengambilan keputusan konkret. Agar solusi segera bisa dipilih. Agar pemecahan segera bisa diproses atas berbagai masalah yang muncul. Di situlah perlu dilakukan rapat. Bukan debat. Biarlah debat berlangsung di awal. Tapi debat itu harus dipungkasi dengan rapat agar keputusan segera diambil untuk solusi terbaik.

Orang Barat mengajarkan pentingnya membedakan voice dan noise. Mudahnya begini. Voice berarti suara yang dilantunkan untuk menyampaikan pesan. Isi pesannya berupa aspirasi untuk membangun. Bukan untuk mericuhkan. Apalagi mengharubirukan. Beda dengan noise. Kebisingan. Diucapkan untuk menimbulkan kekacauan bunyi atas suara. Isinya bukan berupa aspirasi untuk membangun. Melainkan hiruk yang disengaja untuk menyebabkan kegaduhan suara. Kalau mau disebut aspirasi, ya aspirasi dimaksud adalah kegaduhan itu sendiri. Ujungnya, dampak negatif yang dimunculkan. Dan bukan akibat positif untuk lahirnya kebajikan bersama.

Saat seseorang menyampaikan gagasan yang bermakna positif, maka sejatinya dia telah menyampaikan aspirasi kebajikan bersama. Biasanya, aksi ini akan direaksi oleh yang lain. Bentuknya materi yang positif. Kepentingannya adalah untuk menguji, menegaskan, dan bahkan mengkonkretkan gagasan awal itu. Ujungnya akan lahir keputusan yang menyusu kepada kemaslahan bersama. Jadi, ada interaksi antara aksi dan reaksi dalam bentuk stimulus gagasan dan respon atas gagasan tersebut dalam substansi yang positif. Maka, sebetulnya, substansi rapat telah terjadi di sini.

Sebaliknya, saat gagasan dikeluarkan untuk sebuah kepentingan yang tidak membangun, maka pada dasarnya bukan aspirasi positif yang dikemukakan. Pesannya lebih cenderung ke arah yang destruktif. Isinya lebih ke arah untuk melahirkan kegaduhan. Minimal berisik. Bukan berbisik. Akhirnya, hanya riuh yang diutarakan. Hanya gaduh yang ditimbulkan. Ramai piring, kata orang Jawa. Klontang! Dan suaranya pun bikin gaduh seisi rumah. Dibilang tong kosong nyaring bunyinya, tidak terlalu tepat. Karena pribahasa itu biasanya ditujukan kepada kejahilan yang diekspresikan melalui bualan atas cakapan. Tapi jika ditanggalkan sama sekali, peribahasa itu juga menunjuk kepada percakapan yang tidak banyak arti untuk solusi.    Maka, pernyataan “kertas kosong pun dikomentari” adalah sentilan oleh pengembang kebiasaan tertentu atas kebiasaan lain yang lebih mengutamakan penyampaian noise daripada voice. Suara berbalut kebisingan lebih dikedepankan daripada suara yang berisi aspirasi dalam makna sesungguhnya, seperti diuraikan di atas. Padahal hidup lebih banyak membutuhkan voice daripada noise. Debat memang bisa menambah wawasan. Bisa memperluas cakrawala. Tapi, saat substansi deliberasi sebagai ruh dari debat melemah dibanding kebisingan-keriuhan yang ditimbulkan semata, saat itu pula nilai dasar debat mengalami defisit. Dan bagi kepentingan penciptaan kemaslahatan bersama, debat akhirnya tidak memberikan makna apa-apa dibanding substansi rapat beserta signifikansinya.