Secara falsafi, esensi puasa adalah menahan diri atau mengendalikan diri (al-imsak) dan pencegahan (al-imtina’). Ini bermakna ganda, lahiriyah dan bathiniyah. Secara lahiriyah, puasa berimplikasi pada melemahnya kondisi tubuh sebagai reaksi lapar dan haus. Dengan berpuasa, berarti manusia membantu tubuhnya memasuki proses autolisis, yakni mengeluarkan sisa-sisa metabolisme dan zat-zat berlebihan yang tidak diperlukan lagi. Pada proses inilah tubuh mengalami detoksifikasi atau pembersihan terhadap racun-racun atau sisa-sisa zat yang berbahaya. Jika dibiarkan menumpuk, menjadi penyakit. Oleh sebab itu, sabda Rasulullah shuumuu, tashihhuu (berpuasalah, niscaya kalian sehat) benar-benar terbukti memiliki korelasi positif dengan siklus tubuh. Secara bathiniyah, manusia berpuasa berarti memasuki proses pensucian hati (tashfiatul qolbi atau tazqiyatul qolbi), dimana hati dan daya nalar umat dalam waktu relatif singkat (sebulan penuh) ”dikarantina” dan fokus untuk melakukan transmisi ”spirituality charging” agar dayanya kembali pulih sehingga segala bentuk kotoran hati dan pikiran seseorang ”diupgrade” sehingga mampu melakukan retrospeksi totalitas kehambaannya.
Dengan sinergi lahiriyah dan bathiniyah inilah, manusia mampu melahirkan energi spritualitas dalam kapasitas daya tahan tubuh yang cukup besar dan mampu mentransmisi seluruh jaringan kognisi, afeksi dan psikomotoriknya dalam berinteraksi dengan siapapun tanpa dibatasi status sosial, tempat, waktu dan ruang dimanapun dia berpijak. Dengan begitu, maka ada keseimbangan (equilibrium) antara kekuatan jasmani dan rohani. Ada keseiramaan kata dan fakta. Dalam kondisi ini, dalam diri manusia ada potensi kemandirian (independensi) emosional dan spiritual, sehingga segala bentuk pola pikir, pola sikap dan pola tindak selalu dalam koridor hirarkhi ketuhanan (tauhid). Artinya, dengan berpuasa, berarti manusia tersebut telah mencitrakan dirinya menjadi hamba yang memiliki kesadaran dan kesanggupan sebagai khalifah fil ardhi yang mampu menabur benih-benih ketauladanan, kesabaran, kedisiplinan, kepemimpinan, pencerahan (transformasi) dan kesalehan sosial bagi lingkungannya.
Puasa Sebagai Kebutuhan
Oleh karena tolok ukur puasa adalah predikat taqwa (QS 2:183), maka secara kasat mata, tetesan nilai puasa tercermin dalam bentuk kesalehan sosial sebagai buah dari pohon iman dan ihtisâbnya yang berpuasa. Tentunya, puasa bukanlah parameter utama ikon ketaqwaan seseorang, tapi merupakan partisi kewajiban yang lebih bersifat inner quality dan perlu disinergikan dan diartikulasikan dengan segala unsur dan atribut kehambaan manusia terhadap sang Khaliq Allah Azza Wa Jalla. Alhasil, puasa akan berbuah ketundukan (tawadlu’), keikhlasan, kesejukan dan kedamaian. Selain itu, puasa juga dapat ”mendetoksifikasi” racun dan penyakit kemanusiaan. Dari angkuh menjadi sabar dan rendah hati, dari tamak menjadi tanpa pamrih, dari pembuat masalah menjadi penyelesainya dan dari ribut menjadi rukun.
Dengan logika diatas, puasa bukan lagi menjadi beban kewajiban, tapi lebih menjadi kebutuhan (sense of need). Pahala bukan lagi menjadi tujuan, tapi lebih sebagai rahmat Allah terhadapnya. Dalam konteks pahala, puasa tidak tergantung seberapa jauh kita lapar atau haus, tetapi tergantung apakah kita menjalankannya dengan iman dan ihtisâb kepada Allah serta penuh introspeksi. Sabda Rasul, orang yang berpuasa ramadlan dengan penuh keimanan dan ihtisâb (semata-mata mengharap ridlo Allah), maka dosa-dosanya akan dihapus oleh Allah. Karena itu, kalau kita sedang puasa kemudian lupa, lantas makan dan minum, Rasulullah mengajarkan agar kita bersyukur kepada Allah yang telah memberi makan dan menyirami kita dengan air minum. Dalam fiqih, hal ini tidak membatalkan puasa.
Salah satu bukti riil bahwa pahala puasa tidak tergantung pada soal lapar dan dahaga adalah disunnahkannya berbuka puasa sesegera mungkin yang disebut ta’jìl, yakni semakin cepat kita berbuka puasa, semakin besar pahalanya. Sedangkan sahur disunnahkan seakhir mungkin. Makin akhir sahur kita, makin besar pahalanya. Nabi tetap menganjurkan kita sahur meskipun tidak nafsu makan dan masih merasa kenyang. Hal ini karena menurut beliau dalam sahur ada berkah tersembunyi dari Allah.
Puasa Membentuk Character Building
Dari penjelasan diatas, maka sangat jelas bahwa Allah tidak menghendaki kita tersiksa. Allah semata-mata hanya menghendaki kita melatih menahan diri dari berbagai godaan seperti korupsi dan berbagai macam kriminalisasi termasuk politik, ekonomi, sosial, IPTEK dan budaya. Dengan kata lain, Allah mengajak manusia agar bisa belajar banyak dari suasana berpuasa dalam upaya membentuk karakter kemanusiaan yang baik (character building). Karena karakter dasar manusia adalah gampang tergoda. Oleh karena itu, pahala ibadah puasa tergantung kepada seberapa jauh kita bersungguh-sungguh melatih menahan diri, melatih untuk tidak tergoda. Sebab kelemahan manusia memang tidak bisa menahan diri. Dalam Al-Quran banyak disebutkan bahwa diantara kelemahan manusia itu ialah pandangannya yang pendek. Tidak! (kamu manusia) menginginkan hidup yang fana. Dan membiarkan hari kemudian (QS 75: 20-21).
Dengan karakter dasar berpandangan pendek, kita gampang tergoda, menganggap sesuatu yang sepintas lalu adalah menyenangkan dan menarik. Kemudian kita mengambilnya, padahal nanti di belakang hari akan membawa malapetaka. Dosa tidak lain adalah demikian itu; sesuatu yang dalam jangka pendek membawa kesenangan, tetapi dalam jangka panjang membawa kehancuran. Ini dikarenakan efek kelemahan manusia yang tidak sanggup melihat akibat perbuatannya dalam jangka panjang, dan lebih tertarik pada akibat-akibat jangka pendeknya. Jadi, kelemahan manusia ialah mudah tergoda.
Hal ini sebagaimana disimbolkan Allah dalam Al-Qur’an melalui kisah Adam. Bagaimana dia dipersilakan hidup di surga bersama istrinya (Hawa) dan menikmati apapun di sana dengan bebas semau mereka, tetapi dipesan untuk tidak mendekati pohon tertentu. Namun Adam melanggarnya dengan mendekati pohon dan memetik buahnya yang terlarang. Dia pun jatuh diusir dari surga secara tidak terhormat. Ini adalah simbolisasi dari keadaan kita semua sebagai anak cucu Adam (Bani Adam). Kita semua punya potensi untuk jatuh tidak terhormat kalau kita tidak tahu batas, tidak bisa menahan diri dari beragam godaan.
Kisah Adam diatas adalah simbol kemenangan setan/iblis, karena semua sumber godaan bermuara dari setan, maka solusi terbaik menghindarinya adalah dengan berpuasa. Rasulullah bersabda bahwa “setan itu masuk lewat pembuluh darah manusia, oleh karenanya, sempitkanlah jalan darah tersebut dengan berpuasa”.
Walhasil, sebagai bagian terpenting dari pembentuk masa depan peradaban, marilah kita belajar berlatih mengendalikan diri, mengkarakterisasi diri dengan sifa-sifat Allah serta mengejawantahkan dalam ragam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga puasa kita akan mampu mengembalikan jatidiri kita sebagai manusia yang fithri (suci) dan dianugerahi ”award” berupa predikat muttaqien (komunitas yang bertaqwa). Amien. Wallahu a’lam Bish-showab.
__________
H. Ali Muhdi, M.Si. (Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Ampel Surabaya)