Column
Oleh: Hasbullah Hilmi
(Pengembang Teknologi Pembelajaran di Biro AAKK UINSA)

Pada Hari Rabu, 11 September 2024, di Lobby Gedung FST UINSA Kampus Gunung Anyar, tengah berlangsung pameran Galeri Tugas Akhir Prodi Arsitektur yang rutin dilakukan setiap awal tahun ajaran. Di pameran ini, kita disuguhi karya-karya desain ruang dan bangunan Karya Mahasiswa Arsitektur yang indah dan sangat menakjubkan. Karya-karya model ini akan terus lahir sebagai kewajiban pelaksanaan tugas akhir di Prodi Arsitektur.

Pada hari yang sama, di gedung FISIP UINSA, berlangsung pameran yang tidak kalah menariknya, yakni pameran yang diselenggarakan oleh FISIP yang berkolaborasi  dengan lembaga Kemitraan melalui program ESTUNGKARA. Pameran ini mengangkat tema, “Masyarakat Adat di Tengah Krisis Lingkungan.” Dalam pameran ini Deretan foto hasil riset para peneliti dari FISIP UINSA dan Kemitraan yang terpajang apik di depan fakultas berhasil menarik perhatian warga kampus.

Dua pameran galeri unik di atas, yang dipamerkan pada minggu yang sama, kemudian menjadi pertanyaan setelah dipamerkan, karya-karya ini selanjutnya disimpan di mana? Apakah masih bisa diakses dan dilihat lagi atau kemudian digudangkan dan kemudian jadi sampah?

Menjawab pertanyaan di atas, saya kemudian teringat konsep GLAM (Gallery, Library, archive, dan Museum). Pada awalnya GLAM ini adalah 4 lembaga yang terpisah dengan fokus layanan dan jenis koleksi yang berbeda. Namun ada kesamaan dalam hal pengolahan, pelayanan, dan penyimpanan sebuah koleksi. Fungsi 4 lembaga GLAM kemudian dikembangkan sebagai perluasan peran dan konsep perpustakaan terutama perpustakaan di perguruan tinggi.  Penerapan konsep GLAM sebagai contoh di dunia adalah Perpustakaan Universitas Stanford yang telah menerapkan konsep GLAM secara efektif. Stanford memiliki berbagai koleksi yang mencakup galeri seni, koleksi perpustakaan digital yang luas, arsip sejarah penting, dan museum. Untuk di Indonesia, setahu saya, perpustakaan yang menerapkan konsep GLAM diantaranya adalah perpustakaan UI, UGM, dan Unair.

Bagaimana dengan Perpustakaan UINSA, penerapan konsep GLAM terlihat dengan adanya galeri wayang Walisongo di Ruang Lobby Perpustakaan UINSA Kampus A. Yani. Gallery ini ternyata merupakan pinjaman koleksi dari salah seorang pengrajin patung yang menjalin kemitraan dengan Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya. Perpustakaan UINSA juga pernah melakukan pameran manuskrip langka pesantren bekerjasama dengan Perpusnas Jawa Timur. 

Kemitraan dengan galeri wayang dan Perpusnas di atas menggambarkan bahwa secara SDM mestinya perpustakaan UINSA sudah siap menerapkan konsep GLAM. Karya karya unik dan mempunyai nilai sebagaimana yang dipamerkan di dua fakultas, FST dan FISIP di atas semestinya tidak berakhir dengan tragis di gudang yang kemudian tidak bisa diakses dan dinikmati lagi setelah pameran bubar. Karya-karya yang dipamerkan kemudian direproduksi format digital baik dalam format 2 dimensi ataupun 3 dimensi. Hasil reproduksi ini kemudian diolah, disimpan dan didisplay di laman perpustakaan UINSA.

Hilirisasi digital yang gencar dicanangkan oleh Rektor UINSA, bisa mempermudah penerapan konsep GLAM di Perpustakaan UINSA. Digitalisasi menjadi solusi bagaimana karya karya indah produk karya akhir Prodi Arsitek FST dan photo photo tema masyarakat adat di tengah  krisis lingkungan karya Civitas Akademika FISIP  serta karya karya cerdas, unik dan tentunya sangat berharga lainnya karya warga kampus UINSA, dialih format digital, kemudian diolah, diawetkan dan didisplay untuk bisa dinikmati dan apresiasi jauh setelah pameran bubar.

Penulis sewaktu menjadi Penanggungjawab Humas di IAIN masa transisi menjadi UINSA (2013) pernah terlibat dalam perburuan foto-foto masa awal UINSA. Alhamdulillah mendapat foto-foto tersebut dari keluarga besar Rektor Pertama IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang kemudian dialih format digital dan tersimpan di database Humas. foto-foto ini selalu muncul setiap momen-momen hari ulang tahun UINSA. Dengan peningkatan peran Perpustakaan UINSA menjadi GLAM tentunya arsip-arsip dokumen bersejarah masa pendirian IAIN dan masa peralihan IAIN ke UINSA bisa terlestarikan, tersimpan, dan bisa dicari dan dilihat siapapun dari masa ke masa.

Dengan alih format digital, maka konsep GLAM yang awalnya terasa mustahil karena akan membutuhkan space ruang dan tenaga pengelola yang banyak menjadi simple dan tidak ada kebutuhan perluasan space ruang yang dimiliki. GLAM pada awalnya bersifat fisik beralih ke dunia virtual yang bisa diakses dan diapresiasi bebas oleh siapa saja dan kapan saja. Perpustakaan virtual yang menerapkan GLAM mestinya dapat diterapkan tanpa harus menunggu gedung perpustakaan 9 lantai di Kampus A. Yani yang bertahun-tahun mangkrak, yang katanya sudah clear untuk dituntaskan pembangunan dan kemudian dapat digunakan. Semoga.