Column

Bapak Kyai Isfironi Dosen FSH UINSA

Mohammad Isfironi

(Dosen FSH UIN Sunan Ampel Surabaya )

Pengantar

Umat Islam (yang taat) di seluruh dunia, tentulah selalu berusaha untuk melaksanakan ajaran-ajaran agamanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku (syara’). Ketentuan syarat’ dalam pelaksanaannya ternyata bukan hanya menyangkut hal-hal yang sifatnya legal-formal, namun meliputi juga hal-hal yang bersifat subjektif dari pelakunya. Misalnya, shalat, bila ditinjau dari segi “juklak” yang telah ditetapkan fiqh merupakan rangkaian gerakan-gerakan fisik yang disertai bacaan-bacaan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Lebih dari itu shalat adalah sarana atau momentum dialog antara hamba dan Tuhannya. Efektifitas dialog tersebut sangat tergantung kepada penghayatan dari para hamba tentang apa sesungguhnya yang sedang ia lakukan. Sebuah usaha yang hakikatnya lebih banyak melibatkan gerakan-gerakan hati daripada gerakan-gerakan fisik. Demikianlah Shalat sebagai sebuah perintah Tuhan dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan benar. Karena itu setiap orang yang beribadah mesti mengetahui ilmunya, karena tanpa ilmu tak mungkin keutamaan ibadah bisa diraih. Saking pentingnya, Rasulullah menekankan bahwa “tidurnya orang yang berilmu lebih utama daripada ibadahnya orang yang bodoh”.

Sangat disayangkan, dalam kehidupan sehari-hari kesadaran menuntut ilmu guna bekal ibadah kurang mendapat perhatian dari sebagian umat Islam, sehingga sering kita dengar terjadi pertentangan antar umat Islam atau antara umat Islam dan umat lainnya disebabkan karena pemahaman yang tidak “kaffah” atau kurang tepatnya memahami ajaran tersebut. Perbedaan, yang seharusnya membawa rahmah malah menjadi bencana.

Seolah menjadi penyakit kambuhan bahwa umat Islam khususnya di Indonesia setiap tahun menjelang puasa Ramadhan, Iedul Fitri dan 10 Dzulhijjah terbagi-bagi menjadi kelompok-kelompok dengan nuansa saling klaim akan kebenaran dan keyakinan masing-masing. Pada tahun 2024 ditambah lagi perdebatan tambahan soal usulan Muhammadiyah untuk meniadakan sidang isbath, dengan alasan pemborosan. Hal ini sesungguhnya masih bisa dimaklumi karena teks ajaran berkenaan dengan awal dan akhir puasa masih membutuhkan tafsir/interpretasi yang bukan mustahil akan menghasilkan suatu kesimpulan yang beragam. Secara garis besar kesimpulan yang muncul berdasarkan dua dasar, yaitu berdasarkan hasil hisab (hitungan) dan berdasarkan hasil ru’yatul hilal. Dengan tanpa berpretensi untuk membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lainnya, melalui tulisan ini penulis mencoba untuk memahami fenomena tersebut

Kedudukan Hisab dan Rukyat dalam Penetapan Awal dan Akhir Bulan

Tentang akhir bulan Ramadhan (awal bulan Syawal), Rasulullah telah memberikan petunjuk dengan haditsnya yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar, yang artinya: “Janganlah kalian berpuasa sebelum melihat (hilal ramadhan) dan janganlah kalian berbuka sebelum melihatnya (hilal syawal). Jika ia tertutup bagimu maka kadarkanlah ia. (HR Muslim I:436).” Juga hadits lain yang artinya: “Berpuasalah kamu semua karena melihatnya (Hilal Ramadhan) dan berbukalah kamu semua karena terlihatnya (hilal syawal). Jika ia tertutup bagimu, maka sempurnakanlah ia 30 (hari) (HR al-Bukhari, I:236).” Makna rukyah pada hadith terakhir secara gramatika jelas sekali bermakna melihat dengan mata kepada karena hanya memiliki satu dhamir yang kembali kepada hilal (rukyatul hilal).

Dari ketiga Hadith di atas dapatlah dipahami bahwa yang menjadi penentu dari mengawali dan mengakhiri puasa adalah rukyat. Namun dalam tataran aplikasi ternyata terdapat beberapa cara penentuan awal bulan sejalan dengan pemahaman terhadap Hadits Nabi di atas: pertama, Rukyat bil fi’li sebagaimana berlaku pada masa Nabi dan para sahabatnya, yaitu tampaknya hilal yang dilihat oleh mata telanjang di tempat terbuka pada hari ke 29 Bulan Sya’ban atau Bulan Ramadhan. Karenanya, manakala sesaat matahari terbenam hilal dapat dilihat, maka malam dan keesokan hanya merupakan bulan baru. Tetapi, manakala pada saat itu hilal tidak dapat dilihat maka malam dan keesokan harinya merupakan hari terakhir bulan yang sedang berlangsung. Dengan kata lain berarti bulan yang sedang berlangsung berjumlah 30 hari (istikmal).

Kedua, pemahaman bahwa hilal itu dapat dirukyat karena antara matahari dan bulan terjadi ijtima’ (konjugasi) dan hilai berada pada posisi sedemikian rupa di atas ufuk dan pasti hilal sudah di atas ufuk walaupun tidak dilihat mata. Dengan demikian awal bulan sesungguhnya dapat dilakukan dengan penghitungan (kapan terjadinya ijtima’ dan perhitungan posisi hilal). Hal ini sejalan dengan ayat 5 Surat Yunus, artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya,dan ditetapkannyamanzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)”. Upaya rukyat yang demikian dikenal dengan istilah rukyat bil ilmi atau rukyat bil aqli.

Dari segi teknik yang digunakan, maka rukyat bil fi’li seperti yang dilakukan pada masa Nabi dapat dipahami sebagai salah satu media observasi bulan, suatu upaya yang sifatnya empirik. Sedangkan ilmu hisab menentukan kapan terjadi ijtima’ dengan menggunakan perhitungan non-empirik. Yang perlu diingat di sini adalah bahwa teknik-teknik penghitungan yang dilakukan oleh ahli hisab pada prinsipnya juga berdasakan hasil observasi para ahli perbintangan. Dengan meneliti gejala alam, utamanya bumi, bulan dan matahari maka dihasilkan teknik penghitungan.

Pada tataran aplikasi, baik teknik rukyat maupun teknik hisab ternyata tidak lepas dari kemungkinan timbulnya perbedaan ketetapan. Perbedaan ini disebabkan karena masih adanya sikap yang berbeda terhadap laporan rukyat dan perbedaan kriteria pergantian bulan, yaitu ijtima’ qablal ghurub, berdasarkan wujudul hilal (hilal sudah wujud [ada] di atas ufuk), dan berdasarkan imkanur rukyat (adanya kemungkinan hilal dapat dirukyat) yaitu 2 derajat atau umur hilal 8 jam dengan elongasi 3 derajat. Mulai tahun 2022 M atau 1443 H Departemen Agama menggunakan menggunakan patokan ketinggian hilal 3 derajat dengan elongasi 6,4 derajat. Ketentuan ini mengacu pada kesepakatan Menteri Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada 2021.

Terlepas dari itu semua, sesungguhnya di Indonesia telah banyak berkembang sistem hisab yang digunakan, baik yang taqribi maupun yang haqiqi. Hisab taqribi adalah perhitungan awal bulan yang datanya bersumber dari data yang disusun oleh Ulugh Bek (Samarkand w. 1420 M). Teknik perhitungannya adalah dengan menjumlahkan, mengurangi, mengalikan dan membagi data yang ada tanpa menggunakan rumus-rumus ilmu ukur segitiga bola. Untuk menghitung irtifa’ hilal (ketinggian hilal dari efuk sepanjang lingkaran vertical) digunakan ketentuan sebagai berikut: Irtifa’ = (Ghurub – Ijtima’)/2. Sistem hisab yang menggunakan teknik ini diataranya: Sistem Sullamun Nayyirain, Fathur Ro’ufil Manan, Qawaidul Falakiyah. Sebagai bagian dari khazanah keilmuan dalam Islam, seyogyanya berbagai sistem hisab ini dapat dilestarikan dan bahkan dikembangkan.

Hisab Tahqiqi adalah perhitungan awal bulan yang datanya bersumber dari hasil pengamatan mutakhir dan metode perhitungannya didasarkan pada kaidah-kaidah ilmu ukur segitiga bola (Spherical Trigonometri). Alat yang digunakan untuk menyelesaikan perhitungannya bisa menggunakan Kuadrat (Rubu’ Mujayyab), Daftar Logaritma atau Kalkulator. Sistem hisab yang menggunakan teknik ini antara lain: Sistem Badi’atul Mitsal, Sistem Khulashah, Sistem Hisab Haqiqi, Sistem Nurul Anwar, Sistem New Comb, Sistem Jean Meeus dan Sistem Ephemeris.

Dari berbagai sistem hisab yang disebutkan di atas memiliki variasi dalam memberikan koreksi terhadap irtifa’ hilal mar’i (tinggi hilal menurut pandangan mata). Dengan demikian perbedaan penetapan awal bulan dimungkinkan akan terjadi perbedaan diantara para ahli hisab, terlebih sebagian kelompok Islam tidak mau melakukan observasi empirik (ru’yatul hilal) sebagaimana anjuran Nabi. Yang menjadi masalah adalah perbedaan-perbedaan tersebut seringkali menimbulkan perdebatan yang berpotensi mengganggu rasa tenang dan nyaman dalam beribadah. Bukankah perbedaan pendapat di kalangan Ulama’ berarti Rahmah ?

Menyikapi Perbedaan dengan Kearifan Budaya.

Menurut pengamatan penulis, umumnya reaksi ummat sudah semakin arif dalam menyikapi perbedaan waktu awal puasa atau lebaran. Tidak ada lagi reaksi-reaksi berlebihan yang saling menyalahkan walaupun agak sedikit gaduh di media sosial saat puasa tahun ini Muhammadiyah dan beberapa yang lainnya melaksanakan lebih awal dibandingkan dengan NU dan Pemerintah. Kalaupun ada sedikit kegaduhan, namun secara sosial, justru terdapat hikmah yang mereka rasakan sesuai dengan aktifitas keseharian masing-masing. Hanya saja nampak satu pencitraan perpecahan ummat, karena harus mengikuti basis organisasi masing-masing. Fenomena ini nampaknya masih akan berulang pada puasa atau lebaran tahun mendatang.

Dalam perspektif ilmu (astronomi) masih mungkin perbedaan keduanya disatukan apabila semua pihak dapat melonggarkan genggaman metode yang digunakan. Hal ini dilandasi pada pemikiran dan kenyataan perkembangan ilmu astronomi sendiri. Patokan imkan rukyat 2 derajat yang digunakan selama ini memang menjadi pangkal perbedaannya. Menurut pengalaman para ahli rukyat kondisi tersebut sulit untuk dilakukan penginderaan, sementara bagi yang menggunakan hisab haqiqi wujudul hilal, bisa atau tidaknya hilal diobservasi tidak jadi masalah, yang penting tiga kriteria telah terpenuhi, yaitu telah terjadi ijtimak (konjugasi), ijtimak (konjugasi) itu terjadi sebelum matahari terbenam dan pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud). (Baca: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah: 2009). Sementara itu Lajnah Falakiyah NU memedomani putusan Muktamar NU ke-27 tahun 1405 H/ 1984 di Situbondo dan Munas Alim Ulama NU tahun 1408 H/1987 di Cilacap, bahwa penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah wajib didasarkan atas ru’yah al-hilal atau istikmal. Sedangkan kedudukan hisab hanyalah sebagai pembantu dalam melaksanakan rukyat. (Baca; Nawawi: 2002)

Dengan kesepakatan perubahan ketentuan 3 derajat seharusnya sudah dapat menyelesaikan perbedaan pendapat. Di masa yang akan datang diharapkan puasa dan lebaran bisa selalu bersama. Namun demikian potensi perbedaan akan selalu ada karena masih adanya perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits tentang waktu puasa dan lebaran. Sekiranya tetap terjadi berbedaan terkait dengan metode penetapan awal bulan qamariyah, sikap terbaik yang mungkin dilakukan adalah, pertama, dalam hal ini semua pihak perlu lebih menonjolkan perspektif keilmuan dengan lebih terbuka untuk menerima suatu metode yang lebih “canggih” dan terus mengkaji secara lebih mendalam terhadap metode yang digunakan dan mengesampingkan “egoisme” kelompok atau kepentingan  lain yang seringkali menjadi pertimbangan yang lebih menonjol mengalahkan argumentasi ilmu. Hadith Nabi dari Abu Hurairah: “Barangsiapa mempelajari ilmu yang seharusnya dicari demi mengharap ridha Allah tetapi ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta dunia maka ia tidak akan dapat aroma surga pada hari kiamat”. Kedua, terus mempertahankan dan meningkatkan  sikap saling menghormati diantara kelompok-kelompok yang berbeda. Sikap ini penting karena sangat berpotensi menimbulkan fitnah dan pada akhirnya akan memicu benturan antar ummat Islam.

Kalau yang pertama bisa disepakati maka puasa dan lebaran tidak lagi berada diantara dua kubu imkan rukyat dan wujud hilal. Kalau sekiranya tetap belum bisa dicapai, maka minimal kondisi yang kedua tetap terjaga, karena pencarian kebenaran agama dengan diliputi semangat saling memaklumi akan lebih mungkin membuka dialog tanpa ada rasa curiga. Di sinilah kearifan berbudaya yang dimiliki bangsa kita terasa menjadi modal yang sangat berharga, yang memastikan kehidupan sosial budaya kita baik-baik saja walaupun berbeda memulai puasa tetapi masih bisa bersama saat mengakhirinya. Wallahu a’lam bi shawab.

Selamat Hari Raya Iedul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

 

moh.isfironi@gmail.com

mohammad .isfironi@uinsa .ac .id

Thursday, April 04, 2024