Column UINSA

PENDIDIK CENTANG DUA

(Kampus Sebagai Rumah Kedua – Seri 8)

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Mbak MC, mohon dibacakan nomor HP Pak Dekan,” pintaku kepada pemandu acara siang itu. Dekan yang kusebut di sini maksudnya adalah dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK). Fakultas yang “ditakdirkan” untuk mencetak guru profesional. Atas permintaanku itu, diambillah Microphone. Oleh MC. Pemandu acara itu. Namun, sebelum nomor dekan dimaksud dibacakan, kusela dengan permintaan lanjutan: “Untuk ibu-bapak yang baru saja dikukuhkan sebagai guru profesional, mohon nomor Pak Dekan yang segera dibacakan dicatat dan dimasukkan ke HP masing-masing.” Sejurus kemudian, dibacakanlah nomor HP dekan dimaksud oleh sang MC. Dari angka satu hingga angka terakhir. Dan, semua guru profesional itu pun memasukkan nomor HP dekan ke dalam contact list HP masing-masing.

“Nah, sekarang, mohon segera kirim salam ke nomor WA Pak Dekan.” Demikian permintaanku kepada para guru profesional di atas. Itu kulakukan usai memastikan bahwa semua guru di atas telah memasukkan nomor HP dekan ke dalam daftar kontak HP masing-masing. Diketiklah pesan singkat berupa salam pendek dimaksud. Seusai menyaksikan tangan mereka berhenti dari mengetikkan pesan tersebut, akupun menimpalinya dengan pertanyaan tambahan: “Sudah terkirim pesannya?” mereka pun serempak menjawab: “Sudah Pak Rektor.” “Betul nih, sudah?” tanyaku kembali memastikan. “Sudaaaah,” kontan jawab mereka dengan suara seperti kor.

Akupun segera bertanya lebih jauh: “Kiriman salam panjenengan lewat WA sudah diterima oleh Pak Dekan?” Seakan dikomando, serentak mereka menjawab: “Belum.” “Kenapa belum?” tanyaku lebih lanjut. “Masih centang satu.” Begitu mereka semua menjawab serempak. Serupa. Kompak. Tak ada satupun yang menjawab berbeda. Pertanda bahwa yang mereka alami sama. Yang mereka dapati pada HP masing-masing serupa. Tak beda sama sekali. Centang satu. Pertanda pesan belum masuk ke HP dekan. Itu karena sebelumnya aku meminta Dekan FTK itu untuk menonaktifkan data seluler pada HPnya. Tentu, saja, semua pesan yang masuk pasti centang satu jadinya. Isyarat tidak masuk adanya.

“Sekarang, mohon Pak Dekan mengaktifkan kembali data selulernya.” Kataku saat itu. Pintaku kontan kepada dekan FTK itu. Agar kiriman pesan para guru profesional lewat platform WA-nya tak lagi centang satu. Diaktifkanlah data seluler itu oleh Dekan FTK. Pada HPnya. Tak lama setelah itu, aku pun kembali bertanya ke para guru profesional itu: “Apakah sekarang sudah centang dua?” Beberapa mereka mengatakan “sudah”. Sejumlah lainnya masih menginformasikan belum. Tapi, akhirnya semua kiriman pesan mereka sudah centang dua. Pertanda telah masuk dan diterima oleh dekan di HP-nya.

Begitu simulasi usai dengan ilustrasi di atas, akupun buru-buru memberi penguatan nilai. “Nah, karena itu, tugas guru setelah menjadi guru profesional adalah: Jangan menjadi guru centang satu! Jadilah guru centang dua!” Demikian pesan yang kukirim ke para guru yang sudah terkukuhkan sebagai guru profesional itu.  Pesan itu sebagai penegasan secara kuat atas substansi simulasi yang kulakukan sebelumnya pada mereka. Semua lalu tepuk tangan. Bergemuruhlah suasana ruangan pengukuhan itu.  Di ballroom Hotel Platinum Surabaya (21 Desember 2023). Masing-masing guru profesional itu menangkap pesan yang kukirim. Materi yang kusampaikan. Mereka paham. Mereka mencerna dengan baik. Tepuk tangan adalah pertanda paham. Bahwa begitulah seharusnya guru profesional bekerja dalam menjalankan tugas pembelajaran.

Foto Rektor Saat Memberi Materi Pada Pengukuhan PPG (21/12/2023)

Centang satu dan centang dua adalah bahasa simbol komunikasi digital. Lumrah berlaku dalam komunikasi pertemanan pada aplikasi percakapan media sosial. WhatsApp (WA) dan Short Message Service (SMS) adalah bagian di antaranya. Centang satu berarti pesan dilepaskan dan terkirim namun belum diterima oleh lawan bicara. Atau penerimanya. Pada perangkat gadget atau komputernya. Centang dua berarti pesan terkirim dan sekaligus juga telah diterima. Karena beda status pada pesan yang terkirim, siapapun pasti akan mengecek status pesan yang terkirim. Diterima atau belum. Bahasa lainnya, centang satu atau centang dua.

Itulah substansi perbedaan antara to send dan to deliver. Memang ada persamaan antara keduanya. Tapi, perbedaan antara keduanya tak bisa dielakkan. To send mengandung makna yang mencakup to cause to go (menyebabkan pergi atau terlepas) atau to cause to happen (menyebabkan terjadi). Dalam bahasa komunikasi reguler, kata itu berarti mengirim pesan. Pada komunikasi digital, simbolisasinya adalah centang satu. Maknanya, hanya mengirim semata. Belum tentu kiriman diterima. Sebaliknya, to deliver mengandung komponen makna to hand over (menyerahkan) dan to make accessible (membuat sesuatu bisa diakses). Maknanya, mengirim dan diterima. Simbolisasinya adalah centang dua.

Maka, to deliver memiliki cakupan substantif lebih mendalam dan meluas daripada to send. Makna sentralnya adalah sampai dan diterimanya pesan. To deliver menjamin sampai dan diterimanya pesan itu. To send tidak bergerak hingga pada makna substantif itu. Tak melakukan penjaminan atas kondisi sampai dan diterimanya pesan itu. Tak punya kapasitas untuk itu. Karena itulah, dalam bahasa simbol digitalnya, sampai dan diterimanya pesan diilustrasikan dengan komponen maknawi “terkirim”. Dan status “terkirim” itu menjadikan pesan bisa diakses oleh penerimanya. Dan hanya to deliver yang memiliki kapasitas untuk melakukannya. To send tidak.

Foto Bersama Pimpinan FTK dan Peserta Pengukuhan PPG (21/12/2023)

Menjadi “guru centang satu” berarti praktik pembelajarannya hanya menyampaikan materi semata. Dia cenderung memaknai pembelajaran hanya sebatas menyampaikan materi. Mengirim ilmu pengetahuan kepada pembelajar. Tentu ukurannya adalah dari perspektifnya. Dari sisinya. Tak lebih dari itu. Begitu materi tersampaikan, dipikirnya tugas mengajar telah usai. Begitu pembelajaran dimaknainya. Soal paham atau tidak, itu bukan urusannya. Itu semua urusan pembelajar. Urusan peserta didik. Menguasai substansi yang disampaikan atau tidak, itu menjadi kewajiban pembelajar. Bagi guru dengan karakter dimaksud, bukan tugas dan kewajibannya untuk memastikan paham-tidaknya pembelajar. Yang penting, menyampaikan materi. Paham atau tidak, atau menguasai atau tidak, itu mutlak tugas pembelajar. Murni tanggung jawab peserta didik itu sendiri.

Padahal, belum tentu materi yang disampaikan oleh pendidik otomatis bisa dipahami oleh pembelajar. Apalagi tentu dikuasai penuh oleh mereka. Ada serangkaian prasyarat untuk sampai, diterima dan dipahaminya sebuah pesan pembelajaran oleh pembelajar. Cara penyampaiannya harus mempertimbangkan prinsip fasilitasi daripada problematisasi. Fasilitasi itu dalam Bahasa Arabnya tashil. Mempermudah. Memudahkan. Menjadikan suatu materi, bahkan hingga yang sesulit apapun, mudah dipahami dan dikuasai oleh pembelajar. Bukan sebaliknya, yang dilakukan justeru problematisasi. Bikin susah dipahami. Yang diajarkan sukar dikuasai. Bahkan, yang mudah pun jadi sulit dimengerti.

Juga, pendidik penting menghitung pembelajar sebagai subyek aktif. Dan bukan obyek pasif. Pendidik selalu mempertimbangkan peserta didik sebagai pelaku aktif dalam pembelajaran. Dengan prinsip pembelajar sebagai subyek aktif ini, titik sentral pembelajaran justeru adalah peserta didik. Bahkan, titik berangkat dan titik akhir dari pembelajaran pun adalah mereka.  Bukan pendidik. Karena itulah, semua yang ada pada diri pembelajar dihitung dan dipertimbangkan kuat oleh pendidik. Bukan sekadar soal cara penyampaian materi, melainkan juga kondisi psikologi internal peserta didik. Bahkan, instrumentasi materi pembelajaran pun dipersyaratkan untuk dilakukan. Untuk kepentingan pengkondisian agar materi mudah dipahami dan dikuasai pembelajar.

Di situlah kelebihan guru yang mampu menunaikan pembelajaran secara efektif. Di situlah esensi “guru centang dua”. Dan itulah yang seharusnya dilakukan oleh pendidik secara keseluruhan. “Guru centang dua” bermula dari prinsip fasilitasi, dan bukan problematisasi, seperti diuraikan di atas.  Juga selalu berorientasi pada peserta didik. Yang jadi sentral pertimbangan selalu pembelajar. Semua bagian dari proses pembelajaran diukur dari dan dengan kondisi internal pembelajar. Termasuk kepentingan hari ini dan masa depan mereka. Itulah esensi yang juga diusung oleh anggitan student-centered learning. Dengan begitu, apapun ikhtiar yang dilakukan dalam penunaian tugas pembelajaran, kondisi internal dan kepentingan pemahaman pembelajar menjadi prioritas utama.

Dialog dalam kisah yang kuceritakan di awal tulisan ini beserta penjelasan setelahnya, sebetulnya, tak terbatas hanya untuk guru. Semua jenis dan kategori pendidik termasuk di dalamnya. Dosen juga tanpa terkecuali. Selama bertugas dan berfungsi sebagai pendidik, selama itu pula rumus tentang centang satu dan centang dua berlaku. Maka, muncul pula konsep “dosen centang satu” dan “dosen centang dua”. Juga “pelatih centang satu” dan “pelatih centang dua”. Termasuk juga “orang tua centang satu” dan “orang tua centang dua”. Selama mereka semua bertugas sebagai pendidik, konsep “centang satu” dan “centang dua” berlaku.

Kampus juga punya kepentingan terhadap konsep pembelajaran centang satu dan dua di atas. Memang, semakin ke arah andragogi, semakin rendah muatan indoktrinasi. Semakin berorientasi ke pendidikan orang dewasa, semakin tinggi kebutuhan pembelajaran terhadap ruang dialog dan diskusi yang terbuka. Tapi tetap saja, untuk kepentingan efektivitas pembelajaran, dipersyaratkan ditunaikannya prinsip centang dua di atas. Pendidik yang baik bukan sekadar berpikir bahwa tugasnya hanya menyampaikan materi pembelajaran. Soal paham atau tidak, dikuasai atau tidak, berdampak atau tidak, itu dianggap menjadi urusan pembelajar. Tentu pikiran seperti ini tak seharusnya bersemayam dalam diri pendidik yang sejati.

Alasannya sederhana. Karena, kalau hanya berpandangan demikian, maka pembelajaran sejatinya tidak terjadi. Learning does not exist, kata Orang Barat. Karena kata learning itu berarti mendapat (to take) dan mengalami (to experience). Bagaimana “mendapat” bisa terjadi jika “memahami” saja tak pernah dimiliki oleh pembelajar. Bagaimana bisa “mengalami” jika “menangkap” saja tak pernah terjadi pada pembelajar.  Semua itu adalah akibat dari abainya pendidik terhadap kondisi internal pembelajar. Termasuk tak adanya perhatian yang cukup terhadap kepentingan pembelajar. Yang menjadi ukuran oleh pendidik adalah dirinya.

Maka, jangan menjadi dosen centang satu. Harus menjadi dosen centang dua. Begitu pula pada pendidik pada umumnya. Jangan menjadi pendidik centang satu. Jadilah pendidik centang dua. Jangan hanya berpikir asal mengajar. Tanpa harus memikirkan kondisi dan situasi pembelajar. Jangan diri sendiri yang jadi ukuran. Tanpa melihat bagaimana yang terjadi pada pembelajar. Jangan jadikan kepentingan diri sendiri sebagai orientasi. Tanpa mempertimbangkan kepentingan pembelajar. Jangan pernah bertindak asal menyampaikan materi. Tanpa menghitung cermat bagaimana tingkat penerimaan oleh pembelajar. Semua itu agar tidak terjadi gejala centang satu.

Maka, singkatnya, pendidik centang dua bisa dibentuk dari nilai berikut. Pertama, tidak asal mengajar. Tidak semaunya sendiri. Dirinya tidak menjadi ukuran tunggal, sedangkan pembelajar hanya mengikuti saja. Nasehat mulia khathib al-nas ‘ala qadri ‘uqulihim diikuti betul. Mengajar dengan menjadikan pembelajar sebagai ukuran penyampaian materi. Kedua, selalu updated. Termasuk dalam metode pembelajarannya. Juga pembacaan atas kecenderungan pembelajarnya. Kecenderungan baru pembelajar selalu dihitung. Perubahan perilaku masa kini selalu diacu. Termasuk kecenderungan digital. Ketiga, menjadikan tugas mengajar sebagai sebuah profesi. Sehingga, prinsip dan perihal teknis pedagogi dan andragogi selalu diperhitungkan. Untuk efektivitas pembelajaran.

Ciri pendidik centang dua di atas adalah bagian tak terpisahkan dari tugas dan fungsi penunaian pembelajaran efektif yang diidamkan bersama. Karakter pendidik centang dua sangat dibutuhkan untuk menjamin terselenggaranya Kampus Sebagai Rumah Kedua. Bagaimana mahasiswa merasa nyaman di kampus adalah titik perhatiannya. Pembelajaran adalah salah satu dari subtitik utama. Saat pembelajaran berhasil menjamin diterimanya materi dengan baik oleh mahasiswa, maka prinsip pembelajaran berarti ada di sana. Saat pembelajaran membuat ilmu pengetahuan tersampaikan dan dapat diterima dengan baik oleh pembelajar, maka substansi penyelenggaraan pembelajaran sudah berlaku efektif adanya.

Dan semua itu artinya, dosen sudah terampil melaksanakan tugas sebagai pendidik centang dua. Sebab, mahasiswanya telah dapat menerima dan mencerna materi pembelajaran dengan begitu baiknya. Semua ini tak lepas dari buah kenyamanan dalam pelaksanaan pembelajaran yang ada. Apalagi, kampus sangat butuh dosen centang dua. Kampus sangat merindukan hadirnya dosen dengan keterampilan dan karakter centang dua sebagai simbolnya. Alasannya sederhana. Kampus Sebagai Rumah Kedua, yang kini diidealisasikan bersama, akan semakin lengkap kesempurnaannya. Oleh pembelajaran terbaik yang diselenggarakan dosennya. Dan, mahasiswa sebagai pembelajar bisa menikmatinya. Karena kenyamanan yang ditimbulkannya.