Column UINSA

Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor dan Pembina Pusat Analisis Haji, Umrah, dan Bisnis Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya

HAJI tahun ini cukup spesial. Bukan karena momentum haji akbar, seperti yang selama ini menjadi pengharapan banyak calon jemaah, melainkan karena menjadi kesempatan emas bagi calon jemaah haji (CJH) lansia untuk melaksanakannya. Pandemi Covid-19 menjadi latar belakang pembatasan usia yang menghilangkan kesempatan bagi CJH berusia di atas 65 tahun untuk berhaji. Kebijakan itu diambil untuk kepentingan hifdzun nafs (menjaga keselamatan jiwa) mereka.

Gemuknya jumlah calon jemaah haji lansia membuat pemerintah harus menyiapkan sekian paket kebijakan untuk memfasilitasi mereka. Salah satunya, para CJH lansia harus diberi perbantuan yang semestinya, sesuai dengan kebutuhan dan keleluasaan hidup bagi mereka dalam usia tua itu.

Perdebatan di publik tentang siapa yang layak memberi perbantuan kepada CJH lansia sempat mengemuka. Dari internal masyarakat, muncul permintaan agar kebijakan perbantuan itu membuka ruang bagi anggota keluarga CJH lansia untuk diperkenankan menjadi pendamping. Tentunya dengan konsekuensi pembiayaan mandiri. Argumentasi mereka, hanya anggota keluarga yang mengerti apa yang dibutuhkan dan bagaimana pelayanan diberikan kepada CJH lansia tersebut.

Pemerintah pun telah menyiapkan tenaga pendamping haji lansia dari kaum profesional di bidang pelayanan yang dibutuhkan CJH lansia. Mereka berasal dari kalangan profesional ASN yang memiliki kompetensi serta keterampilan profesional di bidang psikologi, gizi, dan kesehatan.

Substansi dasar di balik perdebatan itu adalah bahwa kebijakan pendampingan dan pelayanan khusus bagi CJH lansia patut melintasi kebutuhan peribadatan. Manasik haji adalah mekanisme terukur yang senantiasa menjadi prosedur tetap yang diterapkan pemerintah kepada semua calon jemaah haji, lansia atau bukan. Bahkan, sebagai prosedur tetap, manasik itu diselenggarakan oleh pemerintah melalui layanan kantor Kementerian Agama bidang haji maupun penyelenggara layanan haji secara mandiri.

Apalagi, ibadah haji adalah ibadah massal yang menghadirkan umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Semua melaksanakan ibadah dalam rukun dan syarat yang sama, juga dalam waktu dan tempat yang sama pula. Tentu, banyaknya jumlah peserta ibadah haji itu menyisakan kerawanan tertentu jika prosedur tetapnya terlewati, dan hal itu bisa membatalkan sahnya haji.

Namun, kini, banyaknya CJH lansia menimbulkan tantangan baru bagi pemerintah sebagai penyelenggara ibadah haji. Tantangan itu bukan berasal dari urusan peribadatan semata, melainkan juga urusan teknis lainnya. Tantangan pada urusan peribadatan di antaranya berputar pada masalah penjaminan pelaksanaan ritual haji oleh para calon jemaah haji agar tetap dalam pemenuhan syarat dan rukun sahnya haji.

Pada urusan teknis non peribadatan, tenaga pendamping dan pelayan haji lansia penting untuk melakukan mitigasi risiko dan masalah yang berpotensi muncul selama pelaksanaan haji, mulai dari keberangkatan hingga kepulangan. Pertama, menjaga stabilitas mental calon jemaah haji lansia. Mental mereka tidak boleh jatuh karena gagal beradaptasi dengan situasi dan kondisi baru di lokasi peribadatan haji yang cenderung sangat berbeda dari lokasi keseharian mereka.

Lebih dari itu, calon jemaah haji lansia akan berada di tengah lautan manusia calon jemaah haji dengan beragam latar belakang tradisi, budaya, dan kecenderungan kebiasaan yang beragam lintas batas negara beserta peradabannya di dunia. Tentu, kondisi itu butuh ketahanan mental yang baik dalam diri calon jemaah haji lansia untuk melakukan proses adaptasi dan penyesuaian diri. Baik dalam kepentingannya dengan pemenuhan kebutuhan pribadi maupun kebutuhan ritual dan sosial sekaligus yang berdimensi publik.

Kedua, ibadah haji yang menuntut kondisi fisik yang baik menjadikan pendampingan dan pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan oleh calon jemaah haji lansia. Pasalnya, tingkat kesehatan tubuh yang secara alami cenderung menurun ketimbang sebelumnya membuat kewaspadaan harus lebih ditingkatkan dalam kerja pendampingan dan pelayanan khusus tersebut.

Hampir selalu kita diingatkan dengan jawaban serupa oleh lansia ketika ditanya soal kabar. Seakan seragam, mereka hampir selalu menjawab begini: ’’Ya begini ini sehatnya orang tua. Pagi enakan, agak siang dikit mulai terasa pegel-pegel.’’ Bagi calon jemaah haji lansia, mengirimkan pesan penting bahwa penjagaan kesehatan, termasuk melalui penjaminan gizi dalam asupan makanan dan minuman, menjadi bagian dari kebutuhan dasar lansia.

Keberadaan para CJH yang untuk sementara ’’tercerabut’’ dari lingkungan kecil keluarganya dalam waktu lebih dari satu bulan menjadi lahan bagi tumbuhnya masalah mental-psikologis, fisik, hingga kesehatan. Di sinilah kemuliaan pendamping CJH lansia tidak saja berdimensi nilai kemanusiaan yang tinggi, tapi juga nilai spiritual yang mendalam. Besarnya jumlah calon jemaah haji lansia menjadikan pendamping dan pelayan khusus CJH lansia sebagai bagian dari penentu utama yang terukur bagi suksesnya pelaksanaan haji tahun ini. (*)


*) Tulisan ini telah diterbitkan di Kolom Opini Harian Jawa Pos Edisi Selasa, 30 Mei 2023. Juga dipublish pada laman https://www.jawapos.com/opini/01688366/pendampingan-calon-jemaah-haji-lansia