Column

Kemuliaan bulan Ramadhan _salah satunya memang_ dikarenakan di dalamnya ada “Lailatul Qadar”, yakni malam yang lebih baik dari seribu bulan atau setara dengan 83 tahun 4 bulan. Dasar ini yang kemudian, hari-hari 10 terakhir setiap bulan Ramadhan menjadi hari-hari penantian bagi mereka yang mentradisikan memburu malam Lailatul Qadar dengan beragam peribadatan yang dilakukan sambil beri’tikaf di Masjid.

Pilihan 10 terakhir bulan Ramadhan memang tidak datang tiba-tiba, melainkan karena memang ada hadis yang menjelaskan tentang keutamaan ini dengan berdasar pada riwayat Sayyidah Aisyah, “dimana Rasulullah Saw pada sepuluh terakhir selalu menghidupkan malam-malamnya _dengan banyak beribadah_. Bukan hanya itu, beliau membangunkan istrinya untuk bersama-sama tetap semangat dalam beribadah.”. Itu artinya, fenomena pemburu Lailatul Qadar yang ramai dengan beragam kegiatan ibadah yang dilakukan, dibandingkan dengan hari-hari yang lain, adalah fenomena living hadis yang setiap negara memiliki tradisinya masing-masing.

Dalam konteks Indonesia juga demikian, apalagi di kota-kota besar. Di malam-malam ganjil atau malam “slekoran” atau “likuran”, fenomena memburu Lailatul Qadar cukup terasa dengan adanya informasi dari takmir-takmir masjid untuk bersama-sama beri’tikaf. Fenomena kembali ke masjid dalam rangka menyambut Lailatul Qadar dalam satu sisi memang baik, setidaknya dalam rangka memperkuat nilai-nilai spiritualitas umat, termasuk mengamini hari-hari krusial datangnya Lailatul Qadar di malam-malam ganjil.

Namun, fenomena ini jika tidak direnungi dengan matang bisa menjadi semacam “mendadak Sholeh” alias kehilangan substansinya. Artinya, mendadak orang berbondong-bondong ke masjid dengan dalih beri’tikaf di 10 hari terakhir Ramadhan, tapi ketika Ramadhan berlalu masjid akan terasa kembali sepi. Dalam konteks ini yang terjadi semangat spiritual individual tidak memiliki daya dorong yang kuat untuk merubah prilaku umat dengan menangkap sisi kebaikan yang ada dalam Lailatul Qadar, selain ia lebih baik dari seribu tahun.  

Dilema dan Kontinyuitas 

Lailatul Qadar memang secara teologis menjadi malam diskon luar biasa (khoirun min alfi syarh) sehingga memantik orang bergerak untuk beribadah, Tapi, jika hanya melihat diskon saja, ketaatan kepada Allah SWT akan menjadi semacam dilematis bagi setiap orang. Mentalitas merebut diskon baik-baik saja, namun akan menjadi masalah bisa tanpa diskon tidak ada gerakan ketaatan. Apalagi hanya berdalih mencari diskon dalam Lailatul Qadar, kewajiban-kewajiban lainnya terbengkalai, untuk tidak mengatakan terlantarkan. Bukankah menyiapkan sahur untuk anak-anak dan keluarga serta mendampingi mereka atau sahur bareng bersama Yatim Piatu, itu juga baik yang tidak bisa dibandingkan dengan beri’tikaf penuh di masjid.

Karenanya, kontinyuitas ketaatan sangat penting. Jangan terpedaya oleh diskon-diskon tahunan, walau tetap perlu merebutnya. Kontinyuitas mengandaikan bahwa kesalehan kepada Allah _termasuk kepada sesama_ tidak ada kaitannya dengan diskon. Dimanapun dan kapanpun ketaatan harus dilakukan sebab dengan begitu kita semua menjadi hamba yang selalu mensyukuriNya. Nabi sendiri memberikan contoh terbaik dalam konteks ini sehingga apapun alasannya, kita harus menirunya, walau tidak mungkin bisa menyamainya.

Nabi Muhammad Saw yang sholat malam sampai bengkak, ketika ditanya oleh istrinya A’isyah, beliau menjawab dengan jawaban yang sangat singkat: “afala akuna abdan syakuro”.  Jawaban singkat ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi umatnya, pertama, dilihat dari kata “syakuro”. Dalam kamus al-maany online, kata Syakuro diartikan “mubalaghah al-Syakir” (orang yang sangat bersyukur). Jika al-syakir adalah orang yang bersyukur, maka “syakuro” adalah orang yang sangat bersyukur dengan kenikmatan yang ada.    

Karenanya, apa yang dilakukan Nabi Muhammad sampai bengkak ketika sholat malam, tidak ada kaitannya dengan bahwa ia sudah dijamin masuk surga sehingga _menurut pandangan kebanyakan kita_ dianggap tidak perlu berlebihan beribadah, “uwong sudah dijamin surga”. Tapi, yang dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah teladan mensyukuri atas semua kenikmatan yang diberikan. Bersyukur kepadaNya, bukan kebutuhanNya, tapi keharusan yang harus dilakukan oleh semua hamba sebagaimana dipraktikkan Nabi Muhammad agar menjadi teladan umatnya. Bukankah dengan begitu, nikmat akan bertambah.

Kedua, Nabi mengajarkan bahwa syukur tidak cukup di mulut dengan ucapan “al-hamdulillah. Syukur dimulut adalah syukur formalitas, bila tidak dibarengi dengan komitmen untuk semakin baik dalam ketaatan. Jika kita mensyukuri rizki yang diberi oleh Allah dengan ucapan al-hamdulillah bisa dikatakan baik, maka berbagi rizki kepada yang lain adalah kebaikan lain yang semakin bertambah, bahkan bagian dari manifestasi makna “syakuro.”

Maka pensyukur sejati adalah ia yang selalu mencurahkan semua gerak pikiran dan praktik dalam kehidupan untuk memperoleh ridhoNya, bukan hanya puas dengan hanya mengucapkan al-hamdulillah. Pastinya, tidak hanya yang berurusan denganNya, tapi juga yang berurusan dengan mahluk-mahlukNya. Dengan begitu, dalam ruang sosial kita memiliki tanggungjawab yang sama untuk memberikan hal terbaik, dan berusaha untuk tidak memberikan yang kurang bermanfaat, lebih-lebih yang mudharat.  Dari sini, maka pemburu Lailatul Qadar harus tetap semangat dalam setiap malam, sambil tetap menjaga etika sosial yang berkaitan dengan hal-hal harian. Dalam fikih diajarkan, misalnya, jika istri ingin I’tikaf, maka ijin suami menjadi keharusan. Atau jika dikembangkan, jika semua ingin beri’tikaf, maka pastikan urusan di rumah sudah dipandang aman dan tidak ada yang dirugikan.  Di samping itu, mari rawat kontinyuitas ibadah dalam memburu Lailatul Qadar, walau Ramadhan kelak meninggalkan kita. “Kun ‘abdan rabbaniyyan, wala takun ‘abdan ramadhaniyyah”, jadilah hamba Tuhan, bukan hamba Ramadhan. Komitmen hamba Tuhan adalah komitmen untuk melanjutkan ketaatan kepadaNya, tanpa dibatasi ruang dan waktu. Semoga kita semua diberikan kesehatan untuk terus berusaha menjadi hamba-hambaNya yang sesungguhNya. Amin…