Dr. Slamet Muliono Redjosari
Petunjuk Allah tidak datang bukan karena Allah tidak adil, tetapi karena kesombongan akut manusia yang menolak petunjuk. Dengan kata lain, petunjuk Allah tidak pernah sirna, dan kemurahan-Nya tidak pernah pudar, melainkan karena manusia yang menutup hati mereka sendiri dengan kesombongan. Ketika kesenangan duniawi menjadi tujuan utama, maka kemewahan dan kekuasaan membutakan mata hati, sehingga manusia mulai mengabaikan petunjuk yang sejatinya selalu hadir. Mereka merasa cukup dengan diri sendiri, menganggap harta dan jabatan sebagai jaminan keabadian. Dalam kesombongan itu, mereka merendahkan yang lemah, menindas yang miskin, dan mengabaikan keadilan.
Kesombongan dan Kerusakan
Lahirlah berbagai bentuk kerusakan dan kejahatan yang merajalela, penindasan menjadi pemandangan biasa, dan air mata kaum tertindas mengalir tanpa henti. Penderitaan bukan lagi sekadar peringatan, tetapi menjadi bagian dari kehidupan yang diciptakan oleh mereka yang hidup dalam kemewahan dan penolak kebenaran. Meskipun berbagai musibah dan tangisan sosial terus terjadi, mereka yang hidup dalam kemapanan tetap tidak sadar. Hati mereka mengeras, telinga mereka tuli terhadap seruan kebaikan, dan mata mereka buta terhadap kehancuran yang mereka sebabkan. Kebutaan hati seperti ini tidak membuatnya menyesal. Hal ini digambarkan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
بَلۡ بَدَا لَهُم مَّا كَانُواْ يُخۡفُونَ مِن قَبۡلُ ۖ وَلَوۡ رُدُّواْ لَعَادُواْ لِمَا نُهُواْ عَنۡهُ وَإِنَّهُمۡ لَكَٰذِبُونَ
Artinya:
Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka. (QS. Al-‘An`ām :28)
Negeri yang dahulu makmur, orang-orang yang hidup mewah, seringkali mengadakan pesta-pesta mewah, tertawa dalam gemerlap lampu kristal, dan menghabiskan malam dengan berbagai kenikmatan. Sementara itu, di sudut-sudut kota yang gelap, ada tangisan yang mereka tak dengar. Tangisan dari mereka yang terpinggirkan, kelaparan, dan kehilangan harapan.
Demikian pula di pemerintahan, para pejabat yang hidup dalam kemewahan berbicara tentang pembangunan, tetapi pembangunan yang mereka maksud hanya menguntungkan mereka sendiri. Rakyat kecil hanya menjadi angka dalam laporan. Harga kebutuhan pokok melambung, pengangguran meningkat, dan di lorong-lorong sempit. Bahkan ibu-ibu menangis karena anak-anak mereka kelaparan. Namun, para penguasa tetap berpesta, merasa diri tak tersentuh oleh derita yang mereka ciptakan.
Realitas lain menggambarkan bahwa di desa-desa yang dahulu hijau, hutan-hutan ditebang untuk membangun vila-vila megah bagi orang-orang kaya. Sungai yang dulu jernih kini menghitam oleh limbah pabrik, mengalirkan racun ke rumah-rumah penduduk. Musim hujan datang, tetapi tanah yang gundul tak mampu menahan air. Dalam semalam, banjir bandang menyapu pemukiman rakyat kecil. Rumah-rumah hanyut, tangisan pecah di mana-mana, namun di balik tembok tinggi rumah-rumah megah, tak ada yang peduli.
Di jalan-jalan kota, anak-anak muda dari keluarga kaya mengendarai mobil-mobil mahal, menghabiskan malam di klub-klub malam, membakar uang hanya demi hiburan. Mereka tak pernah merasakan lapar, tak tahu bagaimana rasanya mencari sesuap nasi dengan keringat sendiri. Mereka ak peduli di seberang jalan, ada seorang lelaki tua yang terpaksa mencuri sepotong roti untuk bertahan hidup. Ia ditangkap, dipukuli, dan dipenjara, sementara mereka yang menggelapkan miliaran tetap bebas, tersenyum dalam siaran televisi. Hati yang keras sulit membuatnya sadar sehingga petunju pun menjauh.
Tersendatnya Petunjuk
Ketika petunjuk semakin menjauh, meskipun musibah datang beruntun, tidak akan membuat hatinya melunak. Bahkan tidak jarang menjadikannya semakin mengeras. Tidak ada rasa sesal, tidak ada keinginan untuk berubah. Mereka tetap berpikir bahwa kekayaan dan kekuasaan akan melindungi mereka selamanya. Hingga suatu hari, gemuruh bumi mengguncang kota, air bah menghantam dengan amarah, dan tangisan yang dulu tak didengar kini menggema di mana-mana.
Musibah yang demikian dahsyat guna mengingatkan mereka yang hidup dalam kedzaliman. Namun hal itu tidak membuatnya berubah dan bahkan semakin membuatnya semakin dzalim. Al-Qur’an menggambarkan bahwa sifat ini sulit berubah, kalau pun diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, maka sulit untuk berbuat baik. Hal itu sebagaimana paparan Al-Qur’an berikut :
وَلَوۡ عَلِمَ ٱللَّهُ فِيهِمۡ خَيۡرٗا لَّأَسۡمَعَهُمۡ ۖ وَلَوۡ أَسۡمَعَهُمۡ لَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعۡرِضُونَ
Artinya:
Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu). (QS. Al-‘Anfāl :23)
Allah menegaskan bahwa hati mereka sudah tertutup. Kalau pun diberi petunjuk, mereka tidak akan mengambil kesempatan untuk memperbaiki diri. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah akan mempertinggi derajatnya dengan peringatan itu. Namun mereka condong untuk menyimpang dan memperturutkan hawa hafsunya. Al-Qur’an manarasikan hal itu sebagaimana firman-Nya :
وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ ۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَث ۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَٰتِنَا ۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah; maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. Al-‘A`rāf : 176)