Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Di bawah redupnya malam yang tersisa, kunikmati pagi yang indah. Surabaya yang siang-malam biasanya supersibuk berubah jadi tenang penuh berkah. Udara yang masih segar seakan menjadi sedekah. Oleh alam untuk manusia yang tak pernah lelah untuk gelisah.
Kunikmati pagiku di Surabaya saat itu kala menginap di hotel penuh memori. Jalanan pagi itu juga masih sepi. Lalu lalang kendaraan masih bisa dihitung dengan jari. Walaupun sudah sangat ramai untuk ukuran banyak wilayah di ibu pertiwi.
Indahnya Surabaya makin terasa saat kuayunkan kaki. Berlari tuk jaga vitalitas diri. Apalagi, trotoar yang terbangun rapi sangat ramah untuk kaki. Dihiasai dengan tetumbuhan yang indah nan asri. Terasa nikmatnya tak terperi.
Kulari seperti layaknya di tempat tinggal sendiri. Setiap hari. Tuk bakar kalori. Demi menjaga keseimbangan diri. Semakin kulangkahkan kaki, semakin kutahu apiknya infrastruktur yang memanjakan pejalan kaki. Juga tentu untuk berlari. Oh Surabaya yang kucintai!
Kususuri hamparan trotoar yang sambung-menyambung. Memanjang dan selalu terhubung. Dari satu kilometer, kulanjutkan lari ke kilometer berikutnya secara konstan tanpa huyung. Ke arah kiri, kulanjutkan berlari mengitari tengah kota yang tertata rapi. Terus memutar tanpa henti. Jalan Tunjungan kukitari. Terus ke jalan-jalan lainnya ku berlari. Menyusuri jalanan yang memanjakan pejalan kaki dan pelari.
Hanya sedihnya, setiap sampai di ujung gang atau jalan, setiap itu pula langkahku terhalang. Terhenti oleh jajaran tiang. Terbuat dari besi setinggi dada orang dewasa yang kokoh memanjang. Dari tiang besi yang berdiri kokoh dan kuat terpasang. Ada yang terdiri dari empat biji tiang. Ada pula yang enam biji agak menjulang. Bahkan, dua biji di bagian tengah diberi tambahan besi yang sengaja dipasang. Menyamping bak manusia sepasang. Hingga hampir saling bersentuhan dan penuh pandang. Untuk bisa melintas, jalan pun harus memiringkan badan. Melangkah ke depan tak akan bisa seperti biasa dilakukan. Orang dewasa pasti terhalangkan. Oleh jajaran tiang besi yang sengaja ditanamkan. Mungkin hanya anak kecil saja yang bisa melintas tanpa harus pusing mengkondisikan badan.
Akupun akhirnya termenung. Bukankah trotoar dan infrastruktur yang ada di atasnya dibangun sebegitu bagus nan mapan untuk kepentingan pelaku jalan kaki dan juga lari? Membuat nyaman tanpa khawatir atas keselamatan diri? Lalu, kenapa setiap di ujung gang atau jalan selalu ditanam tiang besi memanjang?
Jika dilanjutkan lebih jauh, pertanyaan reflektif lebih dalam bisa diutarakan: kalau begitu jadinya, apa fungsinya Pemerintah Kota Surabaya membangung trotoar sebegitu bagusnya? Kan fungsinya tidak lagi ada?
Setelah mengamati saat jam-jam sibuk, aku pun tahu jawabannya. Ternyata, saat jalanan macet akibat volume kendaraan yang tinggi, motor pun akhirnya naik ke trotoar. Para pengendara mengarahkan motornya ke atas trotoar. Kepentingannya agar cepat bisa melewati kemacetan. Tentu agar mereka juga segera sampai ke tempat tujuan.
Sungguh ironis, bukan? Trotoar yang awalnya dibangun untuk kepentingan memanjakan pejalan kaki dan bahkan juga pelari akhirnya tidak bisa berfungsi seperti seharusnya saat dirancang dari dini. Fungsi trotoar akhirnya telah tergradasi karena disalahgunakan oleh pengendara motor. Kepentingan pejalan kaki dan juga pelari akhirnya terkorbankan oleh syahwat pengendara motor yang abai terhadap fungsi trotoar.
Itulah gambaran sederhana sejatinya atas perilaku buruk sejumlah kita sebagai anggota warga masyarakat. Kemaslahatan bersama (common goods, atau maslahah ‘ammah) tergadaikan oleh kepentingan individu (private virtues; atau maslahah fardiyah). Kebajikan umum yang seharusnya ditegakkan oleh semua individu yang mengikatkan diri ke dalam struktur sosial kemasyarakatan terpurukkan oleh pribadi yang dikuasai oleh syahwat untuk memuaskan kebutuhan sendiri.
Akhirnya, infrastruktur yang sudah dibangun untuk memenuhi kebutuhan bersama oleh pengemban amanah publik menjadi mandul. Fungsinya tak lagi produktif untuk kebaikan bersama. Keberadaannya tak lagi bisa seperti yang diniatkan awalnya. Sungguh sebuah praktik lacur oleh sebagian dari kita.
Praktik buruk oleh sebagian kecil kita atas fasilitas umum membuat semua terkena dampaknya. Tentu yang menaikkan kendaraan bermotornya ke trotoar bukan semua orang. Tapi, dampaknya, pengemban amanah publik pun akhirnya mengambil keputusan untuk memasang jajaran tiang besi pada fasilitas trotoar di setiap ujung gang atau jalan. Akhirnya, semua terkena imbas dari praktik buruk Sebagian di antara mereka. Termasuk saudara-saudara sendiri yang dalam kondisi difabel.
Pernahkah berpikir, kaum difabel yang seharusnya memiliki hak yang sama atas kemewahan infrastruktur jalanan dan pedestrian harus terkesampingkan oleh ulah sejumlah kiya yang tak pernah hirau atas hak-hak publik mereka. Trotoar yang dibangun untuk kejamajuan peradaban kemanusiaan harus menyisakan kesedihan mendalam bagi kaum difabel yang tak bisa memiliki kuasa untuk hidup mendiri nan bebas seperti saudara-saudara lainnya pada umumnya. Oh, Surabaya yang kucintai! Kau tergadaikan oleh ulah sejumlah kami yang abai atas hak-hak sesama.
Itulah kira-kira mengapa kita perlu mengambil pelajaran dan inspirasi dari al-Qur’an Surat al-Anfal (QS, 8:25). Bunyi ayatnya begini: Wa ittaqu fitnatan la tushibanna al-ladzina dhalamu minkum khashshah. Terjemah sederhananya seperti ini: Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang lalim saja di antara kamu. Artinya, hati-hatilah bahwa perilaku buruk tidak hanya akan mengenai pelakunya. Alih-alih, dampak perilaku buruk itu akan dapat mengenai dan menimpa banyak orang di luar pelakunya sendiri.
Kasus pemasangan jajaran tiang besi pada fasilitas trotoar di atas hanyalah contoh kecil semata. Bisa saja kasus serupa terjadi pada selainnya. Bisa pula terjadi pada sekeliling kita. Kampus pun juga tidak steril dari kasus serupa. Bagusnya infrastruktur kampus tidak otomatis kemudian diikuti oleh praktik perilaku yang positif atasnya. Tak jarang justeru sebaliknya. Tindak laku yang diambil tak lagi kompatibel dengan kemajuan infrastruktur dan atau layanan yang disediakan.
Berperilaku positif atas fasilitas umum bukan saja sebuah kemuliaan kemanusiaan, melainkan juga sudah menjadi keniscayaan spiritual. Dan itu perlu dilembagakan. Agar kebajikan bersama bisa direncanakan, diimplementasikan dan akhirnya dinikmati oleh sebanyak-banyaknya anggota masyarakat. Bahkan semuanya. Edukasi sosial adalah salah satu cara pelembagaan nilai. Itu dibutuhkan agar nilai itu bisa bergerak segera menjadi tradisi. Dengan cara itu, kemapanan fasilitas umum segera bisa diikuti dan disempurnakan dengan baiknya perilaku manusia penggunanya. Pada titik inilah, pelembagaan nilai adalah pekerjaan rumah tersisa pasca terciptanya fasilitas bersama. Kemaslahatan bersama hanya lahir sebagai konsekuensi logis dari kerja pelembagaan nilai atas fasilitas umum.