Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Pagi itu, Jumat (09 Agustus 2024), perut terasa lapar sekali. Jam sudah menunjuk ke angka 09:30 WIB. Belum juga sarapan. Apalagi, tepat sejam sebelumnya, ku harus membuka acara Sertifikasi Internasional ICT (information communication technology) bidang keahlian Microsoft Office Specialist (MOS) bagi mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Hasil kerjasama Pusat Sistem Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PUSTIPD) UINSA dan PT Inixindo. Dilaksanakan di GreenSA Inn Hotel and Training Centre. Berlokasi di Jalan Raya Juanda Sidoarjo dan milik kampus sendiri. Perjalanan dari kampus Ahmad Yani ke lokasi acara memakan waktu sekitar 15 menit saja.

Tak kuasa menahan lapar, berangkatlah aku dan teman karibku yang biasa kupanggil Mas Dipo ke kedai nasi pecel. Nama lengkapnya Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo. Biasa akrab dipanggil Pecel Kepleh. Di Surabaya, memang ada sejumlah nasi pecel Ponorogo. Sebut saja Rawon & Pecel Ponorogo Hj. Boeyatin yang sangat legend sekali di Kota Surabaya. Karena sudah beroperasi lintas generasi. Berlokasi di Jalan Ketabang Kali Nomor 51. Tak jauh dari Balai Kota Surabaya. Tapi, Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo sangat khas. Beda dengan nasi Rawon & Pecel Ponorogo Hj. Boeyatin. Tempenya sangat khas. Tak sekadar tempe yang dipotong lalu digoreng. Tapi jenis tempe serta cara memotong dan menggorengnya dengan tepung yang sangat lembut nan lemes.  

Membayangkan kekhasan nasi pecel bersama sensasi rasanya di kedai Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo di atas, nafsu makan sudah tak tertahankan untuk membuncah. Kendaraan pun segera dengan cepatnya diarahkan oleh Mas Dipo ke kedai itu. Agar lapar segera hilang. “Tapi, dimana kedai itu, Pak?” ujar Mas Dipo sambil memegang setir kendaraan. “Di dekat Masjid Nasional Al-Akbar,” jawabku dengan segera. Meluncurlah kami berdua ke kedai itu. Untuk menyantap pecel yang tercirikan. Pecel yang menu tempe gorengnya lemes dan empuk sekali. Teksturnya sangat lentur. Juga lunak dan halus. Hingga mudah dibolak-balik, ditekuk-tekuk atau dipotong-potong. “Nah, itu tuh yang ada spanduk penanda kedai. Bertuliskan ‘Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo’.” Begitu kataku kepada Mas Dipo sambil menunjuk ke arah kedai itu.

Begitu memarkir kendaraan di seberang jalan kedai itu, bergegaslah kami berdua memasuki kedai itu. Dua porsi pun kita pesan untuk kami berdua. “Bu, masing-masing tempe keplehnya dua biji ya,” pesanku kepada ibu pelayan kedai itu. “Nggih Mas. Sedang saya gorengkan. Nunggu bentar ya!” begitu kata ibu pelayan itu. Diambillah sehelai daun pisang. Untuk diletakkan di atas piring yang terbuat dari anyaman penjalin atau rotan. Sebuah layanan jualan nasi yang sudah jarang sekali ditemukan meskipun masih ada. Yakni, nasi yang ditaruh dan disuguhkan di atas daun pisang.

Nah, sambil menunggu pesanan nasi pecel kepleh itu datang, Mas Dipo menyempatkan diri untuk membaca tulisan pada pigura besar di tembok sebelah barat kedai itu. Persis di sebelah dia duduk. Tulisan itu gampang ditemukan karena ditulis dalam ukuran besar. Didesain dengan cakep sekali. Layaknya sebuah pamflet berbingkai yang berisikan gambar dan kutipankalimat mutiara hikmah. Orang Barat modern menyebutnya code of honor.  Begini bunyi kalimat pada pigura besar itu: Sak Kepleh-keplehe Wong Kepleh, Luwih Kepleh Wong Kang Urung Mangan Pecel Kepleh. Terjemahan sederhananya seperti ini: Selemot-lemotnya Orang Lemot, Masih Lebih Lemot Orang yang Belum Makan Pecel Kepleh.    

Seusai membaca dengan cermat kalimat pada pigura besar di atas, Mas Dipo pun ketawa. “Asyek juga pesan keplehnya nih,” ujarnya kontan. Kami berdua pun lalu tertawa bersama. Meskipun bagiku, kalimat itu tak asing lagi. Karena, kedai itu langgananku selama ini. Sering makan di situ bersama sahabat karibku yang lain. Mas Ribut, namanya. Namun, tetap saja, mendengar celotehan Mas Dipo di atas, aku pun tetap tertawa. Bersamanya. Pesan kalimat itu memang menarik. Rhym-nya dapet. Isinya pun menyiratkan makna, seperti bisa dijumpai di uraian bagian bawah. Selanjutnya, kuminta dia berpose di depan pigura besar itu, seperti detailnya berikut ini:

Foto: Gambar Pesan “Mutiara Hikmah” Kedai Nasi Pecel Kepleh

Ada lima kata kepleh yang disebut dalam kalimat “mutiara hikmah” di pigura besar itu. Dan kelima kata kepleh itu diungkapkan dalam tiga gugus makna pesan. Pertama, gugus makna pesan Sak Kepleh-keplehe Wong Kepleh (atau “Selemot-lemotnya Orang Lemot”). Kedua, gugus maknapesan Luwih Kepleh (atau “Masih Lebih Lemot”). Dan ketiga, gugus maknapesan Wong Kang Urung Mangan Pecel Kepleh (atau “Orang yang Belum Makan Pecel Kepleh”). Ketiga gugus makna pesan dimaksud menunjuk kepada makna utama begini: tempe kepleh yang lembut, lunak, lentur, dan halus memang bisa digunakan untuk menandai orang yang lemot dalam kinerja, namun orang yang belum mengkonsumsi pecel kepleh akan lebih lemot dibanding orang lemot yang demikian itu. 

Kata kepleh memang asalnya berarti lembut, lunak, lentur, dan halus. Tapi, dalam penggunaannya, kata itu sering juga digunakan untuk menunjuk kepada lambannya karakter diri seseorang. Orang yang dicirikan dengan kata ini berarti dia tidak cekatan. Tak ada pergerakan sat set wat wet. Kerjanya lamban. Tidak tangkas karena tak ada kecepatan dalam bergerak. Lembam dan tak kuasa berjalan cepat. Semua makna yang demikian ini bisa dilukiskan dengan kata kepleh dalam Bahasa Jawa, seperti yang digunakan sebagai penciri atas tempe pada masakan pecel Ponorogo di atas. 

Dari sisi gaya susunan kalimat, ada kemiripan antara kalimat “mutiara hikmah” di atas dan susunan kalimat yang disampaikan oleh Mbah Sunan Ampel. Salah satu di antara ajarannya berbunyi begini (lihat Sjamsudduha, Sejarah Sunan Ampel: Guru Para Wali di Jawa dan Perintis Pembangunan Kota Surabaya [Surabaya: Jawa Pos Press, 2004:202]): “Ilmu ingkang sidiq-sidiq ru’yah kang karu’yatan.” Artinya: “Ilmu yang sesungguhnya itu tidak hanya diucapkan tapi juga diterapkan.” Panjang susunan kalimat antara keduanya memang tak sama. Tapi bagaimana substansi disusun ke dalam rumusan kalimat, antara kalimat “mutiara hikmah” di pigura besar pecel kepleh dan rumusan ajaran Mbah Sunan Ampel memiliki kemiripan. Dan itu yang kuanggap menarik untuk menjadi catatan.

Di rumusan ajaran Mbah Sunan Ampel, ada dua kata serupa yang diulang meskipun dalam bentukan kata yang berbeda. Yakni, kata “ru’yah” (diucapkan) dan “karu’yatan” (diterapkan). Pengulangan itu dilakukan untuk menanamkan pesan pentingnya substansi keduanya untuk diberikan perhatian. Yakni, diucapkan-diterapkan. Dan, gaya susunan kalimat pada kutipan “mutiara hikmah” di tembok pecel kepleh Ponorogo di atas cenderung mirip dengan gaya rumusan kalimat ujaran Mbah Sunan Ampel tersebut. Ada pengulangan kata yang dilakukan untuk sebuah makna utama yang ingin ditekankan. Kalau pada kasus kalimat “mutiara hikmah” di kedai pecel kepleh penekannya kepada karakter kepleh atau lemot, pada kalimat ajaran Mbah Sunan Ampel penekanannya pada satunya kata dan perbuatan. 

Foto: Sampul Depan Buku Sejarah Sunan Ampel

Analisis kemiripan susunan kalimat di atas sudah bisa menjelaskan salah satu kehebatan kedai Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo di atas. Khususnya dalam merumuskan semangat utamanya ke dalam kalimat “mutiara hikmah”. Lebih dari itu, kedai itu telah memberikan pelajaran menarik bahwa visi itu harus terselaraskan. Dan pekerjaan penyelarasan itu tugas sentral kepemimpinan. Dalam bahasa modernnya, aligning the vision. Menyelaraskan visi. Menyetalakan visi. Itulah sejatinya substansi kepemimpinan. Dan karena itulah, upaya pengembangan kepemimpinan (leadership development), meminjam ungkapan Keow Ngang Tang (Leadership and Change Management, Singapura: Springer, 2019:31) harus selaras (align) dengan strategi bisnis.

Penyelarasan antara visi kepemimpinan dan strategi bisnis harus menjadi perhatian pimpinan institusi apapun. Penyelarasan itu harus menjadi strategi jitu pengembangan kepemimpinan. Mengapa begitu? Dalam penjelasan yang lebih rinci atas argumentasinya mengenai penyelarasan visi kepemimpinan dan strategi bisnis di atas, Keow Ngang Tang dalam karyanya berjudul Leadership and Change Management (2019:32) seperti disinggung sebelumnya lebih jauh menjelaskan begini: “leaders need to understand that strategy as a critical first step in aligning the leadership development efforts to the business strategy.” Terjemahannya begini: para pemimpin perlu memahami strategi tersebut sebagai langkah awal yang penting dalam menyelaraskan upaya pengembangan kepemimpinan dengan strategi bisnis.

Foto: Sampul Depan Buku Leadership and Change Management

Kedai Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo, meminjam perspektif Keow Ngang Tang di atas, telah melakukan proses penyelarasan (aligning) pengembangan kepemimpinan bisnisnya. Kedai itu telah melakukan penyelarasan visi ke dalam strategi bisnis yang dijalankan. Kata dan substansi kepleh yang menjadi visi bisnis telah diselaraskan hingga menjadi strategi bisnis yang membuatnya identik dengan citra diri kedai tersebut. Jangan dibayangkan bahwa kedai Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo bertempat di gedung bertingkat. Luasannya terjamin. Bukan. Sekali lagi bukan. Tapi, ukuran yang tak terlalu luas dengan bangunan yang tak megah telah mengantarkan kedai tersebut hadir dengan pelajaran penting soal visi yang terselaraskan hingga menjadi strategi bisnis.

Pertanyaan detailnya, bagaimana kedai Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo di atas melakukan penyelarasan visi itu? Kedai nasi pecel kepleh di atas memberikan tiga pelajaran penting atas visi yang terselaraskan itu. Pertama, visi itu harus diturunkan mulai dari nama diri hingga produk layanan. Lihatlah bagaimana kedai nasi pecel itu memilih diksi untuk menjadi kata kunci atas visi bisnisnya. Kepleh adalah kata kunci yang mendasari visi utama yang menjadi penciri khasnya. Lalu, lihat pula bagaimana kata kepleh yang awalnya menempel pada komoditas tempe yang menjadi menu utama dari dagangan nasi pecel itu diinput dan dikonversi menjadi identitas barang dagangan. Di situ, kata kepleh dijadikan sebagai brand nasi pecel.

Lebih dari itu, diksi kepleh itu lalu digunakan sebagai nama diri kedai. Dengan begitu, publik dengan mudah mengingat kedai itu dengan nama kepleh yang ada pada nama kedai pecel yang ada pada dirinya. Apa akibatnya? identifikasinya pun mudah. Tak perlu sulit-sulit. Tak butuh muter-muter. Begitu menyebut kata kepleh, orang langsung ingat pada kedai pecel itu. Dan sebaiknya, begitu menyebut kedai pecel itu, langsung juga ingat tempe kepleh yang menjadi penciri khas komoditas yang dijualnya. Makanya, saat tempe kepleh masih dalam proses penggorengan setelah habis terjual ke konsumen yang datang sebelumnya, orang rela menunggu selesainya tempe kepleh itu digoreng. Itu karena kedai pecel itu sudah identik dengan tempe kepleh.    

Penyelarasan dimulai dari penurunan substansi visi kepada semua bagian dari proses layanan. Belajar dari kedai nasi pecel di atas, begitu tersebut kata kepleh, yang terbayang adalah kedai pecel itu. Bukan hanya namanya yang khas. Tapi subtansi kepleh yang ada pada visi itu turun kepada semacam kalimat “mutiara hikmah”. Tak berhenti di situ, orang pun bisa membuktikan substansi kepleh itu pada masakan pecel yang dihidangkan kepada konsumen. Ya, nasi pecel dengan tempe yang lembut, lunak, lentur, dan halus.

Kedua, visi itu diinstrumentasikan. Ini penting untuk menjamin percepatan penyelarasan. Melalui apa? Melalui medium yang memudahkan ingatan untuk memahami, menangkap dan menyimpannya dalam memori jangka panjang. Lihatlah bagaimana kedai nasi pecel di atas menerjemahkan visi kepleh ke dalam petikan dalam spanduk dan kalimat dalam pigura besar. Spanduk “Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo” yang dipasang di bagian depan kedai serta pigura besar “Sak Kepleh-keplehe Wong Kepleh, Luwih Kepleh Wong Kang Urung Mangan Pecel Kepleh” yang dipasang di tembok bagian barat kedai adalah medium instrumentasi untuk mengingatkan setiap orang yang lewat pada visi dan identitas kedai pecel itu.

Melalui instrumentasi visi dalam bentuk petikan pada spanduk dan kalimat pada pigura besar di atas, publik segera dengan mudahnya untuk bisa mendapati nilai distingsi dari kedai pecel itu. Pedagang pecel banyak jumlahnya. Pecelnya pun juga banyak ragamnya. Rasanya juga banyak variannya. Tapi, di tengah keragaman penjual hingga rasa itu, pecel yang distingtif akan selalu diingat oleh konsumen.  Apalagi, jika nilai distingtif itu bukan hanya ada di nama, melainkan juga meluas hingga ke barang dan rasanya. Maka, sudah barang tentu, publik akan menjadikan visi kepleh itu sebagai pengingat akan produk nasi pecel yang menjadi barang komoditas dan rasa dari produk layanan penjualan nasi pecel tersebut.

Ketiga, visi itu diterjemahkan ke dalam praktik nyata. Visi memang sudah harus terukur dengan sendirinya. Namun, aksi nyata untuk menerjemahkannya tetap menjadi keharusan. Karena, keterukuran itu harus dipraktikkan. Klausul ini juga merupakan langkah konkret lanjutan untuk percepatan penyelarasan visi. Sebab, punya visi keren itu penting. Memiliki visi yang cerah itu juga bagus. Tapi semua itu tak cukup sampai di situ saja. Tak memadai hanya berhenti di situ saja. Visi yang baik, keren, dan cerah itu harus diterjemahkan lebih lanjut ke dalam praktik konkret layanan yang diselenggarakan. Aktivitas yang dijalankan harus merujuk dan sekaligus berkontribusi pada penerjemahan konkret atas visi itu.

Mengapa aksi penerjemahan dalam praktik konkret menjadi penting? Karena visi itu harus bisa dilaksanakan (workable). Keterukuran (measurability) berarti keterlaksanaan (workability). Karena itu, bagian sentral dari penyelarasan visi adalah dipraktikkannya nilai yang dikandung oleh visi tersebut ke dalam aksi nyata dengan baik. Lihatlah bagaimana visi kepleh yang dikembangkan oleh kedai Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo di atas diterjemahkan langsung ke aksi konkret dalam bentuk layanan komoditas nasi pecel dengan menu tempe yang lembut, lunak, lentur, dan halus. Tempe dengan tekstur yang cenderung lembut, lunak, lentur, dan halus dimaksud adalah terjemahan konkret dari nilai kepleh yang menjadi muatan utama dari visi.