Column UINSA

Parent Room

(Kampus Sebagai Rumah Kedua – Seri 3)

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Ada yang baru dalam temuanku selama kunjungan akademik ke Australia (28 Oktober-3 November 2023). Parent room. “Kamar Orang Tua”. Kamar untuk keayahbundaan. Kutemukan fasilitasi layanan ini di empat kampus secara sama. Yakni, di University of Canberra (UC), The Australian National University (ANU), Queensland University of Technology (QUT), dan di The University of Queensland (UQ). Dua kampus yang disebut pertama berlokasi di Australian Capital Territory (ACT), ibukota Australia. Dan dua kampus yang disebut terakhir berada di Brisbane, ibukota negara bagian Queensland di Australia.

Seingatku, rasanya tak kutemukan nama parent room itu selama limabelas hingga duapuluh satu tahun sebelumnya. Ya, saat kala itu aku menjadi mahasiswa pascasarjana. Mulai S2 hingga S3 di Australia. Tapi, kini kutemukan parent room itu di keempat kampus ternama di atas. Kuyakin fasilitasi layanan ruangan itu ada secara nasional. Tersedia merata. Di semua kampus. Karena nama yang digunakan sama. Tangkapanku sederhana: Ada kecenderungan yang serupa di berbagai kampus itu tentang penyediaan fasilitas parent room dimaksud.

Atas alasan itu, akupun tergelitik untuk ingin tahu lebih jauh. Lebih dalam. Karena selama ini, sekali lagi seingatku, yang ada adalah ruang laktasi. Lactation room. Ruang ibu menyusui. Sebuah kamar privat di ruang publik, mulai dari tempat kerja hingga pusat perbelanjaan. Disediakan untuk memfasilitasi ibu-ibu yang sedang dalam masa menyusui (breastfeeding mothers) anak bayinya, dan pada saat yang sama harus mengikuti atau menjalani karir pribadi dan atau tugas sosialnya. Isinya hanya kulkas, sink, meja, dan kursi santai. Berkembang awal di Amerika, ruang laktasi kemudian menjadi kebutuhan global. Termasuk di Australia. Kepentingannya untuk memfasilitasi para perempuan yang kembali ke ruang publik pasca melahirkan.

Foto Lactation Room

(Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/File:Lactation_Room,_Department_of_Labor,_2016.jpg)

Berbeda dengan penulisan lactation room yang sama di semua ruang publik, istilah parent room ditulis dengan sedikit berbeda di sejumlah kasus ruangan. Tentu dalam kasus kampus-kampus di Australia. Ada tulisan lain yang digunakan untuk menunjuk ke kata yang sama. Dengan ejaan sedikit berbeda. Yakni parents’ room. Dengan “s” dan tanda apostrofi pada akhir kata parent. Bahkan, di kampus ANU sendiri, penyebutan dan atau penggunaan dua cara penulisan ejaan kata itu dipakai di fasilitas khusus dimaksud pada gedung yang berbeda (lihat “New Parents’ room an oasis for Mums and Dads,” URL: https://physics.anu.edu.au/news_events/?NewsID=272). Tapi, apapun perbedaan itu, substansinya sama: kamar keayahbundaan. Kamar untuk parenting. Kamar untuk menjalankan tugas dan fungsi orang tua kepada anak bayinya.

Parent room kini menjadi bagian dari fasilitas publik di kampus-kampus di Australia. Kamar itu berarti bahwa pengambil manfaatnya bukan sekadar ibu. Tapi juga ayah. Beda dengan ruang laktasi. Ruang yang disebut terakhir itu hanya untuk ibu saja. Bisa dimanfaatkan oleh seorang ibu untuk kepentingan menyusui anak bayinya. Atau maksimal, melakukan pemompaan (pumping) asi dari payudaranya. Bagaimana dengan bapak? Tidak terakomodasi oleh ruangan itu. Karena tentu seorang bapak tidak menyusui anak, bukan? Maka, ruang laktasi tampak disediakan secara eksklusif untuk melayani kebutuhan dan kewajiban perempuan yang sedang berperan sebagai ibu dari anaknya.

Sebelumnya dikenal juga istilah change room. Ruang ganti. Biasanya dikerangkai dalam konsep besar yang bernama family support services. Layanan dukungan keluarga. Sesuai namanya, change room digunakan untuk kebutuhan mengganti popok bayi. Itu fasilitas yang diasediakan untuk mendukung dan memenuhi kebutuhan orang tua terhadap anak bayinya. Siapapun orang tua tak bisa memastikan kapan bayi buang air. Kecil atau besar. Tapi, mereka pasti mendapatkan pengetahuan yang baik tentang layanan parenting. Di antaranya bahwa popok harus diganti setiap dua jam sekali. Itu untuk menjaga agar pantat dan selangkangan bayi tidak mengalami iritasi. Sebab, kulit bayi masih sangat lembut. Sangat sensitif. Terutama saat kulit di bagian pantat dan selangkangannya dibalut popok dalam waktu lama.

Kini, semua ruangan layanan yang dibutuhkan untuk memfasilitasi tugas keayahbundaan ada di parent room. Fasilitas ini tampak merupakan hasil pengembangan terkini atas fasilitasi perawatan bayi yang selama ini disediakan dengan berbagai variannya di ruang publik. Tengoklah fasilitas yang ada di parent room di dalam kampus. Seperti sebagian terlihat di gambar di bagian bawah ini, parent room berisi sejumlah perangkat yang dibutuhkan orang tua untuk merawat anak. Lebih lengkap dari ruang laktasi. Lebih memadai dari change room. Bahkan, sofa pun tersedia. Termasuk “kursi goyang” tempat orang tua menimang bayi.

Foto Isi Bagian Dalam Parent Room di ANU (Koleksi Ahmad Yusuf, UINSA, 2023)

Secara garis besar, seperti pada gambar di atas, ada lounge atau ruang yang cukup lega untuk perawatan bayi. Seorang ayah atau ibu bisa memanfaatkan ruang yang agak leluasa itu untuk memberi hiburan lewat sekian ragam mainan kepada anak bayi secara lebih leluasa. Terdapat pula meja kopi (coffee table), air panas, microwave, meja ganti (change table), wastafel (sink) dan layar privasi (privacy screen). Dan yang tak ketinggalan, di dalam parent room itu, terdapat sejumlah mainan dan buku untuk membantu orang tua menghibur atau memberi hiburan kepada bayi-bayi mereka. Bahkan di sejumlah kampus, disediakan pula stok bahan habis pakai. Sebut saja popok, bantalan payudara (breast pads), dan krim untuk kulit.

Jika tersedia dengan keluasan ruangan yang cukup leluasa seperti dijelaskan sebelumnya, parent room biasanya bisa diisi lebih dari satu orang ibu atau bapak. Gambar di bawah sangat ilustratif. Dan untuk menjaga privasi perempuan secara khusus, parent room yang memungkinkan tiga orang untuk memberi makan, menyuapi, atau menyusui anaknya itu menyediakan cubicles (bilik dengan tirai). Saat harus menyusui, bayi bisa dibawa untuk masuk ke cubicles sebagai bilik khusus yang bisa ditutup dengan tirai. Di situ, sang ibu bisa menyusui anak bayinya. Di ruangan yang memungkinkan privasinya terjaga.

Foto Parent Room  di Research School of Physics, ANU

(Sumber: https://physics.anu.edu.au/news_events/?NewsID=272)

Untuk kepentingan teknis pengaturan penggunaan parent room, ada panduan praktis untuk pengguna. Seperti terlihat pada gambar salah satu ruang parent room di QUT di bagian bawah, ada petunjuk penggunaan yang gampang dibaca dan dipahami. Begini bunyinya: Caution: Room may be in use. Please be discreet when entering. Please close the door promptly (to avoid activating the alarm). Artinya begini: “Perhatian: Ruangan mungkin sedang digunakan. Harap berhati-hati saat masuk. Harap segera tutup pintunya (untuk menghindari pengaktifan alarm)”. Dengan petunjuk teknis ini, siapapun pengguna akan segera tahu bagaimana cara memanfaatkan parent room. Termasuk bagaimana cara menjaga keamanan dan kenyamanan diri.

Foto Salah Satu Parent Room  di QUT

Kalimat Please be discreet when entering penting dijelaskan lebih jauh. Kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesia memang secara praktikal berarti “Harap berhati-hati saat masuk”. Intinya, saat membuka pintu jangan sampai pintu mengenai orang lain yang telah ada di dalamnya. Tapi, jika dirujuk lebih jauh ke dalam penjelasan dalam bahasa aslinya, kalimat tersebut memiliki makna lebih dalam. Kalimat Please be discreet when entering memiliki arti begini: Don’t let anyone know. Jangan sampai orang lain tahu. Tentu yang potensial berbuat jahat dan atau senonoh. Jangan sampai ada satupun orang selainmu dalam kategori itu tahu. Bahwa kamu masuk ke parent room itu. Artinya, tetap saja, harus hati-hati terhadap selain pasangan.

Apa artinya? Privasi tetap dijaga. Privasi perempuan tetap dilindungi. Privasi keluarga tetap dihormati. Privasi suami-isteri tetap dijunjung tinggi. Jangan sampai karena ada fasilitas parent room itu, lalu privasi keluarga jadi hilang. Privasi perempuan jadi terlecehkan. Privasi suami-isteri jadi terganggu. Fasilitasi di ruang publik tak boleh kemudian membuat sejumlah privasi rumah tangga atau keluarga itu tergadaikan karenanya. Fasilitasi keayahbundaan di ruang publik itu justeru diciptakan untuk semakin menjunjung tinggi privasi rumah tangga, keluarga, dan lebih-lebih perempuan.

Lalu apa yang bisa dipetik dari temuan soal parent room di sejumlah kampus di Australia di atas? Ada tiga pelajaran penting yang diambil. Pelajaran pertama yang kutangkap adalah ini: bahwa mengurus anak menjadi kewajiban yang sama antara suami dan isteri. Dan prinsip ini sudah diwujudkan ke dalam fasilitasi publik. Bukan sekadar prinsip yang berlaku secara privat. Sebab, tentu saja parent room itu tidak dibutuhkan di rumah. Karena ruang untuk bapak dan ibu dalam membesarkan anak-anaknya mewujud dalam bentuk rumah itu sendiri. Parent room justeru disediakan di fasilitas publik. Karena itu, parent room menunjuk ke arti fasilitasi atas penunaian kewajiban secara sama antara ayah dan ibu dalam merawat dan membesarkan anak di ruang publik.

Penunaian tugas dan tanggung jawab secara sama antara ayah dan ibu dalam merawat dan membesarkan anak di atas tidak hanya berhenti saat mereka atau satu dari mereka berada di ruang privat saja. Seperti di dalam rumah. Tentu tidak. Saat mereka atau satu dari mereka harus berada dan atau keluar ke ruang publik, tugas dan tanggung jawab merawat dan membesarkan anak tetap melekat. Karena itu, parent room disediakan di kampus sebagai ruang khusus untuk menunaikan tugas dan kewajiban orang tua dalam merawat anak usia bayi. Mulai dari menyusui anak hingga mengganti popok. Tentu semua itu harus dilakukan di tengah kesibukan kerja di kampus. Kamar itu disediakan sebagai fasilitas umum di ruang publik. Kampus termasuk di dalamnya. Semua kampus yang kukunjungi menyediakan fasilitas ini.

Memang tidak semua penunaian tugas perawatan anak bayi hanya secara eksklusif ditunaikan oleh ibu. Ada sejumlah lainnya yang bisa dilakukan secara berbagi secara sama antara ayah dan ibu. Menyusui memang tugas mulia namun spesifik oleh ibu. Hanya ibu yang bisa melakukan. Tapi, lainnya, semua sejatinya harus bisa dibagi habis secara setara kepada ayah dan ibu. Menimang. Menidurkan. Berkomunikasi. Membelai. Dan bahkan mengganti popok pun adalah pekerjaan yang menjadi tugas yang bisa dibagi secara sama antara ayah dan ibu. Tidak ada yang spesifik dan berlaku hanya untuk ibu saja kecuali yang sudah menjadi adi kodrati. Seperti mengandung dan menyusui anak. Tidak ada yang eksklusif selain yang berasal dari kodrat fisikal itu. Akibat anugerah anggota tubuh yang hanya dianugerahkan kepada perempuan.

Pesan kedua dari fasilitas parent room adalah afirmasi positif kepada perempuan oleh kampus sebagai pengambil kebijakan pendidikan tinggi. Bentuknya adalah pembukaan peluang bagi perempuan untuk kembali ke dunia pendidikan. Kembali ke bangku kuliah. Kembali melanjutkan pendidikan. Menikah, hamil, lalu menyusui adalah kodrat perempuan. Tak bisa digantikan oleh laki-laki. Tapi menempuh kuliah adalah pilihan yang bisa diusahakan. Dan, kampus memfasilitasi semua itu. Pilihan ini juga mengirim pesan serta panggilan ke laki-laki untuk mendukung sang isteri untuk mengambilnya. Pilihan itu adalah jalan yang patut mendapatkan dukungan laki-laki.

Dengan simbolisasi parent room sebagai rumah kedua, ada ruang bagi perempuan untuk kembali menempuh pendidikan kesarjanaan dan atau pascasarjana. Melaksanakan tugas kodrati untuk hamil, melahirkan, dan menyususi anak  adalah sebuah tugas kemanusiaan. Tapi semua itu tak harus menutup ruang sama sekali kepada mereka untuk kembali ke dunia pendidikan. Kesibukan dalam tugas domestik rumah tangga sebagai ibu dari anak-anaknya dan isteri dari suaminya tak menghilangkan peluang untuk kembali ke bangku kuliah. Karena itu, dengan dilakukannya pengarusutamaan parent room, sinyal kuat tekah ditekan bahwa perempuan didorong untuk kembali ke bangku kuliah. dan suami harus mendukung isteirnya untuk kepentingan itu.

Tengoklah kampus-kampus maju di sejumlah negara. Mereka sudah cukup lama menyediakan paket beasiswa khusus untuk perempuan yang telah menunaikan tugas sebagai ibu rumah tangga untuk kembali ke bangku kuliah. Mereka diberi jalur khusus untuk kembali ke bangku kuliah itu dengan skema beasiswa. Paket beasiswa itu berdiksi khusus, returning students. Khusus disediakan bagi ibu-ibu untuk kembali kuliah. Nama riilnya macam-macam. Ada scholarships for women returning to college. Ada lagi scholarships and grants for women returning to school, dan ada pula scholarships for women returning to schooling. Juga ada nama lainnya seperti back to school women scholarships, dan grants for returning students.

Apapun perbedaan dalam nama itu, substansinya satu: itu adalah beasiswa afirmasi bagi perempuan yang kembali ke jalur pendidikan seusai melaksanakan tugas kodrati sebagai ibu. Dengan semangat afirmasi ini, pemerintah dan atau penyelenggara pendidikan tinggi menyediakan paket beasiswa untuk para perempuan agar bisa kembali menempuh pendidikan setelah menjalani masa menjadi ibu, mulai hamil hingga menyusui bayinya. Nah, parent room secara sengaja diciptakan sebagai fasilitasi agar laki-laki juga memberikan dukungan kepada isterinya untuk kembali ke bangku kuliah. Para lelaki tidak perlu khawatir dengan perawatan bayi yang dimiliki, karena mereka difasilitasi dengan ruangan khusus untuk melaksanakan tugas parenting kepada anak bayinya.

Pesan ketiga yang bisa ditangkap dari keberadaan parent room adalah bahwa seiring dengan semakin tingginya perempuan mengakses layanan pendidikan tinggi, maka kampus pun harus memperkuat fasilitasi layanan pasangan produktif, khususnya bagi perempuan, yang sedang memiliki anak bayi. Ketika kesadaran kesetaraan dalam kepengasuhan anak bayi meningkat antara laki-laki dan perempuan yang terikat dalam perkawinan, fasilitasi atas peningkatan kesadaran itu juga harus kuat. Ketika kesadaran mengenai semakin terbukanya akses kepada layanan pendidikan makin tinggi, maka fasilitasi atas kebutuhan perempuan dalam membesarkan anak, khususnya dalam jenjang usia balita, juga harus disiapkan.

Meningkatnya kesadaran kepengasuhan anak secara setara antara laki-laki dan perempuan harus dibayar lunas oleh penyelenggara kampus dengan kebijakan yang afirmatif kepada mereka, utamanya perempuan. Pula, menguatnya kesadaran atas pentingnya pendidikan di kalangan perempuan harus disambut positif oleh penyelenggara layanan pendidikan tinggi. Caranya, dengan fasilitasi yang memadai atas kebutuhan orang tua, khususnya perempuan, dalam memenuhi kebutuhan kepengasuhan dimaksud.

Di sinilah kampus di Indonesia semakin perlu untuk memperkuat layanan keayahbundaan dan atau kepengasuhan anak, baik oleh laki-laki dan perempuan. Kebutuhan pasangan orang tua untuk membesarkan dan merawat anak secara setara dalam berbagi tugas kepengasuhan harus disambut dengan kebijakan kampus yang pro pada kebutuhan keayahbundaan. Itu utamanya agar kondisi kampus sebagai rumah kedua bisa direngkuh pula oleh ibu-ibu yang kembali ke bangku kuliah lagi. Parent room yang ada di kampus-kampus di Australia layak menjadi contoh yang baik untuk ditiru.