Istilah nol-nol sering kita dengar pada hari Raya Idul Fitri, khususnya di kalangan anak muda atau pada orang yang mempunyai hubungan perkawanan yang erat. Saya juga kerap mengucapkan Nol-nol kepada kawan-kawan saya. Maksud saya sih jelas, saya minta maaf, sehingga dosa saya akibat kesalahan saya kepada kawan saya itu sudah tidak ada (nol), dan sebaliknya dosa kawan saya kepada saya juga maafkan, sehingga habis dan tidak ada (nol) Istilah ini, dalam kaitan kegiatan yang agak formal dan melibatkan banyak orang disebut dengan istilah Halal bi halal. Kata Halal bi halal, yang meskipun diambil dari kosa kata Arab, sama sekali tidak dikenal oleh orang Arab, karena yang dimaksud darinya adalah menghalalkan semua prilaku orang lain yang telah lalu sehingga tidak mempunyai efek dosa, dan sebaliknya semua prilaku orang lain itu dihalalkan sehingga tidak mempunyai dosa di diri kita. Ini artinya, dosa orang-orang yang ber-halal-bil halal tersebut telah menjadi nol.
Merujuk kepada kamus Bahas Arab, kata halal dapat diartikan kedalam tiga arti, yaitu benang kusut terurai kembali; air keruh diendapkan; serta halal sesuatu. Kesimpulan dari ketiga makna itu, arti halal bi halal adalah kekusutan, kekeruhan, atau kesalahan yang ada dihalalkan. Maksudnya, semua kesalahan melebur, hilang, dan kembali seperti sedia kala, alias nol-nol. Sedangkan KBBI, mengartikan halal bi halal dengan hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Halal bi halal juga diartikan sebagai bentuk silaturahmi. Silaturrahmi dengan saling maaf memafkan sehingga menjadikan dosa-dosa lebur dan hilang. Ini juga berarti nol-nol.
Berkenaan dengan asal mula halal bi halal, maka minimal ada dua pendapat; pertama, bahwa istilah ini sudah ada dalam Kamus Jawa-Belanda karangan Dr. Th. Pigeaud 1938. Halal bi halal diambil dari kata alal behalal dan halal behalal. Alal behalal berarti dengan salam, maksudnya datang dan pergi, untuk memohon maaf atas kesalahan kepada orang lainnya setelah puasa. Sedangkan halal behalal diartikan dengan salam, yaitu datang dan pergi untuk saling memaafkan di waktu Lebaran. Dalam kontek ini, disebutkan bahwa istilah halal bi halal bermula dari seorang pedagang martabak di di Taman Sriwedari Solo pada sekitar tahun 1935-1936. Karena martabak adalah makanan baru, maka pemilik martabak bersama pembantunya yang Pribumi mempromosikan martabaknya dengan kata-kata Martabak Malabar, halal bi halal, halal bi halal. Maka sejak saat itu, istilah halal bi halal menjadi populer di Solo. Istilah ini selanjutnya dipakai masyarakat untuk pergi ke Taman Sriwedari Solo setelah Idul Fitri atau silaturrahmi di hari Idul Fitiri.
Kedua istilah Halal bi halal, konon, digagas oleh KH Wahab Hasbullah pada tahun 1948, sesaat setelah berbagai macam peristiwa politik terjadi di di Indonesia. Akibat kerasnya revalitas, para tokoh bangsa yang partai politiknya berbeda, maka secara batin merasa saling berjauhan, tidak menyatu, dan bahkan saling bermusuhan, kondisi yang dapat membahayakan keutuhan bangsa dan Negara. Melihat kondisi hal ini, atas saran KH Wahab Hasbullah, Presiden Soekarno membuat pertemuan dengan mengundang semua tokoh politik dengan tajuk silaturrahmi untuk saling memaafkan. Kegiatan semacam ini diistilahkan oleh Kiai Wahab dengan Halal bi halal. Pertemuan ini ternyata dapat menyatukan lagi para tokoh politik dan bangsa untuk duduk satu meja dan bermusyawarah untuk kemajuan bangsa dan Negara. Maka sejak saat itu, acara halal bi halal selalu diadakan di berbagai instansi pemerintah, selanjutnya kegiatan halal bi halal semakin memasyarakat.
Acara saling memaafkan saat Idul Fitri dengan cara berkunjung kepada tetangga, kerabat, dan sanak saudara adalah khas dan penting bagi masyarakat Indonesia. Khas karena kegiatan ini (hanya) ada di Indonesia, dan penting karena untuk acara ini, jutaan kaum muslimin rela berpayah-payah menempuh perjalanan yang sangat jauh, pulang ke desa, untuk melaksanakan lebaran Idul Fitri bersama keluaraga, sebab tanpa itu, maka perayaan Idul Fitri akan terasa hambar. Pengalaman penulis, sebelum tiket kereta api dipesan secara online, untuk pulang ke Jatim dari Jakarta, kita harus antri di stasiun kereta api Senen atau Gambir sejak pukul 22:00 malam untuk membeli tiket pada pukul 09:00 pagi. Begitu pentingnya acara ini, sehingga apapun dilakukan (termauk menginap di stasiun) untuk dapat melaksanakan Idul fitri bersama di desa.
Orang dapat menyebut kegiatan bermaafan dalam Idul Fitri semacam ini dengan berbagai macam istilah; di Ponorogo dan sekitar dikenal dengan istilah sejarah. Sedang orang Jombang dan sekitar menyebut dengan istilah riyayan, dan di Madura dikenal istilah tellasan, dan tentu masih banyak istilah lain yang merujuk ke dalam arti yang sama. Istilah yang lebih umum adalah lebaran. Semua dimaksud dengan datang kepada tetangga, sanak family, dan kerabat untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah lalu. Tidak ada aturan baku bagaimana mekanisme sejarah, riyayan atau tellasan dilakukan, yang paling jelas adalah bahwa yang lebih muda datang kepada orang yang lebih tua. Dalam kaitan ini, orang tua dapat berarti orang yang mempunyai umur panjang atau orang yang dituakan, semisal kiai, sungguhpun secara umur masih muda. Orang tua atau yang dituakan tersebut, pada awal-awal Idul Fitri, wajib untuk selalu berada di rumah, karena biasanya akan sangat banyak yang hadir untuk meminta maaf. Dalam momen tersebut, orang tua atau yang dituakan tersebut juga meminta maaf, sehingga terjadi suasana yang harmonis saling bermaafan. Suasana ini semakin gayeng dengan banyaknya suguhan kue-kue, bahkan kadang juga makan.
Di momen Idul Fitri semacam ini, samping dikenal istilah riyayan, sejarah, tellasan, atau lebaran, juga dikenal istilah sungkeman. Istilah ini biasanya digunakan untuk kehadiran orang yang mempunyai status lebih rendah kepada orang yang mempunyai status lebih tinggi sebagai penghormatan atau bentuk permintaan maaf. Semisal anak sungkem kepada ayah dan ibunya, atau kepada kakek neneknya. Istilah sungkeman diambil dari dari bahasa Jawa yang berarti sujud atau tanda bakti, dapat juga dianggap sebagai wujud ucapan rasa terima kasih. Sungkeman mempunyai aturan yang jelas, yaitu duduk bersimpuh mencium lutut atau tangan orang yang disungkumi. Gestur tubuh merendah kepada orang yang lebih tua mempunyai makna positif, yaitu bentuk penghormatan serta sarana melatih kerendahan hati, sopan santun, sekaligus menghilangkan sifat egois. Sungkeman adalah upaya menjadikan diri saling “nol-nol” dengan aturan yang sedikit berbeda dengan riyayan atau sejarah tadi. Ia terasa lebih formal dan lebih sakral.
Konon tradisi sungkeman sudah ada sejak tahun 1930-an, saat masa pemerintahan Mangkunegara I di Surakarta. Pada momen Idul Fitri, Mangkunegara I mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara bersamaan di balai Istana dengan tujuan saling memaafkan. Para prajurit dan punggawa bergantian bersimpuh kepada raja dan permaisuri, untuk meminta maaf dan terimakasih. Dalam momen tersebut, sang raja dan permaisuri juga demikian, meminta maaf. Cara ini tidak membuat haibah raja dan permaisuri jatuh, karena posisi raja dan permaisuri dududk di kursi sedang para punggawa bersimpuh di bawah. Selanjutnya, tradisi ini, menurut beberapa orang, ditiru dan dilestarikan oleh kaum Muslimin, khususnya masa idul Fitri. Namun, Dr. Umar Khayam, budayawan Universitas Gadjah Mada, tidak setuju dengan pendapat ini, karena tidak ada sejarah pasti kapan tradisi sungkeman dimulai. Menurutnya, tradisi sungkeman adalah bentuk aktualisasi budaya Jawa dengan Islam sejak zaman dahulu. Kalau ini benar, maka sungkeman sudah ada sejak berabad-abad yang lalu saat agama Islam masuk dan berdialog dengan budaya Jawa di Nusantara ini.
Riyayan, sejarah, atau sungkeman pada dasarnya adalah penyempurnaan dari kegiatan ibadah puasa di bulan Ramadlan, yang apabila dilakukan dengan baik (imanan wa ihtisaban), akan mendapat pahala ghufira lahu ma taqaddama min dzambihi. Para ulama sepakat, bahwa dosa yang dimaafkan oleh Allah adalah dosa-dosa kecil dan dosa langsung kepada Allah. Untuk dosa besar masih perlu amalan lain, yaitu taubatan nashuha. Sedang dosa kepada sesama, belum akan dimaafkan oleh Allah sebelum orang tersebut memaafkan. Maka, agar supaya dosa kepada sesama habis, alias nol, diperlukan riyayan, sejarah, bahkan sungkeman. Akhirnya, berkenaan dengan momen Idul Fitri ini, setuju ya kalau kita NOL-NOL?.
__________________________
Dr. Imam Ibnu Hajar, M.Ag.
Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam, FAHUM UIN Sunan Ampel Surabaya