Column

Oleh: Syarif Thayib, Dosen Sociopreneurship UINSA

Tidak boleh ada kursi kosong. Itulah kurang lebih terjemahan bebas separuh judul di atas. Kursi yang dimaksud adalah kursi yang ada di meja makan, saat makan bersama keluarga. Kosong artinya tidak ada orangnya. Entah karena sedang lembur kerja, tidur, bermain, dan lain-lain.

Itulah nasihat H. Mas’ud (Allah yarham) Kepala SD/MI Darul Hikam Cirebon, tempat “ngaji” penulis 40 tahun silam. Saat itu, masih dimungkinkan satu sekolah mengeluarkan dua ijazah sekaligus. Sebagaimana penulis, yang memiliki ijazah SD (Sekolah Dasar), juga MI (Madrasah Ibtidaiyah).

Pak Mas’ud, demikian panggilan akrabnya, memiliki 5 orang putra-putri yang semuanya sukses. Ada yang jadi Dokter, Insinyur/ Arsitek, Perwira ABRI (sekarang TNI-POLRI), Pengusaha, dan Dosen IAIN Sunan Gunung Djati Fakultas Tarbiyah cabang Cirebon (sekarang UIN Siber Syekh Nurjati).

Beberapa hari menjelang purna tugas, pak Mas’ud mengajak kelima putra-putrinya hadir pada acara perpisahan SD/MI Darul Hikam. Suasananya begitu haru. Itulah sambutan terakhir beliau sebagai Kepala Sekolah.

Penulis ingat betul inti sambutan pak Mas’ud tentang kunci suksesnya mendidik anak, hingga semuanya memiliki jabatan atau profesi terhormat, plus kaya raya.

Di hadapan ratusan wali murid dan undangan yang hadir, beliau memberi nasihat agar setiap keluarga muslim istiqamah makan bersama satu keluarga (penghuni rumah) lengkap di meja makan. Kalau tidak bisa tiga kali sehari, minimal sekali sehari, pas jam makan malam atau saat sarapan.

Dalam meja makan itu, usahakan semuanya fokus menikmati hidangan dan saling mengapresiasi satu sama lain. Suami mengapresiasi istri tentang masakannya dan lain-lain. Orang tua mengapresiasi anak, atau sebaliknya dan seterusnya.

Forum itu tidak dipakai untuk menasihati tanpa diminta, atau berebut menyampaikan unek-unek. Apalagi dimanfaatkan untuk memarahi dan seterusnya, yang bisa merusak suasana kebersamaan.

WUQUF CAMPUS
Dari nasihat pak Mas’ud di atas, kita pasti sepakat bahwa dalam keluarga besar Civitas Akademika, sebaiknya pun demikian. Ada momen kebersamaan yang disitu kumpul semuanya, lebih separuh dari total seluruhnya. Mulai dari dosen, karyawan, maupun mahasiswa.

Masing-masing unsur dosen semua Fakultas pun hadir: “Bapak”, “Ibu”, dan “anak-anak”nya. Pimpinan (top level), middle level, dan terus ke bawahnya. Atau minimal representasi dari mereka (pimpinan) hadir. Ada yang mewakili hadir dalam kebersamaan itu.

Kebersamaan dimaksud, tentu tidak harus pakai acara makan-makan atau duduk di atas kursi panjang. Kebersamaan bisa memanfaatkan waktu tertentu yang dimungkinkan semuanya mudah dan terpanggil untuk kumpul.

Khusus PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) seperti UIN, IAIN, atau lainnya, bisa memanfaatkan momen shalat Dhuhur berjamaah. Sesekali atau di hari tertentu, seminggu sekali, misalnya. Khusus hari itu dibuatkan jadwal “break” kuliahnya serentak disesuaikan dengan Adzan Dhuhur waktu setempat.

Kalaupun terlanjur di setiap Fakultas ada Musholla, maka khusus di hari kebersamaan itu ada himbauan untuk semuanya hadir (kumpul) berjamaah di masjid kampus.

Para dosen, mahasiswa, maupun karyawan baru pasti sungkan kalau semua jajaran di level pimpinan berbondong-bondong berjamaah Dhuhur ke Masjid. Tidak usah risau dengan urusan niat mereka karena Tuhan atau karena atasan, yang penting bisa kumpul dalam satu waktu. Selanjutnya, tawakkal.

Kalau kumpul seminggu sekali terlalu sulit, bisa dicoba sebulan dua kali, atau hanya setiap PHBI (Peringatan Hari Besar Islam). Jadikan forum itu sebagai “Wuquf” (kumpul) seperti dalam rukun Haji. Sehingga belum sah kenggotaan Civitas Akademika kalau tidak pernah “Wuquf Campus”.

Di forum kumpul itu, sekali lagi, hanya ada saling memuji, mengapresiasi apapun capaian dari anggota Civitas Akademika. Tidak perlu ada nasihat kalau tidak mendesak, apalagi me-judge atau menghujat satu terhadap yang lain. Atau bisa juga dibuat sebagai ajang Do’a Bersama, dan seterusnya.

Forum kumpul “No Empty Chair” pada “Wuquf Campus” betul-betul akan mencairkan suasana dan semuanya. Mereka yang hadir merasakan bahagia atas kebersamaan satu keluarga besar, dan bangga menjadi bagian dari Civitas Akademika.

Penulis haqqul yaqin, jika setiap kampus PTKI memiliki momen kebersamaan seperti yang dipraktekkan pak Mas’ud di atas, atau yang penulis sebut dengan Wuquf Campus pada PTKI, akan melahirkan anak-anak (baca; lulusan) yang sesuai dengan harapan output dan outcome PTKI, sebagaimana putra-putrinya pak Mas’ud.

Fakultas kedokterannya melahirkan Dokter-Writer, Dokter-Preneur, dan seterusnya. Dari Fakultas Syariah dan Hukum juga melahirkan para Hakim yang adil, Ekonom Syariah yang mensejahterakan umat, dan seterusnya. Wallahu a’lam bis-Shawab.