NIKMATNYA SHALAT DI SAMPING PENYANTAP KEBAB
TOUR DAKWAH DI LONDON (11)
“Wah, ini shalat “nikmat” sambil mencium bau masakan Pakistan, juga membingungkan hafalan Al Qur’an.”
Oleh: Moh. Ali Aziz
SETELAH kajian Ramadan on-line untuk pelajar dan pekerja di Aberdeen, Scotland (Ahad, 2/4/2023), saya meninggalkan Wisma Caraka menuju kediaman Ibu Dharmawati Shaker untuk kajian Islam, Tahlil, Yasin, dan Tarawih di daerah Eltham, London.
Perempuan asal Betawi yang bersuami Assad Shaker berdarah Pakistan itu mengundang keluarga besar untuk berbuka puasa, juga tasyakuran atas selesainya renovasi rumah.
Muslim Indonesia di Aberdeen, Scotland tidak bisa menghadirkan saya, sebab terlalu jauh dari London, dan kesulitan tempat untuk pengajian.
Sebelum berangkat, istri saya terkejut melihat sedikit darah di hidung saya.
”Oh, ini biasa, hanya karena cuaca yang ekstrim,” jawab saya tenang.
Setiap menghadapi cuaca yang ekstrim, selalu ada sedikit darah segar yang keluar atau darah yang telah mengeras di dinding hidung.
Solusinya sederhana. Cukup istinsyaq, yaitu memasukkan sedikit air ke hidung dan menyemprotkan ke luar lima atau tujuh kali.
Sering-sering dilakukan, dan nafas jadi enak.
“Inilah indahnya istinsyaq dari Nabi SAW,” kata saya dalam hati setiap melakukan istinsyaq.
Itu juga yang pernah saya alami ketika menghadapi panas yang ekstrim di Teheran Iran, dan ketika kedinginan pada musim salju di Amerika untuk safari dakwah beberapa tahun yang lalu.
Putra putri dari tuan rumah dan keluarga besar duduk melingkar mengikuti bacaan tahlil dan Yasin.
Terdengar percakapan antar anak-anak itu cas-cus bahasa Inggris dengan logat native speaker.
Saya tak faham sepenuhnya, tapi ya.. pura-pura faham saja, ha ha.
Rambut, pakaian, dan bahasa tubuhnya bukanlagi gaya Indonesia. Tapi, saya kagum, mereka mau dan bisa mengikuti tahlil Yasin.
Waktu lima menit menjelang maghrib tidaklah cukup untuk berceramah.
Sebagai gantinya, saya doakan saja dua doa.
Semoga almarhum almarhumah yang disebut dalam tahlil mendapat congratulation (ucapan selamat) dari Allah,
“Salamun qaulan min rabbir Rahim” (QS. Yasin [36]: 58),
Yang artinya, “Selamat, selamat, kamu telah dipersilakan Allah Yang Maha Pengasih untuk memasuki surga-Nya.”
Semuanya serentak mengamininya.
Sedangkan anak-anak mereka tidak mendengarkan, karena sibuk dengan telpon selulernya.
Ya, tidak jauh beda dengan anak-anak kita di Indonesia.
Setelah itu, saya minta mereka menirukan doa yang kedua,
“Rabbi adkhilni mudkhala shidqin, wa akhrijni mukhraja shidqin.”
“Mohon diulang tiga kali agar hafal,” pinta saya.
Arti doa dalam surat Al Isra’ ayat 80 itu,
“Semoga penghuni rumah ini selalu diberkahi dan dirahmati Allah setiap kali masuk dan keluar rumah.” “Amin, amin, amin,” sahut mereka.
Sedangkan anak-cucu mereka baru mengamini ketika saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Sebagian besar mereka memang sudah tidak seberapa faham bahasa Indonesia.
Maghrib tiba. Setelah saya menyuapkan sesendok plastik nasi tumpeng kuning untuk Assad Shaker, tuan rumah,
Saya berusaha menghindar untuk memimpin tarawih, semata-mata untuk hormat kepada kiai sepuh di samping saya, juga untuk hemat energi. Sebab, esok harinya harus ke Scotland.
Tiba-tiba saja, sesepuh, KH. Hamam Syaaf mengumandangkan azan dan iqamat.
Ya, tidak bisa tidak, saya harus memimpin tarawih.
Selama shalat, beberapa kali saya kesulitan mengingat hafalan ayat-ayat.
Konsentrasi saya terpecah karena bau hidangan yang menyengat hidung, juga suara beberapa anak yang menyantap hidangan di dekat saya.
“Wah, ini shalat “nikmat” sambil mencium bau masakan Pakistan, juga membingungkan hafalan Al Qur’an,” kata saya dalam hati.
“Huh, kebab yang ini sangat spesial,” kata mereka dan disahut sebagian yang lain,
“Mana es cendolnya bro?.” Saat itu, hanya separuh hadirin yang mengikuti tarawih.
Pemandangan begini tidak terlalu mengejutkan saya.
Takmir masjid milik komunitas Turki di Belanda membiarkan sejumlah remaja bermain bowling di lantai bawah masjid ketika semua orang shalat berjamaah.
“Biar pak. Lebih baik mereka bermain di sekitar masjid daripada di tempat hiburan. Insya-Allah nuansa masjid akan menjadikan mereka muslim terbaik. Kelak, bukan sekarang. Mereka tidak bisa dipaksa,” jawab salah satu jamaah dengan enteng menjawab pertanyaan saya.
Heem, luar biasa pikiran positifnya.
“Yang sekarang shalat berjamaah itu, juga demikian pada masa mudanya,” tambahnya sambil menunjuk para jamaah turun dari masjid.