Oleh: Achmad Room Fitrianto, SE., M.E.I., MA., Ph.D.
Wadek III FEBI UINSA Surabaya
Dana Desa, yang merupakan bagian dari kebijakan desentralisasi di Indonesia, bertujuan untuk memperkuat pembangunan pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Berdasarkan Undang-Undang Desa, Dana Desa didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk desa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten atau kota. Dana ini digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat di tingkat desa.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa, alokasi dana desa didasarkan pada dua komponen utama: alokasi dasar dan alokasi yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, luas wilayah, serta tingkat kesulitan geografis setiap desa di kabupaten atau kota terkait. Mekanisme penyalurannya pun terbagi menjadi dua tahap, yaitu dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dan kemudian ke kas desa.
Namun, meskipun memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa, pemberian Dana Desa sering kali tidak terlepas dari praktik-praktik penyalahgunaan atau korupsi oleh oknum perangkat desa. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), yang merupakan organisasi independen yang memantau isu-isu korupsi, sejak dimulainya program Dana Desa pada tahun 2015, jumlah kasus korupsi yang melibatkan perangkat desa terus meningkat secara signifikan.
Tren dan Modus Korupsi Dana Desa
Selama periode 2015-2023, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat peningkatan yang signifikan dalam kasus korupsi yang terjadi di desa-desa di Indonesia. Pada tahun 2016, tercatat 17 kasus korupsi di desa dengan 22 tersangka, namun pada tahun 2022, jumlah tersebut melonjak menjadi 155 kasus dengan 252 tersangka. Lonjakan yang signifikan ini mengindikasikan adanya permasalahan serius terkait tata kelola Dana Desa di berbagai wilayah, yang berpotensi memperburuk kondisi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa.
Salah satu modus yang sering digunakan oleh oknum perangkat desa dalam kasus korupsi Dana Desa adalah penggelembungan anggaran atau markup, terutama dalam pengadaan barang dan jasa. Contoh yang paling mencolok adalah kasus Abdul Rasid Takamokan, Kepala Desa Negeri Administratif Sumbawa. Ia terbukti melakukan penggelembungan harga dalam pengadaan 15 motor desa, dari harga Rp 23,5 juta menjadi Rp 29 juta per unit. Modus ini menyebabkan kerugian negara hingga ratusan juta rupiah, yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan pembangunan desa.
Selain markup, modus lainnya adalah penggunaan Dana Desa untuk kepentingan pribadi oleh kepala desa. Misalnya, kepala Desa Taraweang di Kecamatan Labakkang menggunakan dana yang dialokasikan untuk pengadaan lampu jalan dan bantuan masjid untuk membayar utang pribadinya. Kasus serupa juga terjadi pada Yusran Fauzi, Kepala Desa Hambuku di Kalimantan Selatan, yang menyalahgunakan Dana Desa untuk kepentingan pribadi dan menyebabkan kerugian negara sebesar lebih dari Rp 609 juta.
Proyek fiktif juga menjadi salah satu modus yang umum digunakan dalam korupsi Dana Desa. Perangkat desa membuat laporan proyek yang sebenarnya tidak pernah ada. Contohnya adalah kasus Syamsu Japarang, Kepala Desa Kaluku, yang membuat laporan fiktif terkait pengadaan material jalan setapak, perjalanan dinas, dan pembelian alat tulis kantor (ATK). Laporan palsu ini digunakan untuk mencairkan dana, meskipun proyek-proyek tersebut tidak pernah dilaksanakan.
Dalam beberapa kasus lainnya, proyek yang didanai oleh Dana Desa tidak sesuai dengan volume atau spesifikasi yang telah ditentukan. Misalnya, pembangunan rumah sewa di Desa Piyeung Lhang, Aceh, hanya diselesaikan sekitar 66,39%, meskipun seluruh dana proyek telah dicairkan. Kasus ini menunjukkan ketidaksesuaian antara laporan penggunaan dana dengan realitas di lapangan, yang berakibat pada kerugian bagi masyarakat.
Manipulasi laporan juga merupakan modus korupsi yang sering terjadi. Kepala desa sering memalsukan laporan penggunaan Dana Desa, baik dengan mengurangi jumlah barang, menurunkan kualitas barang, atau membuat laporan fiktif. Salah satu kasus yang menggambarkan modus ini adalah kasus Musdari, Penjabat Desa Larpak, yang membuat laporan bahwa proyek telah selesai padahal kenyataannya proyek tersebut belum selesai atau bahkan tidak pernah dimulai.
Modus penggelapan dana adalah bentuk korupsi lain yang sering terjadi, yang biasanya melibatkan pemalsuan tanda tangan atau dokumen untuk mencairkan dana secara ilegal. Sebagai contoh, Kepala Desa Matang Ulim di Aceh Utara terbukti menggelapkan dana desa sebesar lebih dari Rp 325 juta dengan cara memalsukan tanda tangan bendahara desa untuk mencairkan dana secara ilegal. Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan internal dan potensi penyalahgunaan kekuasaan di tingkat desa.
Faktor Penyebab Korupsi di Desa
Korupsi Dana Desa tidak terjadi begitu saja, melainkan dipicu oleh berbagai faktor yang melibatkan sistem, individu, serta lingkungan sosial. Salah satu faktor utama yang menyebabkan korupsi adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Dana Desa. Proses perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan sering kali dilakukan tanpa melibatkan masyarakat, sehingga memberikan ruang bagi oknum perangkat desa untuk melakukan manipulasi. Ketika masyarakat tidak dilibatkan secara aktif dalam pengawasan penggunaan dana, peluang terjadinya penyalahgunaan semakin besar.
Selain itu, keterbatasan kapasitas sumber daya manusia di banyak desa juga menjadi faktor penyebab korupsi. Banyak perangkat desa yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mengelola Dana Desa sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ditambah lagi, pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah atau instansi terkait sering kali lemah dan kurang efektif. Kelemahan ini memungkinkan terjadinya penyimpangan penggunaan dana tanpa terdeteksi atau tanpa tindak lanjut yang tegas.
Budaya korupsi yang mengakar di masyarakat juga turut memperparah kondisi ini. Di beberapa desa, korupsi dianggap sebagai hal yang biasa dan diterima secara sosial. Tekanan dari lingkungan atau kelompok kepentingan tertentu dapat mendorong perangkat desa untuk terlibat dalam praktik-praktik korupsi. Ketika tindakan korupsi tidak mendapatkan sanksi sosial yang tegas, budaya ini akan terus berulang dan sulit diberantas.
Terakhir, lemahnya sistem pengelolaan keuangan desa juga membuka celah terjadinya korupsi. Banyak desa yang belum memiliki sistem pengelolaan yang teratur dan sesuai dengan regulasi. Minimnya pemahaman perangkat desa terhadap aturan yang berlaku, serta implementasi yang tidak konsisten, membuat pengelolaan Dana Desa rentan terhadap penyalahgunaan. Tanpa sistem yang kuat dan pengawasan yang ketat, potensi korupsi di desa akan terus ada.
Solusi Mengatasi Korupsi di Desa
Untuk mengatasi masalah korupsi di desa, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak. Pemerintah, masyarakat, dan organisasi masyarakat sipil harus bekerja sama dalam menerapkan langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang efektif. Berbagai solusi yang dirancang tidak hanya bertujuan untuk mengurangi korupsi tetapi juga untuk memperkuat sistem pengelolaan dana di desa, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Setiap pihak harus berperan aktif dalam menciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari penyalahgunaan.
Salah satu langkah penting adalah meningkatkan transparansi dalam pengelolaan Dana Desa. Pemerintah desa harus memastikan bahwa setiap tahap pengelolaan dana, mulai dari perencanaan hingga pelaporan, dilakukan secara terbuka dan melibatkan masyarakat. Teknologi informasi dapat menjadi alat yang efektif untuk mendukung transparansi ini. Misalnya, penggunaan aplikasi e-budgeting dan e-reporting memungkinkan masyarakat dan pihak berwenang untuk memantau alokasi dan penggunaan dana secara real-time, sehingga meminimalkan peluang terjadinya penyelewengan.
Selain transparansi, penguatan pengawasan dan audit juga menjadi kunci penting dalam mencegah korupsi. Pengawasan internal oleh pemerintah daerah perlu ditingkatkan, sementara pengawasan eksternal oleh lembaga audit independen harus dilakukan secara rutin dan menyeluruh. Masyarakat juga harus dilibatkan secara aktif dalam proses pengawasan ini. Forum-forum seperti musyawarah desa dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan mengawasi penggunaan Dana Desa.
Peningkatan kapasitas aparat desa adalah solusi lainnya. Para perangkat desa perlu diberikan pelatihan dan pendampingan yang memadai dalam mengelola keuangan dan administrasi desa. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang regulasi terkait Dana Desa, aparat desa diharapkan mampu menjalankan tugasnya secara profesional dan berintegritas. Program pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan daerah harus ditingkatkan, tidak hanya dari segi kuantitas tetapi juga kualitas.
Penegakan hukum yang tegas menjadi langkah krusial untuk menindak oknum perangkat desa yang terlibat dalam korupsi. Penegakan hukum yang cepat dan transparan akan memberikan efek jera kepada pihak-pihak yang berniat melakukan penyalahgunaan dana. Tanpa adanya sanksi yang tegas, upaya pencegahan korupsi di desa akan sulit berhasil, karena pelaku merasa tidak ada konsekuensi serius yang harus dihadapi.
Pemberdayaan masyarakat juga sangat penting dalam pengelolaan Dana Desa. Masyarakat harus diberikan akses yang cukup terhadap informasi mengenai penggunaan dana dan dilibatkan dalam setiap tahapan pengelolaannya. Partisipasi masyarakat akan menciptakan kontrol sosial yang kuat, mendorong aparat desa untuk lebih bertanggung jawab. Masyarakat yang aktif dan berani melaporkan dugaan penyalahgunaan dana akan membantu menciptakan pemerintahan desa yang lebih bersih.
Penggunaan teknologi untuk monitoring dan evaluasi juga dapat menjadi solusi yang efektif dalam mencegah korupsi. Aplikasi berbasis online dapat memudahkan pemerintah, auditor, dan masyarakat dalam memantau penggunaan Dana Desa secara langsung. Dengan sistem pelaporan dan pengawasan digital yang terbuka untuk umum, penyalahgunaan dana dapat dideteksi lebih cepat, sehingga tindakan korektif dapat segera diambil.
Sebagai penutup, pencegahan dan penanganan korupsi Dana Desa memerlukan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun lembaga terkait. Transparansi, pengawasan, dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi pilar utama dalam upaya ini. Selain itu, memperkuat kapasitas sumber daya manusia di tingkat desa juga merupakan langkah strategis untuk mencegah penyalahgunaan dana yang sering kali terjadi akibat ketidakpahaman atau ketidakmampuan perangkat desa dalam mengelola keuangan secara benar.
Partisipasi aktif masyarakat juga merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan Dana Desa yang bebas dari korupsi. Dengan keterlibatan masyarakat dalam setiap proses pengelolaan, mulai dari perencanaan hingga pelaporan, peluang penyimpangan dapat diminimalisasi. Oleh karena itu, penting untuk terus memberdayakan masyarakat agar mereka memiliki akses yang cukup terhadap informasi dan mampu menjalankan fungsi pengawasan secara efektif.
Akhirnya, penggunaan teknologi digital untuk memantau dan mengevaluasi penggunaan Dana Desa adalah salah satu inovasi yang dapat dioptimalkan. Aplikasi e-budgeting dan e-reporting, yang memungkinkan pelaporan secara transparan dan real-time, dapat membantu menciptakan sistem pengelolaan yang lebih akuntabel. Dengan menggabungkan berbagai solusi ini, kita dapat berharap bahwa korupsi Dana Desa dapat ditekan, sehingga dana tersebut benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.