Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Hari itu, Rabu (14 Agustus 2024), sepertinya hanya aku yang tahu. Selainku tidak.  Karena tampaknya memang hanya aku yang diberitahu. Dilapori. Sebagai sahabat karib. Tentang kondisi yang terjadi pada anggota keluarganya. Dan, aku pun tak bertanya kepadanya di blok dan kamar mana orang kesayangannya itu dirawat inap. Isyaratnya hanya satu: nama rumah sakit. “Oh, oke,” begitu kataku dalam hati. Nama itu langsung masuk ke otakku. Tapi aku tak pernah bertanya lagi lebih jauh. Tentang detail blok dan kamar itu. Karena aku pun tahu, sahabatku itu pasti berketetapan hati untuk tak ingin merepotkan siapapun. Termasuk kala orang kesayangannya harus mendapatkan layanan rawat inap di rumah sakit.

Pada hari kala orang kesayangan sahabatku itu dirawat inap, aku pun mengontak pimpinan rumah sakit yang disebut sahabat karibku itu. Kebetulan aku kenal. Kukontak dia agar aku bisa dicarikan informasi di mana blok dan kamar rawat inap anggota keluarga sahabatku itu. Itu kulakukan agar sahabatku itu tak harus tahu aku menjenguknya dan anggota keluarga kesayangannya itu.  Karena sekali lagi, dia pasti tak ingin merepotkan siapa pun. Itu saja alasan dia tak ingin dijenguk. Walaupun kuyakin dia juga tak menolak kutengok karena kami bersahabat dekat. Itu yang kutangkap dari niat baiknya itu. Padahal yang sedang dia hadapi adalah sebuah musibah. Atas anggota keluarga kesayangannya. Sakit dan harus menjalani rawat inap.

Dan, aku pun bersama istriku tak ingin sahabat karibku itu sendirian merasakan musibah itu. Sebagai sahabat, aku tak ingin meninggalkannya sendirian menjalani musibah itu. Minimal aku dan istriku ingin meringankan beban psikologis atas musibah itu. Walaupun hanya berkunjung ke kamar rawat inapnya. Tak lebih dari itu. Pasti kunjungan itu kecil bentuknya. Tapi, tetap saja aku dan istriku yakin bahwa musibah itu harus diringankan. Minimal dari sisi beban psikologis yang mungkin timbul. Walau masing-masing orang pasti memiliki strategi merespon musibah, tetap saja bahwa kita semua harus saling menguatkan. Itu saja: saling menguatkan! Keyakinan itu yang kupegang teguh.

Setelah detail nama anggota keluarga kesayangan sahabatku itu kuberikan ke pimpinan rumah sakit itu, sang pimpinan rumah sakit itu langsung menjawab: “Siap, Prof.” Mendapati jawaban ini, hatiku lega. Berarti rencanaku untuk bisa menjenguk sahabatku dan anggota keluarga kesayangannya yang sedang dirawat di rumah sakit itu bakal lancar. Karena pimpinan rumah sakit itu sudah merespon harapanku. Hanya butuh waktu sekitar empat menit, pimpinan rumah sakit itu mengirim pesan ke gawaiku. Begini pesannya: “Mangke ke sekuriti kersane dianter sama teman-teman.” Melalui pesan itu, aku diminta langsung menuju sekuriti rumah sakit. Dan untuk selanjutnya akan dibantu menuju ke kamar inap anggota keluarga kesayangan sahabatku di atas.

Hanya kalimat “Mangke ke sekuriti kersane dianter sama teman-teman” ini yang diberikan kepadaku. Oleh pimpinan rumah sakit yang juga teman dekatku itu. Tak ada pemberian informasi soal blok dan kamar rawat inap dari anggota keluarga kesayangan sahabatku di atas. Sedikitpun. Walaupun itu yang kumintakan bantuan sebelumnya. Tak ada penyebutan sama sekali walau isyarat. Atas detail kamar inap anggota keluarga kesayangan sahabatku itu. Sama sekali tak ada. Seperti kuharap sebelumnya. Tapi, aku pun sangat paham dengan yang dilakukan oleh pimpinan rumah sakit itu. Bagian dari profesionalisme yang dia jaga betul dalam bertugas.

Karena itulah, begitu pimpinan rumah sakit itu menjawab akan ada staf yang mengantarku, aku langsung jawab siap dan mengucapkan terima kasih. Aku tak lagi bertanya tentang detail nama blok dan kamar rawat inap anggota keluarga kesayangan sahabatku di atas. Bagiku, itu tak diperlukan lagi. Lebih jauh, kuyakin, pimpinan rumah sakit itu tak akan pernah mau men-spill detail nama blok dan kamar rawat inap. Karena, dalam keyakinanku, pimpinan rumah sakit itu juga pasti tak akan mungkin melanggar fatsun layanan. Khususnya dalam menjaga privasi (privacy) pasien. Hanya karena aku kenal dekat saja, dia pun langsung membantu, tapi tanpa harus membuka privasi pasien. Juga, aku sekali lagi sangat yakin sahabat karibku di atas tak menolak atau berkeberatan aku bersama isteriku menjenguknya dan anggota keluarga kesayangannya di rumah sakit itu.

Aku pun bersama istriku petang itu, Sabtu (17 Agustus 2024), lalu datang ke rumah sakit itu. Sesampaiku di rumah sakit itu, kulangsung bergegas menuju gedung yang disebut dan dimaksudkan sebelumnya oleh pimpinan rumah sakit dalam pesan pendeknya ke gawaiku di atas. Begitu ku datang, ku sampaikan maksudku. Seorang staf didampingi seorang sekuriti yang sedang bertugas di bagian depan langsung berujar: “Oh, Prof. Muzakki ya? Mari, silakan, saya antar.” Begitu sigapnya staf itu. Begitu cepatnya dia langsung meresponku kala itu. Dia lakukan semua itu untuk memenuhi perintah pimpinannya dan menjawab harapanku dalam berkunjung ke rumah sakit itu. Begitu hebatnya komunikasi lintas jabatan di rumah sakit itu. Hingga saat aku tiba bersama istriku, petugas dan sekuriti di depan gedung itu langsung tanggap dan melayani.

Hebatnya lagi, sesampai di depan kamar dan aku bersama isteriku belum memasuki ruangan kamar inap itu, dia mengeluarkan gawainya. Lalu bilang: “Mohon izin mengambil foto. Buat laporan ke pimpinan.” Lalu, ber-selfie-lah dia bersamaku dan istriku. Kami bertiga pun akhirnya terambil dalam foto selfie itu. Tampaknya, dia lalu mengirimkan foto itu ke pimpinannya. Untuk melaporkan dan sekaligus mendapatkan verifikasi dan validasi dari pimpinannya. Lalu, sejurus kemudian, dia mempersilakanku untuk mengontak sahabatku di dalam ruang inap itu. Isteriku mengetuk pintu. Dan ternyata betul, di dalam kamar inap itu ada sahabatku dan anggota keluarga kesayangannya yang sedang dirawat inap di dalamnya.

Foto: Gambar Selfie Staf Rumah Sakit Bersamaku dan Istriku

Dan, tak lama setelah itu, ada pesan masuk ke gawaiku. Dari pimpinan rumah sakit itu. Isinya adalah foto selfie stafnya bersamaku dan istriku. Lalu, kuucapkanlah terima kasih yang setinggi-tingginya atas bantuannya. Hingga semua layanan perbantuan kuterima dengan baik. Termasuk melalui stafnya yang cekatan itu. Hingga akhirnya aku pun bersama istriku berhasil bertemu sahabatku itu. Sekaligus bisa menjenguk orang kesayangannya yang sedang dirawat inap di kamar rumah sakit itu. Sebagai ungkapan rasa terimakasihku itu, kubilang kepada temanku yang pimpinan rumah sakit itu: “Sip. Nuwun Nggih.”  

Kejadian di atas rasanya sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Karena banyak nilai positif yang bisa kutangkap dari kejadian itu.  “Aku harus tulis,” begitu nuraniku berbisik. Lalu kutulislah kisah di atas dalam tulisan reflektif ini. Agar nilai manfaatnya bisa dirasakan dan diambil oleh siapa saja yang ingin mengambil kebaikan dari kisah di atas. Bukan hanya aku saja yang menikmati pelajaran sosial yang keren ini. Kebetulan saja terjadi padaku. Kualami sendiri kejadian itu. Walau begitu, nilai manfaatnya tak boleh hanya berhenti pada diriku dan untukku. Perlu ditebar ke luar diriku. Untuk hidup di ruang publik yang lebih profesional dan bermutu.

Lalu, apa pelajaran yang bisa diambil dari cerita di atas? Ada tiga pelajaran penting yang bisa dipetik dari kisah di atas. Pertama, menjaga privasi adalah menjaga kemanusiaan. Penghormatan kepada hak individual adalah bagian dari penjagaan atas privasinya. Dan biasanya, privasi dan konfidensialitas (confidentiality) adalah ibarat dua sisi mata uang. Berbeda tapi tak bisa terpisahkan. Privasi berkaitan dengan harkat diri seseorang (individual). Sedangkan konfidensialitas berurusan dengan data diri. Maka, memberi informasi tentang seseorang adalah bagian dari membuka privasinya. Sedangkan memberi informasi tentang data yang berkaitan dengan seseorang itu adalah bagian dari konfidensialitas.

Bersama konfidensialitas, konsep kunci privasi di atas sejatinya bersentuhan secara kuat dengan kehormatan kemanusiaan seseorang. Saking kuatnya kaitannya dengan harkat kemanusiaan, penerjemahan dan pemaknaan konkret atas privasi menjadi perbendaharaan akademik yang luas dalam sejarah peradaban manusia lintas peradaban global di dunia. Bahkan, para ahli pun (lihat Alessandro Acquisti et al. [ed.], Digital Privacy, 2008: ix) menerjemahkan konkret privasi dengan hak individual untuk menyendiri (the right of an individual to be alone). Ini semua mengandung arti bahwa privasi adalah hak dasar manusia. Siapapun mereka. Dan dalam cakupan sosiokultural apapun mereka. Maka, tak berlebihan saat privasi disebut beririsan kuat dengan harkat kemanusiaan.

Foto: Sampul Depan Buku Digital Privacy

Maka, menjaga privasi adalah menjaga kemuliaan. Itu karena menjaga privasi berarti juga menjaga kehormatan kemanusiaan seseorang. Bukankah profesionalisme itu dibangun di atas prinsip kemuliaan dan penghormatan kepada kehormatan kemanusiaan? Karena itu, apa yang dilakukan oleh pimpinan dan staf rumah sakit di atas adalah bagian dari nilai profesional yang mereka jaga secara kuat. Pimpinan rumah sakit sakit itu tidak mengungkap atau membuka ruangan atau nomor kamar inap pasien yang kutanyakan. Baik melalui pesan teks ataupun suara pada gawai. Hanya, karena pimpinan rumah sakit itu tahu bahwa yang sedang dirawat di rumah sakitnya adalah anggota keluarga kesayangan sahabat karibku yang juga masih ada kaitannya dengan tugas pekerjaanku, maka dia pun akhirnya membantuku. Walaupun hanya dengan memberi isyarat perbantuan dengan memberi arahan teknis yang dibutuhkan.

Cara yang dia lakukan, bagiku, adalah bagian dari profesionalisme pekerjaannya tanpa harus membuka privasi pasien. Hanya posisi pekerjaanku saja yang kugunakan untuk meyakinkannya agar ku bisa menjenguk sahabatku dan anggota keluarga kesayangannya itu. Dan, yang dia lakukan untuk membantuku sangat keren. Dia berusaha menjaga hubungan personalnya denganku secara baik, namun tetap tanpa harus membuka privasi pasien dan keluarganya. Kalau saja pimpinan rumah sakit yang juga kawanku itu tak berkenan untuk membantuku dalam bentuk apapun agar bisa menjenguk sahabatku dan anggota keluarga kesayangannya yang sedang dirawat inap di rumah sakitnya itu, aku pun pasti akan memohonnya dengan segala persuasi yang kubisa. Akhirnya, menjenguk pun sukses, dan pimpinan rumah sakit itu juga tetap profesional. Tak membuka privasi pasiennya, minimal melalui pesan singkat berupa teks atau suara ke gawaiku.

Kedua, menjaga privasi adalah tugas semua pemangku lini jabatan. Di sinilah menjaga komunikasi lintas jabatan di internal institusi untuk penunaian tugas menjaga privasi dimaksud menuju kinerja utama menjadi penting. Pengalaman rumah sakit di atas menjelaskan betapa hebatnya komunikasi lintas jabatan antara pimpinan rumah sakit dan staf di bagian bawah. Perintah pimpinan sampai dengan baik ke bagian pegawai pelayanan dan sekuriti. Yakni, berupa pesan untuk mengantarkanku ke kamar inap pasien yang merupakan keluarga kesayangan sahabat karibku. Seperti dijelaskan di atas, seorang staf dan seorang sekuriti melaksanakan instruksi atasan dengan baik sekali di ujung pelayanan. Dengan begitu, maksud pengunjung sebagai bagian dari konsumen terpenuhi, dan layanan rumah sakit itu pun terjaga dengan baiknya.

Pelajaran kedua ini sejatinya mengajarkan secara konkret, betapa menjaga privasi tak boleh hanya menjadi dominasi tugas satu pihak. Atasan saja. Atau bawahan saja. Tapi harus menjadi kewajiban semua pihak lintas jabatan dalam sebuah institusi. Tugas menjaga privasi tak bisa hanya dilakukan sepihak. Karena, bocornya informasi bisa saja datang dari titik manapun. Bisa dari atas. Bisa pula dari tengah. Bahkan titik bawah pun juga bisa. Satunya kebijakan pimpinan dan staf hingga sekuriti rumah sakit di atas memberikan pelajaran konkret bahwa menjaga privasi pasien adalah pekerjaan profesional yang harus dijaga oleh siapapun dari tim manajemen rumah sakit itu.

Ketiga, menjaga privasi itu harus dimitigasi secara serius. Lihatlah bagaimana staf rumah sakit itu langsung memintaku berfoto selfie bersama. Itu dia lakukan begitu menemuiku bersama istriku di ruang depan gedung rumah sakit itu untuk kemudian mengantarkanku ke ruang kamar inap pasien keluarga sahabat karibku itu. Lalu, hasil foto selfie itu dia kirim ke atasannya yang menjadi pimpinan rumah sakit itu. Kepentingannya untuk memastikan bahwa yang datang dan dia temui itu persis orang yang dimaksud oleh pimpinan dalam instruksinya kepada dirinya untuk melakukan penyambutan dan pelayanan. Tentu dia tak ingin privasi pasien terganggu karena yang dia sambut ternyata tidak sama dengan orang yang dimaksudkan pimpinannya.

Karena itu, dua proses penting sedang dilakukan oleh staf rumah sakit kala itu: verifikasi dan validasi. Verifikasi berarti pemeriksaan yang dilakukan untuk memastikan kebenaran atas dokumen, data atau informasi yang berkaitan dengan suatu perkara yang sedang menjadi fokus perhatian. Caranya biasanya dengan membandingkan dua hal atau lebih dari data yang ada secara serupa untuk mendapatkan kepastian atas kebenaran atau akurasi atas dokumen, data atau informasi dimaksud. Adapun validasi adalah nama lain dari pengesahan, persetujuan, konfirmasi, pembuktian, atau penegasan. Kepentingannya adalah untuk mengetahui apakah suatu data atau informasi valid ataukah tidak.

Staf rumah sakit yang menyambutku di depan gedung rumah sakit di atas telah melakukan proses verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam pengertian di atas. Dia melakukan tugas pemeriksaan untuk memastikan kebenaran bahwa aku yang berada di depannya adalah betul-betul orang yang dimaksudkan oleh pimpinannya. Untuk mendapatkan kepastian atas kebenaran itu, dia membandingkan fisik diriku dengan penegasan, pengesahan, persetujuan, dan konfirmasi dari atasannya. Melalui apa? Melalui pengambilan foto diri. Lalu foto itu dikirimkan ke pimpinannya untuk mendapatkan pengesahan, persetujuan, konfirmasi, pembuktian, atau penegasan darinya.

Sedetail itu yang harus dilakukan oleh staf rumah sakit itu. Kepentingan ujungnya adalah agar privasi pasien terjaga dari orang-orang yang tak bertanggung jawab. Artinya, baik pimpinan maupun staf di bawah memegang teguh prinsip penjagaan privasi pasien. Tentu, semua ini juga berlaku pada jenis pekerjaan apapun. Kasus yang kuulas dalam tulisan ini kebetulan saja terjadi pada layanan rumah sakit. Tapi sebetulnya bisa terjadi di jenis pekerjaan atau layanan apa saja. Karena itu, menjaga privasi adalah profesional. Dan itu berlaku pada semua jenis pekerjaan dan layanan yang ada di tengah masyarakat.   

Aku pun jaga betul prinsip di atas. Semua isyarat yang memungkinkan jari telunjuk diarahkan ke identitas rumah sakit dan juga diri sahabatku di atas kusamarkan. Secara sengaja. Isyarat atas nama riil gedung rawat inap rumah sakit itu saja tidak kusebut. Kulakukan hal itu dengan kepentingan agar semua privasi terjaga dalam semua uraian tulisan ini. Sebab kuyakin, menjaga privasi itu profesional. Menghormati privasi itu mulia. Bukankah begitu yang diajarkan oleh pimpinan rumah sakit itu ke kita semua. Melalui kisah pelayanan seperti yang kuceritakan di atas.