Menghargai Pekerjaan
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Pagi itu sedang dalam perjalanan. Menuju kampus Gunung Anyar. Untuk memulai akvititas rutin pertama di awal minggu: apel. Tiba-tiba HP-ku bergetar. Pertanda ada pesan singkat masuk. Begitu kubuka, pesan itu datang dari nomor resmi yang digunakan PustiPD. Pusat Tekonologi Informasi dan Pangkalan Data. Begitu kepanjangannya. Begitu logo PustiPD sebagai identitas pengirim terlihat, pikiranku pun langsung nyambung. Ini pasti pesan di awal minggu yang resmi dikirim-luas (blasting) oleh PustiPD. Pesan penting kepada semua pegawai untuk memulai pekerjaan mingguan. Penulis pesannya selalu dari internal pimpinan. Mulai rektorat hingga dekanat secara bergantian.
“Cara terbaik menghargai pekerjaan kita ialah dengan membayangkan diri kita tanpa pekerjaan. Selamat beraktivitas kembali Bapak Ibu, jangan lupa bersyukur dan bahagia.” Begitu bunyi pesan singkat itu. Nasehat mulia yang diberikan ke kita semua. Nama pembuatnya adalah Dr. Ahmad Zaini, MA. Saya akrab memanggilnya Bib Zaini. Beliau adalah ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UINSA Surabaya. Pesan motivasi itu rutin keluar tiap Senin pagi dan Jumat sore. Pesan Senin pagi itu memuat motivasi dan inspirasi dalam mengawali pekerjaan pada minggu yang akan berjalan. Dan pesan Jumat sore berisi nilai semangat untuk rehat dari rutinitas mingguan. Dan ungkapan motivasi Bib Zaini di atas adalah pesan singkat di Senin pagi (25 Sept 2023).
Aku pun terpesona dengan isi pesan singkat itu. Substansinya sangat dalam. Sarat makna. Sangat sayang jika pesan singkat itu dibiarkan lewat begitu saja. Harus dilakukan kapitalisasi. Harus dilakukan instrumentasi. Juga amplifikasi. Begitu pikirku saat itu. Harus dikonkretkan terus ke dalam mesin birokrasi. Maka, kukirim pesan pendek lewat WhatsApp ke Sekretaris LP2M. Namanya Pak Aris Fanani. Kebetulan dia adalah pejabat di bawah kepemimpinan Bib Zaini. “Pak Aris, tolong buatkan flyer. Quote keren: ‘Cara terbaik menghargai pekerjaan kita ialah dengan membayangkan diri kita tanpa pekerjaan’.”
Agar menjadi quote, kupotong ungkapan pesan Bib Zaini di atas dengan berhenti pada kalimat pendek seperti di akhir paragraf di atas. Kalimat “Selamat beraktivitas kembali Bapak Ibu, jangan lupa bersyukur dan bahagia” sengaja kutinggalkan. Sengaja kupotong. Tidak disertakan ke dalam quote. Pertimbanganku sederhana. Pertama, isi kalimat lanjutan tersebut menunjuk ke pesan mengawali pekerjaan. Ungkapan “Selamat beraktivitas kembali” mengindikasikan pesan mengawali kerja mingguan. Padahal, kuingin kalimat mulia Bib Zaini di atas lintas waktu dan lintas situasi. Kedua, untuk bisa menjadi quote, ungkapan tidak perlu panjang. Kalimat harus dikemas singkat dan padat. Tapi sarat makna. Karena itulah, kupotong dan kuambil bagian awal saja dari nasehat mulia Bib Zaini di atas. Agar bisa menjadi dan memenuhi kriteria sebagai quote.
Saat meminta dibuatkan flyer berisikan quote, pesanku ke Pak Aris sederhana. “Aku merinding dengan nilai spiritual quote Bib Zaini,” begitu pesanku ke sekretaris LP2M itu. Pesan itu sengaja kukirim ke dia agar segera dibuatkan flyer itu. Karena ada kemendesakan kepentingan di situ. Karena kuingin kalimat hikmah Bib Zaini segera bisa disebar dan diviralkan. Kepentingannya agar nasihat mulia Bib Zaini di atas bisa segera sampai ke banyak orang. Segera bisa dikonsumsi oleh sebanyak-banyaknya orang. Sebagai nilai untuk bekerja. Sebagai dasar spiritual untuk berkinerja.
Beberapa saat seusai apel Senin pagi itu, flyer itu pun jadi. Siap untuk diedarkan. Lalu aku minta Pak Aris untuk bekerjasama dengan Bagian KKH. Kerjasama Kelembagaan dan Hubungan Masyarakat. Begitu kepanjangannya. Kepentingannya untuk memviralkan flyer berisi pesan mulia oleh Bib Zaini itu ke banyak orang. Melalui banyak aplikasi digital. Mulai dari WhatsApp Group, akun Instagram (IG) resmi UINSA hingga akun pribadi para pimpinan kampus ini. Maka, Senin jelang siang itu pun quote Bib Zaini itu viral. Hingga bisa dikonsumsi oleh banyak orang. Baik internal maupun eksternal UINSA.
Penyebaran flyer berisi quote dari kalimat bijak Bib Zaini melalui akun lembaga maupun pribadi di atas semata-mata untuk melakukan amplifikasi terhadap nasehat hikmah Bib Zaini. Melalui mekanisme pertemanan yang ada di aplikasi digital pertemanan media sosial tersebut, kita pun bisa segera menghitung tingkat amplifikasi itu. Tentu, semakin kuat amplifikasi, semakin luas quote Bib Zaini di atas sampai ke banyak orang. Dan sebaliknya. Semua itu untuk dinikmati dan –harapannya– selanjutnya diinternalisasi ke dalam praktik keseharian mereka di birokrasi. Juga di jenis dan karakter pekerjaan lainnya. Seusai kuunggah di akun IG dan Facebook pribadiku, sebagai misal, banyak respon positif masuk. Baik dalam bentuk comment maupun tanda like. Ini semua menunjukkan daya amplifikasi itu.
Sobat,
Mengapa pesan singkat Bib Zaini di atas penting menjadi quote of the day? Apa pentingnya bagi penunaian amanah pekerjaan masing-masing kita? Mengapa saya perlu secara khusus memberi atensi pada pesan singkat Bib Zaini di atas? Mengapa terhadap pesan singkat lainnya saya tidak mengkonversinya menjadi flyer dan menjadikannya sebagai quote? Semua pesan singkat oleh seluruh pimpinan kampus secara bergantian tentu penting dan keren. No doubt about them. Nggak diragukan. La raiba fih. Hanya pesan singkat Bib Zaini di atas terasa sangat sayang untuk tidak diulas lebih jauh. Ke dalam bentuk tulisan. Selain dalam bentuk flyer untuk memudahkan ingatan.
Ada sejumlah nilai kebajikan di balik pesan singkat Bib Zaini itu. Dan itu yang membuatku merasa penting untuk membuat tulisan khusus soal itu. Dan itu yang membuatku merasa perlu membuat catatan pengembangan lebih lanjut. Dan itu yang membuatku terstimulasi untuk menerjemahkannya lebih jauh. Untuk tugas pekerjaan dan jabatan yang sedang kita emban masing-masing. Menuju berbagai kemuliaan yang diidamkan bersama. Menuju segudang kebajikan yang ditujukan. Dan sejumlah nilai kemuliaan dan kebajikan itu dapat diuraikan sedemikian rupa demi kemaslahatan bersama.
Sobat,
Kinerja itu soal mental. Berkinerja atau tidak, itu bersumber dari dalam diri. Dari basis kesadaran. Mental inilah hulu dari segala perkara kinerja. Saat mental ambruk, berkinerja hanyalah angan-angan semata. Saat mental runtuh, tak akan ada kinerja yang bisa ditunggu. Karena, pekerjaan akan dianggap biasa-biasa saja. Amanah jabatan akan dipandang sebagai rutinitas semata. Tugas birokrasi akan dianggap angin lalu saja. Jika itu yang terjadi, akan muncul pandangan tidak ada yang spesial dari pekerjaan. Tidak ada yang istimewa dari amanah jabatan yang diemban. Tidak ada yang penting dari tugas birokrasi untuk ditunaikan bagi kebajikan bersama. Karena itu, adanya pekerjaan tak menambah kebaikan dalam hidup. Diberikannya amanah jabatan tak memperbaiki kualitas diri. Apalagi ukurannya adalah kemaslahatan bersama.
Karena itu, prinsip “membayangkan diri tanpa pekerjaan” yang disampaikan Bib Zaini adalah nilai dasar dari mental bekerja. Nilai mulia yang harus menggerakkan setiap pribadi dalam menunaikan tugas pekerjaan. Seringnya seseorang gagal menghargai sesuatu karena dia tidak tahu arti sesuatu itu. Kerapnya seseorang tak mampu menghormati sesuatu karena dia gagal menghadirkan sesuatu itu dalam hidup. Bayangan adalah awal lahirnya tindakan. Persepsi adalah awal dari adanya aksi. Maka, bayangan dan persepsi akan berpengaruh langsung nan besar pada munculnya tindakan yang lahir karenanya.
Kinerja, karena itu, dimulai dari pikiran. Dari bayangan spiritual. Dari persepsi awal. Rinciannya begini. Pikiran, bayangan spiritual, dan persepsi awal pasti melahirkan kesadaran tertentu. Kesadaran ini menjadi pemicu lahirnya perilaku. Kondisi dan situasi hanya menjadi pemantik saja dari lahirnya perilaku itu. Tapi semua perilaku dipicu oleh kesadaran yang melingkupinya. Karena itu, kesadaran menentukan sekali lahirnya tindakan. Maka, membangun pikiran, bayangan spiritual, dan persepsi awal yang positif atas pekerjaan adalah langkah penting bagi lahirnya kesadaran yang baik atas pekerjaan kita sendiri.
Kesadaran memang bisa datang dari mana saja. Tapi saat datang dari internal diri, itu yang bagus sekali. Maka memperbaiki mental kerja adalah awal dari perubahan tata kerja seseorang. Titik berangkatnya melalui ruang kesadaran baru. Di sinilah nasehat “membayangkan diri tanpa pekerjaan” oleh Bib Zaini di atas menemukan lahan subur penyemaiannya. Kata “tanpa” di sini sama dengan angka nol dalam perkalian. Berapapun angka lain yang dipunya, akan sia-sia jika dikalikan dengan angka nol. Nasehat “membayangkan diri tanpa pekerjaan” membawa kita ke titik nol untuk membentuk kesadaran baru tentang pentingnya pekerjaan. Kita bisa mengganti kata “pekerjaan” ini dengan lainnya, seperti “ilmu” dan “keluarga”.
Sobat,
Selamat bermental baru dalam bekerja. “Membayangkan diri tanpa pekerjaan” adalah pintu masuknya. Dan ini langkah mendasar nan strategis untuk memuliakan diri. Sebab, menghargai pekerjaan akan membuat setiap pribadi menghormati setiap amanah. Menghormati pekerjaan akan menggerakkan seseorang untuk menghargai setiap tugas dan jabatan yang diterimakan. Begitu penghargaan dan penghormatan kepada pekerjaan diberikan, komitmen dalam bekerja adalah konsekuensi logisnya. Keseriusan dalam bekerja menjadi bagian integral di dalamnya.
Jika semua proses ini sudah dilakukan, sukses hanya soal waktu. Kinerja hanya soal kapan dipetik. Sesuai keinginan. Sesuai yang ditargetkan. Tak akan pernah ada sukses dalam kerja jika amanah tak dihargai. Juga jangan pernah berharap ada sukses dalam bekerja saat tugas tak pernah dihormati. Dan bahkan jangan pernah pula mengharap kinerja tercipta jika jabatan tak dimuliakan. Kemuliaan diri tak akan lahir jika tak ada penghormatan. Kebajikan diri tak akan tercipta saat enyah atasnya penghargaan. Tak pula ada keluhuran diri saat tiada pemuliaan atas pekerjaan dan amanah yang diemban.