Column UINSA

Sebuah kepercayaan merupakan apa yang diyakini serta diwariskan oleh manusia-manusia sebelumnya berdasarkan pengalaman keagamaan yang terbentuk dari komunikasi atau proses bertemunya diri dengan Tuhan. Salah satunya dialami oleh sosok Mirza Ghulam Ahmad yang bukan mewariskan sebuah agama, melainkan mendapat kultus “wahyu” dari Tuhan terhadap apa yang harus dimaknai olehnya. Ia adalah seorang ahli tasawuf modern dan termasuk sufi besar abad 14 H dari India. Sosoknnya menjadi kontroversial setelah menyatakan diri sebagai seorang pembaru. Ia mendapat tugas mulia sebagai mahdi (seorang pemimpin yang diberi petunjuk) karena pengalaman keagamannya atas perintah Allah Swt. sebagai Al-Mahdi dan Al-Masih yang dijanjikan kedatangannya oleh Nabi Muhammad saw.

Pada 1888, ia mengumumkan sebagai Mujaddid abad 14 H. Ia menulis lebih dari 86 judul buku. Setahun kemudian, ia mendirikan Jemaat Ahmadiyah yang bergerak mengumpulkan dan mengarahkan umat ke jalan yang benar. Bukan mendirikan sebuah agama atau madzhab baru, namun Ahmadiyah tetap bersanad pada Rasulullah saw. dan meyakini Al-Quran dan Islam sebagai landasan.

Nama Ahmadiyah berasal dari Al-Qur’an surah Ash-Shaff ayat 7 yang menyebut nama lain Nabi Muhammad saw. dengan istilah Ahmad. Ahmadiyah secara harfiah berasal dari dua kata yakni “Ahmad” yang berarti Nabi Muhammad saw. dan “Iyah” yang berarti pengikut. Maka salah bila ditafsirkan Ahmadiyah merupakan pengikut Mirza Ghulam Ahmad karena namanya tetap mendefinisikan bahwa mereka pengikut Nabi Muhammad saw. Pengakuannya sebagai Mahdi didasari oleh hadis riwayat Bukhari Muslim yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki nama lain yakni Ahmad dan Al Mahyi yang memiliki tugas mulia menghapus kekafiran dan menjadi nabi yang terakhir.

Alasan kuat diberikannya nama Ahmadiyah karena zaman itu ialah zaman kebangkitan kembali Islam untuk kedua kalinya dan selamanya yang diyakini dicapai atas nama “Ahmad”-nya Nabi Muhammad saw. Namun, Mirza Ghulam Ahmad bersikeras menolak disebut bahwa dirinya Nabi yang membawa agama baru dan menghapus syariat Islam karena ia hanya menjalankan perintah Allah Swt. dan senantiasa berpedoman teguh pada syariat Islam sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ahmadiyah masih menjadi bagian dari agama Islam, terbukti pada aspek aqidah dan syariah yang tetap berpegang pada rukun Islam dan rukun iman. Tidak ada perbedaan yang spesifik selain Ahmadiyah terintegrasi pada satu konstitusi untuk seluruh
dunia. Pemimpin Jemaat Ahmadiyah diturunkan pada masa Rasulullah saw, Khulafaur Rasyidin (Khilafah), Mujaddid, dan Khalifatul Masih. Selepas Mirza Ghulam Ahmad wafat pada 26 Mei 1908 di Lahore, masa Khalifatul Masih dilanjutkan oleh Maulana Hakim Nuruddin, Mirza Basyiruddin, Mirza Nashir Ahmad, Mirza Tahir Ahmad dan berakhir pada Mirza Masroor
Ahmad hingga sekarang.

Konstitusi Ahmadiyah yang bersifat sentral pada satu kepemimpinan bukan berarti tidak terbuka terhadap kekuasaan wilayah untuk melakukan inovasi pembaharuan. Bukti kongkret terlihat pada perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Di awali dari tiga pemuda dari Sumatera Barat pada 1992 yang melanjutkan pendidikan Islam ke India yang kala itu menjadi pusat pemikiran islam modern. Selepas mereka mengenal Ahmadiyah di sana, mereka mencoba mengadaptasi ke Indonesia dan mulai diterima serta berkembang pesat.

Jemaat Ahmadiyah sendiri berfokus pada tiga gerakan utama yakni bidang pendidikan, bidang organisasi dan bidang pemerintahan sebagai ranah mempertahankan eksistensi Ahmadiyah dan mengklarifikasi terkait tuduhan-tuduhan sesat. Ahmadiyah terbuka terhadap siapapun untuk mengenalnya. Salah satu bukti kongkrit ialah mereka sangat partisipatif dan apresiatif dalam momen kunjungan mahasiswa prodi Studi Agama-Agama UIN Sunan Ampel Surabaya di masjid An-Nashr Ahmadiyah Sidoarjo. Kegiatan ini dihadiri oleh mubalig Jawa Timur dan mubalig Sidoarjo secara langsung untuk berdialog mengenai segala keraguan dan tuduhan yang ada.

Kisah perjuangan mereka merintis Ahmadiyah penuh kontroversi. Berbagai aksi penolakan terjadi. Dari lahan masjid yang ditutup dan ditembok, beberapa kegiatan dilarang oleh warga, hingga terjadi penutupan dan pembakaran masjid Ahmadiyah di daerah lain. Hal ini menjadi bukti bahwa Ahmadiyah masih harus terus berjuang mempertahankan eksitensinya padahal mereka telah menjadi organisasi yang sah di indonesia. Di tengah alienasi oleh masyarakat dan beberapa institusi, perjuangan Jemaat Ahmadiyah untuk mempertahankan eksistensinya terus berjalan demi mendapatkan hak-hak mereka. (Muhammad Ridwan Hidayat – Mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama)