Farid al-Din al-‘Attar dalam karyanya Tadhkirat al-Awliya menceritakan seorang bernama Hatim al-Asamm. Sosok ini memiliki julukan al-Asamm (Si Tuli) karena sebuah peristiwa yang dialaminya dengan seorang wanita. Pada suatu hari, seorang wanita memintanya untuk dapat bertemu dan berkonsultasi kepada Hatim yang dikenal sebagai seorang saleh dan alim. Keduanya pun bertemu. Pada saat wanita tersebut berkonsultasi, tanpa sengaja dia buang angin (kentut). Tidak ingin membuat wanita tersebut malu, Hatim dengan sedikit berteriak berkata, “keraskan suaramu”… Mendengar Hatim berkata demikian, sang wanita pun lega dan senang. Dia menganggap bahwa Hatim tidak mendengar suara buang anginnya. Sikap berpura-pura tuli ini dilakukan oleh Hatim selama 15 tahun, selama wanita tersebut hidup. Alasannya, agar wanita tersebut tetap menganggap bahwa Hatim tidak pernah mendengarkan kentut wanita tersebut dan menjadikannya malu. Setelah wanita tersebut wafat, Hatim bersikap seperti sedia kala tanpa berpura-pura lagi menjadi tuli.
Kisah yang diceritakan oleh al-‘Attar ini menggambarkan adab seorang Hatim al-‘Asamm. Dia rela mengabaikan ego dan reputasinya sebagai seorang terpandang, murid seorang sufi agung bernama Shaqiq al-Balkhi dengan memiliki gelar al-‘Asamm (Si Tuli). Gelar tersebut selalu melekat pada namanya dalam sebutan atau dalam karya-karya ulama agung seperti dalam Ihya ‘Ulum al-Din karya al-Ghazali atau Hilyat al-Awliya karya Abu Na‘im al-Isbahani. Sejarah mencatat bahwa stigma negatif tuli menjadi sebutan kehormatan yang melekat pada Hatim.
Hatim disebut sebagai Luqman al-Hakim di era. Kebijaksanaannya disamakan dengan sosok Luqman al-Hakim yang namanya diabadikan sebagai salah satu nama surat dalam Alquran. Al-‘Attar menyebutnya sebagai salah seorang tokoh besar Khurasan. Kabijakan ini diakui oleh Shaqiq al-Balkhi yang menjadi gurunya selama 33 tahun setelah terjadi dialog antara guru dan murid tersebut.
Dalam Ihya’ diceritakan bahwa Sang Guru bertanya pada Hatim berapa lama dia belajar darinya? Hatim pun menjawab bahwa telah belajar selama 33 tahun. Sang Guru pun bertanya lagi, apa yang dia dapatkan selama proses belajar tersebut? Hatim pun menjawab, dia memahami delapan hal selama proses panjang belajar tersebut. Meski terkejut dengan jumlah tersebut Sang Guru meminta Hatim menjelaskannya.
Delapan hal yang dimaksud Hatim adalah; pertama, menjadikan amal baik sebagai kekasihnya yang akan menyertai masuk kubur. Kedua, berjuang menahan nafsu agar dapat taat kepada Allah SWT sebagaimana firmanNya dalam surat al-Nazi’at ayat 40. Ketiga, menyerahkan sesuatu yang berharga hanya kepada Allah SWT dan yakin bahwa Dia akan menjaganya sebagaimana firmanNya dalam surat al-Nahl ayat 96. Keempat, manusia tidak layak menyombongkan diri dengan harta, derajat dan nasabnya karena kemuliaan hanya didasarkan pada ketakwaan firmanNya dalam surat al-Hujurat ayat 13, karenanya ketakwaan harus diperjuangkan sehingga mulia disisiNya. Kelima, sebab manusia mencela dan memusuhi lainnya karena perbedaan materi dan status karenanya sikap dengki harus ditinggalkan. Keenam, hanya setan yang pantas dianggap musuh karena segala pertikaian yang terjadi pada umat manusia disebabkan olehnya sebagaimana firmanNya pada surat Fatir ayat 6. Ketujuh, manusia harus meyakini bahwa rizkinya telah ditanggung oleh Allah SWT sebagai firmanNya pada surat Hud ayat 6 sehingga tidak perlu menghabiskan tenaganya untuk mengejar rizki. Kedelapan, manusia seharusnya hanya bergantung padaNya sebagai firmanNya pada al-Talaq ayat 3.
Delapan hal yang disimpulkan oleh Hatim bukan sebuah teori yang didengar akan tetapi hasil mengaji bersama Sang Guru dan renungan pada kehidupannya dan kehidupan masyarakatnya selama 33 tahun bersama Shaqiq al-Balkhi sehingga membentuk pribadi yang memiliki moral dan etika yang luhur yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita saat ini. [Ghozi – Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]