Column
Dr. H. Moh. Syaeful Bahar, S.Ag, M.Si.
Wadek 3 FISIP UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua PCNU Bondowoso

MEMBACA POLITIK KIAI
Moh. Syaeful Bahar

 

Kajian tentang politik dan kiai telah banyak dilakukan. Bukan hanya peneliti Indonesia yang tertarik menulisnya, beberapa peneliti dari luar negeri juga melakukan kajian tentang politik dan kiai. Sebutlah Clifford Geertz, Hiroko Horikhosi, Greg Barton, Greg Fealy, Mitua Nakamura dan Martin Van Bruinessen. Penelitian-penelitian tersebut telah melahirkan banyak kesimpulan. Hasil kajian tentang kiai dan politik juga telah sering didiskusikan. Intinya, kajian tentang politik dan kiai tidak pernah berhenti. Skripsi, tesis dan bahkan disertasi terus ditulis dengan tema kiai dan politik. Menariknya, lokus kajian tidak hanya terjadi dalam konteks nasional, tapi juga tak jarang dalam konteks dan lokus politik lokal.
Dalam pemahaman penulis, daya tarik tema kiai dan politik ini tidak hanya karena posisi kiai yang sangat sentral dalam struktur sosial dan struktur budaya Masyarakat Indonesia, terutama Masyarakat Jawa, tapi juga karena prilaku aktor politik (partai politik dan politisi) yang selalu berusaha mendapatkan insentif elektoral dari posisi kiai. Dengan berbagai strategi, aktor politik ini, baik partai politik maupun para politisi berusaha menempatkan kiai sebagai pusat daya tarik bagi para pemilih (masyarakat) dan pada akhirnya, daya tarik tersebut dikonversi menjadi suara bagi mereka para politisi dalam pemilu lima tahunan.
Di Indonesia, tokoh agama, dalam hal ini pemimpin agama, baik dengan nama kiai (Jawa), ajengan (Sunda) tuan guru (Lombok NTB) tidak hanya menjadi kekuatan endorsment dan sebagai vote getter bagi partai politik dan politisi, tapi bahkan juga bisa berwujud sebagai king maker. Kajian tentang kuatnya pengaruh kiai ini dapat dibaca dalam berbagai karya, seperti karya saya, Kiai dan Bejingan, Lokal Strongmen Pasca Orde Baru, Imam Soeprayogo, dalam karyanya, Kyai dan Politik di Pedesaan dan Endang Turmudzi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan serta banyak karya lain yang sejenis.

 

Kiai dan Pemilu 2024
Menjelang Pemilu 2024, diskusi tentang kiai dan politik kembali menghangat. Bahkan dalam berbagai kasus, memanas. Apalagi di dunia maya, dunia medsos. Silang pendapat, saling serang dan saling salahkan terkait pilihan politik kiai dalam Pilpres 2024 akan dengan mudah dapat kita temukan. Sebagian nitizen mendukung kiai yang terlibat dalam politik, sedang sebagian yang lain mengkoreksi pilihan tersebut.
Dalam konteks yang lebih spesifik, yaitu dukung mendukung dalam Pilpres 2024, nitizen saling beradu argumentasi atas pilihan dukungan kiai yang berbeda-beda. Sebagian nitezen mendukung pilihan KH. Aqil Siradj dan KH. Marzuki Mustamar yang nampak mendukung Paslon 1, namun sebagian nitezen yang lain menghujat. Begitu juga terdapat nitezen yang mengelok-elokkan Habib Lutfi dan Gus Miftah karena mendukung Paslon 2, tapi sebagian yang lain menghujat. Pendukung Paslon 3, seperti Yeni Wahid juga tak sepi dari dukungan sekaligus kritik pedas dari nitezen.
Fenomena beda dukungan para tokoh pesantren maupun tokoh NU ini bukanlah hal yang luar biasa. Selama ini, dalam sejarah Pemilu Indonesia pasca Orde Baru, selalu saja diwarnai dengan perbedaan dukungan para kiai NU pada Paslon Presiden. Sejak Pemilu Presiden pertama, tahun 2004,  dukungan kiai NU tak pernah utuh. Hingga Pemilu Presiden terdekat, yaitu Pemilu Presiden 2024, dukungan kiai NU tetap saja tak sama. Berbeda dan beragam.
Fakta ini, tentu melahirkan banyak reaksi dan komentar. Bagi mereka yang tidak mengenal kiai dan NU, pasti akan mudah menyimpulkan bahwa kiai dan NU memang tak bisa bersatu. Sulit dikonsolidasi dan cenderung berjalan tanpa kordinasi. Tidak taat asas, tak kuat menjaga komitmen khittah. Sebuah komentar seorang teman di medsosnya dapat mewakili komentar-komentar ini. Menurutnya, kiai dan NU tidak memiliki kemampuan berbaris dan selalu gagal mengatur rumah tangganya sendiri. Kiai dan NU dinilai terbelakang, kuno dan bahkan tak memiliki adab dalam berpolitik. Menurutnya, NU dan para kiai NU hanya sibuk mengisi kantong-kantong pribadi dari pada bersepakat untuk membesarkan organisasi.
Tuduhan teman di atas terkesan terburu-buru, tidak mewakili fakta di lapangan. Hanya berbekal informasi yang berseliweran di media sosial, tanpa ada proses konfirmasi. Hanya membaca berita tentang elit NU dan para kiai yang tak sama dalam melabuhkan dukungan dalam Pilpres 2024. Tanpa berusaha memahami alasan kenapa mereka, para kiai dan elit NU berbeda dukungan. Hampir bisa dipastikan penilaian teman tersebut tak akan sama ketika dikonfirmasi pada realitas sebenarnya.
Sebagai seorang teman, saya wajib menghargai pendapat teman di atas, namun sebagai  seorang pengurus NU, sebagai dosen politik serta sebagai peneliti, tentu saya punya tanggungjawab meluruskan. Paling tidak seperti yang saya tahu. Seperti yang ada dalam kepala saya. Bahwa, pilihan berbeda para kiai memiliki pondasi rasionalitas dan agama yang kuat.
 
Politik adalah Ibadah
Pada suatu kesempatan, KH. R. Kholil As’ad Syamsul Arifin Situbondo menyatakan “para calon presiden dan wakil presiden harus tetap didampingi para kiai”. Pernyataan KH. R. Kholil As’ad ini panjang, tidak pendek seperti yang saya tulis, meskipun dalam konteks tulisan ini, kalimat di atas cukup mewakili dari maksud KH. R. Kholil As’ad.
Sepintas kalimat ini biasa-biasa saja. Namun jika di pahami dan didalami lebih jauh terdapat satu makna yang luar biasa dan dapat membantah tuduhan teman di atas. Tuduhan bahwa kiai dan NU tidak pernah dalam satu barisan yang rapi dan kokoh. Dari pernyataan KH. R. Kholil As’ad tersebut, sedikit kita dapat memahami bahwa dalam kerja-kerja politik yang dilakukan oleh para kiai berbeda dengan kebanyakan aktor politik lainnya.
Sebelum saya menulis berbagai perbedaan politik kiai dan para politisi umumnya, saya perlu menegaskan, bahwa dalam konteks dawuh KH. R. Kholil As’ad di atas, kiai yang dimaksud adalah para kiai yang benar-benar teruji dan terbukti sebagai kiai pelayan umat. Bahasa beliau “Kiai A”. Siapa “kiai A” ini, yaitu para kiai yang dalam dirinya tak punya kepentingan duniawi saat melakukan kerja-kerja politik. Kerja politik bagi mereka adalah bagian dari ibadah. Transaksinya dengan Allah swt semata, bukan pada para politisi dan penguasa.
Bagi para kiai kelas A tersebut, pertama, politik bukanlah tujuan akhir. Bahkan kekuasaan yang selalu menjadi orientasi utama para actor politik berpolitik juga bukanlah tujuan utama para kiai berpolitik. Bagi para kiai, politik semata-mata hanya instrument untuk memastikan bahwa dengan kekuasaan, kebaikan-kebaikan, keteraturan-keteraturan serta hak dan keadilan dapat benar-benar dijalankan dan ditegakkan.
Kedua, karena alasan yang pertama di atas, maka politik kiai tidak pernah akan berakhir dengan istilah kalah menang. Tapi akan sama-sama menang. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa konflik politik kiai NU selalu saja tegang dan ramai di media, di permukaan, tapi teduh dan penuh gelak tawa di belakang panggung politik. Di panggung depan, di media dan di depan para politisi, para kiai akan nampak gegeran, tapi di panggung belakang dan di ujung cerita, pasti akan diakhiri dengan ger geran, penuh gelak tawa.
Ketiga, orientasi politik para kiai adalah ibadah. Transaksinya dengan Allah swt. Hal ini yang paling membedakan antara orientasi politik kiai dengan para aktor politik lainnya. Bagi para kiai, politik adalah “perintah” untuk berjuang, dan berjuang itu adalah menjadi bagian dan berkontribusi pada kebaikan. Karena politik dipercaya sebagai salah satu penyebab kebaikan-kebaikan akan dapat ditegakkan dengan efektif, maka berpolitik menjadi panggilan perjuangan yang harus diambil oleh kiai. Karena orientasinya adalah perjuangan, maka kalah menang bukanlah tujuan utama. Jika menang, itu bonus, jika kalah itu tetap ibadah.
Keempat, para kiai memiliki keyakinan bahwa kekuasaan dan agama harus selalu berdekatan. Keyakinan ini banyak terinspirasi oleh pendapat Imam Al Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin. Menurut Al Ghazali, agama adalah pondasi, sedang kekuasaan penjaganya. Artinya, kekuasaan dan agama harus saling berbagi peran. Kekuasaan yang menjalankan ketertiban, namun agama yang menentukan kepantasan dan nilai moral yang harus dijaga oleh kekuasaan. Karena ajaran Al Ghazali ini, maka terbelahnya dukungan kiai ke Paslon 1, Paslon 2 dan paslon 3 dalam Pilpres 2024 sejatinya hanyalah sebuah strategi untuk dapat “menjaga” agama tetap ada dalam semua Paslon Presiden 2024. Siapapun yang jadi Presiden RI, agama dan moralitas tetap menjadi pondasi dan penjaga kekuasaan. Wallau a’lam.

Penulis adalah Wadek 3 FISIP UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua PCNU Bondowoso