
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Kalimat pada judul di atas adalah hasil ekstrak dari kutipan pernyataan Menteri Agama RI, Prof. Nasaruddin Umar. Kalimat utuh dari pernyataan itu berbunyi begini: “Kita memang bukan malaikat, tapi jangan sampai menjadi iblis.” Dengan pernyataan ini, menteri yang akademisi ini mengingatkan agar kita tidak mudah terjatuh ke dalam kejahatan. Apalagi, jika kejahatan itu dilakukan dengan segala kesengajaan. Lalu perilaku jahat itu dibungkus oleh sejuta alasan kelemahan diri kemanusiaan sebagai pembenarnya. Tentu bukan itu yang diharapkan dari diri anak manusia.
Pernyataan di atas disampaikan oleh Menteri Agama dimaksud dalam pembinaan pegawai di UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Senin, 10 Februari 2025. Bertempat di ruang amphitheatre, Urban Campus, di Jl. A. Yani Surabaya. Menteri Agama kala itu berpesan agar nilai kebajikan selalu hidup dalam diri pengemban amanat publik di birokrasi. Sempurna dalam kebajikan memang sangat ideal. Tapi, kalimat “Kita memang bukan malaikat” menjelaskan bahwa praktik itu memang sulit. Namun, meskipun begitu, masing-masing pejabat di birokrasi diharapkan terus menjaga usaha untuk menegakkan kebajikan dalam hidup dan jabatan sesulit apapun keadaannya.
Walau sulit, dalam penekanan Menteri Agama, tak sepatutnya lalu ada di antara pejabat yang jatuh ke dalam kubangan praktik keburukan. Apalagi terperosok ke dalam kejahatan. Sudah barang tentu semua itu tidak diharapkan. Kalimat “tapi jangan sampai menjadi iblis” dalam pernyataan Menteri Agama di atas menjelaskan bahwa jika tak mampu menjadi yang ideal dalam kebajikan, jangan sampai bertindak dalam keburukan. Apalagi, lalu menjadi pelaku kejahatan. Kata “iblis” dikutip oleh Menteri Agama di atas sebagai lawan kata yang konkret atas kata “malaikat”.

Pemilihan kata “malaikat” dan “iblis” di atas dilakukan oleh Menteri Agama dalam kerangka opposite words atau kata-kata yang memiliki makna yang berlawanan. Kepentingannya adalah untuk mempertegas pasangan kata yang secara jelas berlawanan makna (opposite pair). Yakni, dua kata yang berlawanan namun berkaitan langsung satu sama lain. Penggunaan dua kata yang masuk kategori opposite pair ini dimaksudkan untuk mempertegas nilai kontras atau nilai beda satu sama lain di antara dua kata dimaksud. Semakin tinggi nilai kontras itu, semakin tinggi pula nilai bedanya. Sebaliknya pun juga terjadi.
Nilai kontras dimaksud bergerak di dua ranah: makna dan implikasinya. Dalam ranah makna, menghadirkan dua pasangan kata yang secara tegas berlawanan memudahkan pemahaman titik beda antara keduanya. Dengan kata lain, pemahaman kebalikan akan segera bisa diperoleh. Penyebutan kata “malaikat” dan “iblis”, sebagai misal, segera bisa menimbulkan makna yang berlawanan di antara keduanya. Begitu kata “malaikat” disebut, segera bisa diperoleh makna kebalikannya dari kata pasangan yang berlawanan makna, yakni “iblis”. Begitu pula sebaliknya.
Karena itu, saat dibuat pernyataan “Kita memang bukan malaikat, tapi jangan sampai menjadi iblis”, kita secara kuat diingatkan secara tegas. Yakni, agar saat sulit menjadi orang baik (yang disimbolisasikan dengan kata “malaikat”), lalu jangan sampai menjadi orang jahat (yang direpresentaiskan oleh kata “iblis”) sebagai kebalikannya. Memasangkan kata “malaikat” dengan pasangan kata yang berlawanan, yakni “iblis”, memiliki implikasi yang serius. Secara makna, terdapat intensifikasi atau penekanan makna atas kata “malaikat” dengan memasangkan secara berlawanan dengan kata pasangan lawannya, yakni kata “iblis”.
Karena itu, nilai kontras yang diusung oleh dua pasang kata yang berlawanan di atas segera melahirkan implikasi praktisnya. Sebagai contoh, kalimat “Kita memang bukan malaikat, tapi jangan sampai menjadi iblis” yang dinyatakan oleh Menteri Agama di atas memiliki implikasi yang dituju secara khusus. Dalam ranah implikasi ini, kita diingatkan, bahwa saat kebajikan sulit dilakukan tak berarti lalu terjerembab dalam keburukan. Saat kemuliaan sulit direalisasikan, tak berarti lalu sah untuk berada dalam kejahatan. Mengapa implikasi ini penting, karena Menteri Agama menggunakan dua kata yang sama-sama bermakna negasi untuk mengkerangkai dua pasang kata yang berlawanan dimaksud. Yakni, kata “bukan” dan “jangan”.
Lepas dari dua ranah, makna dan implikasinya di atas, yang dipentingkan oleh penyebutan dua pasang kata yang berlawanan dalam satu kalimat adalah bagaimana respon seseorang terhadap kaitan antara keduanya. Richard K. Olson dalam karyanya Generalization to Similar and Opposite Words (dalam Journal of Experimental Psychology, Vol. 70, no. 3 [1965]:331), seperti bisa dijumpai di bawah, melihat pentingnya how mediation could take place through the meaning response. Yakni, bagaimana mediasi dapat terjadi melalui respons makna. Dia mencontohkan hubungan antara kata “panas” dan “dingin”. Kedua kata ini menjelaskan soal suhu. Yang menjadi titik penegas nilai kontras atau beda antara keduanya adalah tingkat suhu. Nama lainnya, derajat suhu.

Jadi, yang menjadi dimensi umum yang mendasari kata “panas” dan “dingin” yang berlawanan dalam contoh opposite words di atas adalah apa yang oleh Olson (1965:331) disebut dengan istilah mediating link dalam respons makna. Mediating link ini adalah hubungan yang memperantarai antara stimulus dan respons makna. Di sinilah respon seseorang terhadap kaitan antara makna dan implikasi dari opposite words menjadi penting. Respon ini berperan penting untuk menggerakkan seseorang untuk merujuk kepada substansi dingin atau panas. Termasuk di antaranya adalah bagaimana respon dia terhadap substansi dingin atau panas sangat bergantung dari ukuran tingkat atau derajat suhu yang diikuti untuk bisa mengenali panas dan dingin itu.
Dalam kaitannya dengan opposite words antara “malaikat” dan “iblis” pada pernyataan Menteri Agama di atas, respon seseorang terhadap kaitan antara makna dan implikasi dari opposite words ini berperan penting untuk menggerakkan yang bersangkutan untuk berada dalam penegakan kebajikan atau terjerembab ke dalam praktik kejahatan. Semakin tinggi nilai kontras itu dipahami dan dipraktikkan, semakin tinggi pula nilai beda pada pemahaman dan praktik hidup pelakunya untuk berada dalam derajat malaikat atau derajat iblis. Artinya, semakin tinggi derajat malaikat didekati, semakin naik derajat kemuliaan seseorang. Hal yang sebaliknya juga terjadi. Semakin tinggi derajat iblis didekati, semakin naik pula derajat keburukan dna kejahatan seseorang.
Karena urusannya adalah soal derajat yang didekati, maka pernyataan “Kita memang bukan malaikat, tapi jangan sampai menjadi iblis” oleh Menteri Agama di atas berkaitan dengan urusan derajat nilai mana yang didekati oleh seseorang. Saat derajat malaikat yang didekati, saat itu pula kehidupannya bergerak naik untuk mendekat ke derajat malaikat. Namun, saat derajat iblis yang didekati, saat itu pula kehidupannya bergeser untuk mendekat ke derajat iblis. Dan Menteri Agama mengingatkan, untuk sampai ke derajat malaikat sulit, bukan berarti lalu seseorang harus terjatuh ke titik ektrem lawannya, yakni derajat iblis. Maka, menjaga pergerakan untuk bertahan dalam derajat baik menjadi penting walau tak bisa sampai ke titik derajat malaikat.
Berangkat dari uraian di atas, maka ada dua pelajaran penting yang bisa diambil dari pernyataan Menteri Agama di atas. Pertama, masing-masing diri diingatkan untuk memberi atensi pada opposite words atau dua pasang kata yang berlawanan, yakni “malaikat” dan “iblis”, yang disebut dalam pernyataan Menteri Agama di atas. Lebih-lebih ada pernyataan kata negasi yang disertakan untuk mengiringi penyebutan dua pasang kata yang berlawanan itu. Yakni, kata “jangan” dan “bukan”. Penyebutan opposite words yang diiringi dengan kata negasi seperti ini menandakan bahwa Menteri Agama sedang meminta atensi dan perhatian serius dalam urusan yang terkait dengan kredibilitas diri. Dalam hal ini adalah urusan marwah diri.
Karena itu, sebagai implikasi lanjutannya, saat Menteri Agama menyebut dua pasang kata yang berlawanan (yakni “malaikat” dan “iblis”) dan mengkerangkainya dengan dua kata yang bermakna negasi (yakni “bukan” dan “jangan”) di atas, maka yang diharapkan penting lahir dari penerima ujaran tersebut adalah respon terhadap kaitan antara substansi yang dikandung dua kata yang berlawanan dimaksud. Tentu, respon yang diharapkan dari penerima ujaran tersebut adalah respon agar setiap diri mampu menjaga marwahnya untuk selalu berada dalam derjat kebajikan. Sesulit apapun harus dilakukan agar tidak terjatuh ke dalam derajat keburukan. Apalagi kejahatan.
Lalu, apa bentuk atensi dan respon konkret yang diharapkan lahir dari setiap kita terhadap penyebutan opposite words yang diiringi pernyataan kata negasi dalam pernyataan Menetri Agama sebagaimana dimaksud di atas? Jawabannya, jangan pernah mendekat ke derajat iblis. Mendekat saja jangan, apalagi terjatuh. Karena itu, mendekat ke derajat iblis sama sekali bukanlah pilihan. Pilihan yang harus diambil adalah menjaga jarak, atau bahkan menjauh, dari derajat iblis. Itu harus dilakukan apapun situasinya. Walaupun langkah untuk menjaga jarak atau menjauh dari derajat iblis tak bisa mengantarkan kita sampai kepada derajat malaikat, semua langkah itu harus ditunaikan sebagai bventuk atensi dan respon konkret terhadap penyebutan kata “malaikat” dan “iblis” yang disertai dengan kata negasi “bukan” dan “jangan”.
Kedua, setiap pribadi penting untuk mengkondisikan diri secara berkelanjutan dalam kebajikan. Sebab, meminjam perspektif Olson seperti dijelaskan di atas, di antara dua nilai (yakni kebajikan seperti yang dikandung oleh kata “malaikat” dan nilai keburukan yang diliput oleh kata “iblis”), terdapat mediating link yang menandai adanya hubungan yang memperantarai antara stimulus dan respons makna. Bahkan, mediating link ini tak hanya menandai adanya hubungan dimaksud saja, melainkan juga itu sekaligus menuntut respon seorang individu terhadap kaitan antara makna dan implikasi dari opposite words (“malaikat” sebagai simbol kabajikan dan “iblis” sebagai isyarat keburukan) dimaksud.
Itu semua berarti bahwa baik dan buruk adalah soal derajat. Bisa membentang dalam garis kontinum. Saat derajat mendekat ke titik kebajikan, maka kebajikan yang mengemuka. Saat derajat lebih cenderung untuk bergerak dan mendekat ke titik keburukan, maka yang menyembul ke permukaan adalah keburukan. Maka, pengkondisian hidup adalah bagian dari usaha yang penting dilakukan oleh masing-masing individu anak manusia dalam menjaga derajat kebajikan dalam dirinya. Itu dibutuhkan agar respon yang keluar terhadap hubungan yang lahir dan memperantarai antara nilai kebajikan dan keburukan bisa selalu terkondisikan baik. Saat respon selalu terkondisikan baik, maka perilaku yang lahir juga akan selalu baik. Dan sebaliknya juga bisa terjadi. Saat respon tak selalu terkondisikan baik, maka perilaku yang lahir pun bisa jadi tak selalu baik.
Pembiasaan diri, lalu, menjadi strategi penting untuk berada dalam derajat mana yang paling kuat. Derajat baik atau derajat buruk. Di sinilah pengkondisian hidup menjadi sangat signifikan dilakukan karena akan menentukan proses pembiasaan diri seseorang. Saat pembiasaan hilang, hilang pula ruang kuasa untuk menjaga diri dalam sebuah nilai yang diutamakan. Saat yang diutamakan namun hilang dari pembiasaan diri adalah nilai kebajikan, maka redup pula nilai kebajukan itu dalam diri seseorang. Begitu pula sebaliknya. Maka, yang dimintakan atensi oleh Menteri Agama dalam pernyataannya di atas adalah langkah pembiasaan diri yang konkret pada nilai Kebajikan dalam hidup.
Maka, tugas penting seseorang saat menjadi pejabat di birokrasi adalah melakukan teknokrasi nilai kebajikan dalam praktik birokrasi itu sendiri. Kata “teknokrasi” di sini berarti proses dan praktik mengkonversi dan menerjemahkan nilai kebajikan agar menjadi keputusan yang bisa menjadi dasar bagi praktik baik birokrasi. Nilai bukan hanya dibiarkan mengalir dalam wilayah gerak normatif. Alih-alih, nilai harus digerakkan untuk bisa mewujud ke dalam praktik birokrasi layanan publik. Di sinilah, melalui kewenangan publik yang diamanatkan, seseorang yang sedang memangku jabatan publik harus mampu mewujudkan sebuah nilai ke dalam sistem kerja birokrasi yang ada dalam kewenangan dan tanggung jawabnya.
Pertanyaannya, bagaimana agar seseorang yang sedang mengemban amanah publik tidak sampai terperosok ke dalam keburukan yang akut hingga lalu menjadi jahat seperti iblis? Pertanyaan ini penting menjadi bahan refleksi diri dari masing-masing kita. Dan jawabannya adalah teknokrasi. Karena itu, seseorang yang sedang mengemban amanah publik harus melakukan teknokrasi agar nilai itu bisa menjadi sistem kerja birokrasi yang baik. Karena itulah, dia memiliki tanggung jawab yang besar untuk menciptakan sistem kerja birokrasi yang efektif untuk berkembangnya kebajikan dan sekaligus hilangnya keburukan-kejahatan.
Meminjam pernyataan Menteri Agama di atas, memang “menjadi malaikat” itu ideal walau sulit. Namun, minimal setiap individu yang menjadi pengemban jabatan publik tidak sampai terjatuh ke dalam perosok keburukan dan kejahatan yang disimbolisasikan dengan kata “iblis” di atas. Maka, penciptaan sistem kerja birokrasi yang clean and clear atau bersih nan jernih menjadi kebutuhan mendasar namun mendesak dilakukan dan dipenuhi. Clean atau bersih saja tak cukup. Karena wilayah geraknya hanya berada pada akuntabilitas administrasi. Yang dibutuhkan adalah yang melebihi cakupan makna clean itu. Yakni, harus terus bergerak menjadi clear atau jernih. Nilai ini tak hanya bergerak pada akuntabilitas administrasi, melainkan juga akuntabilitas spiritual. Bahwa, semua didasari oleh kepentingan untuk memenuhi tanggung jawab negara dan ketuhanan.
Buruk perilaku itu bukan kodrat. Tapi, pilihan yang diambil dalam hidup. Mengapa disebut pilihan? Karena sejatinya siapapun pasti bisa menghindari keburukan. Pasalnya, di sana ada pilihan lain. Yakni kebajikan. Kedua pilihan itu hadir dalam diri seseorang. Karena itu, saat keburukan diambil sebagai pilihan, maka perilaku buruk itu bisa digunakan sebagai penunjuk keburukan diri pelakunya. Saat ada dua pilihan, lalu seseorang mengambil keputusan untuk mengambil satu pilihan, maka itulah kesejatian dirinya. Sebab, kedua potensi, baik dan buruk, terhampar di depannya.