Column

Sudah lazim bahwa mahar adalah perkara wajib dalam pernikahan, tetapi ia bukan rukun. Hal wajib harus tetap dilakukan meski tidak bebarengan dengan akad. Sedangkan rukun harus dipenuhi saat akad. Wajibnya mahar membuat laki-laki berpikir ulang untuk meminang perempuan. Ada yang khawatir terjadi permintaan mahar yang tinggi dari pihak perempuan. Tetapi juga ada yang tidak khawatir sejauh itu. Alasannya mungkin karena mahar hanya sebatas pemulus akad, tidak lebih, atau mungkin karena ada tradisi mahar yang sederhana di wilayahnya.

            Standar maksimal dan minimal mahar dalam fikih berbeda. Ulama’ sepakat bahwa batasan maksimal mahar tidak ada. Dulu Umar bin Khattab memang pernah mewacanakan batas maksimal mahar. Jika lebih dari standar itu, maka harus diberikan ke Baitul Mal. Tapi gagasan itu ditolak oleh seorang perempuan, karena mengintervensi kepemilikan hak mahar bagi perempuan. Sedangkan standar minimal mahar hanya dikenal di dua mazhab yaitu Hanafi; sepuluh dirham dan Mazhab Maliki; tiga dinar. Dua mazhab lain, tidak mengenal batasan minimal mahar.

            Indonesia sendiri sampai saat ini belum menetapkan berapa batas minimal dan maksimal mahar, baik dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-Undang Perkawinan. Fakta ini bisa dimaklumi, karena mazhab Syafi’i yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia tidak menetapkan batas minimal mahar. Tidak hanya itu, tradisi mahar yang beragam yang erat dengan adat di berbagai wilayah juga salah satu alasannya.

Terlepas dari itu, hakikatnya mahar adalah sesuatu yang produktif, bukan konsumtif. Artinya, mahar adalah sesuatu yang bisa memproduksi manfaat atau keuntungan bagi perempuan untuk saat ini juga masa depan, baik berupa benda maupun jasa. Ini tidak lain karena ayat-ayat dan hadis-hadis tentang mahar lebih mengarah pada makna mahar yang produktif, sebagaimana hadis-hadis tentang mahar Rasulullah dan Sahabat yang bercerita tentang mahar dengan nominal yang tinggi, seperti puluhan hewan ternak, kebun, hingga uang tunai. Meski demikian, tren mahar seperangkat alat shalat seperti yang ada di sinetron-sinetron tidak sedikit diikuti oleh masyarakat.

            Beberapa hari yang lalu, saat saya showan ke kiai saya di Malang, bayangan saya tentang mahar produktif seakan menemukan gambarannya yang lebih utuh. Kiaiku nyatanya juga sedang mengamati kebiasaan mahar masyarakat di Jawa yang terlihat menganggap mahar sebagai formalitas belaka, bukan hal esensial dalam pernikahan. Setidaknya, dari penjelasan kiai saya menangkap ada semacam kegagalan dalam memahami hakikat mahar oleh para pemuka agama dan masyarakat Jawa secara general. Ini mungkin juga terjadi tidak hanya di Jawa.

            Dengan membandingkan kebiasaan mahar di luar Jawa yang terlihat jauh lebih tinggi, Kiai akhirnya memunculkan gagasan yang saya kira unik. Jika di dunia buruh ada isitiah Upah Minimum Regional (UMR), maka mahar mestinya juga bisa memiliki standar regional yang bisa disebut dengan Mahar Minimum Regional (MMR). Kira-kira begitu logika berpikir singkat kiai.

            Gagasan ini bagi saya menarik karena beberapa alasan. Pertama, gagasan ini bisa mendongkrak semangat laki-laki untuk benar-benar memprioritaskan mahar ketimbang memikiran pernak-pernik kemawahan pernikahan yang itu hanya sesaat. Paling tidak ini bisa menempatkan perempuan memiliki daya tawar yang tinggi. Bukan dalam arti sebagai komoditas, tetapi sebagai seseorang yang wajib dipenuhi haknya dan dihormati kedudukannya.

            Kedua, gagasan ini secara bertahap akan menghilangkan gengsi sosial antara perempuan. Dengan standar minimal yang rata dan tentu tidak ada batasan maksimal, perempuan tidak akan merasa gengsi kepada perempuan lain karena perbedaan status sosial. Tidak lagi ada rasa iri hanya karena merasa tidak dihargai dengan nilai mahar yang tinggi. Persamaan nilai minimum mahar akan menghapus perbedaan itu.

            Ketiga, gagasan ini setidaknya mengukuhkan wajah Islam yang pro terhadap kehormatan perempuan. Jika selama ini ada pandangan bahwa Islam dianggap jarang berpihak pada perempuan dalam ranah perkawinan karena cenderung memudahkan urusan mahar, maka ini adalah gagasan yang tepat untuk semakin menghapus pandangan itu. Justru dengan cara ini Islam ditampilkan dengan wajah baru. Islam akan terlihat sebagai agama yang ramah dan melindungi perempuan dan jauh dari bayang-bayang eksploitasi laki-laki terhadap perempuan.

             Bagaimana ini bisa direalisasikan? Satu-satunya cara yang cukup efektif adalah dengan melakukan pendekatan kepada pemerintah lokal, bisa desa, kecamatan, kabupaten, atau propinsi untuk mengeluarkan peraturan yang mengikat sekaligus sanksinya. Sementara itu, para pakar hukum Islam berdiksusi serius mengenai berapakah standar mahar regional yang harus diterima perempuan saat menikah dengan seperangkat metodologi yang relevan dan memadai. Untuk itu, survei pendapatan rata-rata masyarakat lokal perlu dilakukan sebelum menentukan standar minimal mahar. Barulah setelah itu ditentukan berapakah standar mahar minimal yang diharapkan bisa menjanjikan kemaslahatan untuk para pengantin. Gambarannya, tetap pada prinsip tidak terlalu memberatkan laki-laki tapi juga tidak terlalu merendahkan derajat perempuan.

Meskipun ini dipandang baik untuk menjunjung tinggi derajat dan hak perempuan, masalah lain justru timbul. Tidak menutup kemungkinan akan ada gelombang protes dari kelompok Islam kanan. Alasannya mungkin bahwa perempuan yang mulya adalah yang memudahkan mahar. Apalagi ketika media beberapa kali memberitakan pernikahan dengan mahar sandal jepit, anggapan kemulyaan perempuan dengan mahar sejenis itu, meskipun dengan kesepakatan, akan sulit dilihangkan dari benak publik. Belum lagi ceramah atau khutbah para pemuka agama yang cenderung patriarki.

            Di posisi ini, kelompok ini –keyakinan saya- tentu akan tetap mengunggulkan fikih. Karena hingga saat ini padangan tentang yang sah di mata negara belum tentu sah di mata hukum masih terus menghantui pemikiran ulama’. Apapun alasannya, meskipun berusaha untuk meningkatkan status kehormatan perempuan, klaim kebenaran fikih akan terus ada. Ini adalah fakta pluralisme hukum di Indonesia yang menjadai tantangan tersendiri dalam upaya mereformulasi konsep dan ketentuan mahar di Indonesia.

            Untuk membuktikan sejauh apa gagasan Kiai itu diterima di kalangan generasi muda, saya melakukan riset ini bersama beberapa mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. Risentnya fokus pada Generasi Z Muslim yang tinggal di Surabaya. Tulisannya juga sudah diterbitkan di salah satu jurnal ternama di Indonesia.

Hasilnya mungkin bisa ditebak, tetapi juga cukup mengejutkan. Mahar, yang selama ini dianggap sebagai simbol konsumtif dan estetis, kini mulai bergeser maknanya di kalangan Generasi Z Muslim di Surabaya. Menariknya, mereka lebih melihat mahar sebagai sesuatu yang produktif. Artinya, mahar bukan sekadar benda yang indah atau mahal, melainkan sesuatu yang memiliki nilai guna dan dapat membantu kehidupan mereka setelah menikah. Namun, meskipun ada kecenderungan untuk memandang mahar lebih produktif, hal ini ternyata tidak membuat mereka setuju dengan ide standar mahar berbasis upah. Sebagian besar dari mereka menolak gagasan tersebut. Alasan mereka pun beragam, mulai dari sudut pandang sosiologis, normatif, yuridis, hingga antropologis. Yang paling dominan adalah alasan sosiologis, di mana mahar dianggap tidak perlu diatur berdasarkan upah karena tiap pasangan memiliki kondisi yang berbeda-beda

Apa yang unik dari temuan riset itu? Baik yang setuju maupun yang menolak gagasan ini, mayoritas adalah perempuan. Fakta ini menunjukkan bahwa banyak perempuan Muslim Generasi Z di Surabaya belum menyadari pentingnya mahar dalam memperkuat posisi mereka dalam pernikahan. Alih-alih memahami mahar sebagai alat perlindungan, mereka justru masih terjebak dalam pemikiran patriarkal yang membuat mereka merasa bahwa mahar tidak terlalu penting bagi mereka, tetapi lebih relevan bagi kepentingan laki-laki. Dalam konteks ini, laki-laki sering dianggap sebagai pihak yang lebih membutuhkan perlindungan dari tuntutan mahar.

            Terlepas dari itu, saya yakin para perempuan suatu saat akan mendukung gagasan MMR jika terbukti menguntungkan. Saya pun berharap gagasan yang pernah ditawarkan oleh Kiai saya ini didukung oleh ulama’ lain, baik laki-laki maupun perempuan. Sayapun juga sangat berharap pemerintah mengetahui hal ini.

Jika suatu saat gagasan ini direspons dan ditindaklanjuti oleh para tokoh dan pemerintah, maka sudah saatnya para laki-laki mempersiapkan mahar sesuai patokan. Karena itu, untuk para perempuan berhentilah untuk bersikap memudahkan mahar kawin. Tapi, jika pun masih banyak perempuan yang menganggap bahwa dirinya lebih baik tidak memberatkan mahar, maka pikirkanlah baik-baik fungsi mahar untuk kehidupan di kemudian hari.