Column UINSA

Literasi Dini

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Lembaga Pengasuhan dan Pendidikan Anak Usia Dini. Disingkat LPPAUD. Milik UINSA Surabaya. Kalau disebut lengkap, akan berbunyi: LPPAUD UINSA. Klir. Nama itu menunjuk bahwa PAUD dimaksud milik kampus ini. Didirikan sebagai bagian dari layanan kampus untuk para pegawainya. Juga terbuka untuk masyarakat sekitar. Karena itu, unit layanan ini tidak saja ada di kampus A. Yani. Kampus yang berdiri pertama. Tapi juga di kampus Gunung Anyar. Kampus baru. Semua pegawai di masing-masing lokasi kampus itu berkepentingan untuk mendapatkan layanan pengasuhan dan pendidikan bagi putera-puterinya usia pra-sekolah.

Para pegawai yang punya anak balita, tak perlu repot. Mereka yang memiliki putera-puteri di bawah usia dini, tak perlu risau. Tak perlu gelisah. Hanya karena punya anak balita. Hanya karena punya putera-puteri di bawah usia pra-sekolah. Lalu kesulitan mencarikan tempat untuk pengasuhan dan pendidikan anak balita atau anak usia dininya. Tidak. Itu tidak terjadi di UINSA. Mereka tetap bisa memberikan pendidikan dan perawatan anak balitanya. Mereka tetap bisa memberikan pengasuhan pada putera-puteri pada usia dini itu. Ya, saat mereka harus bekerja di kampus. Saat mereka harus menunaikan tugas profesinya sebagai pegawai di perguruan tinggi Islam ini. Pendidikan dan pengasuhan tetap terjaga melalui layanan LPPAUD itu.

Pagi itu (18/09/2023), anak-anak yang lucu-lucu itu dibawa oleh para gurunya ke UINSA Mart. Toko milik kampus. Yang melayani kebutuhan sehari-hari. Dan bahkan kebutuhan perkantoran. Yang diperlukan pegawai dan mahasiswa untuk urusan masing-masing. Letaknya di Tower Tengku Ismail Yaqub (TIY). Tower yang diberi nama tokoh pendiri dan atau pengembang UINSA generasi pertama. Letaknya di kampus A. Yani. Di UINSA Mart itu, anak-anak LPPAUD diajari memilih makanan atau minuman halal. Mereka diajari bagaimana mengenali makanan dan minuman halal itu. Caranya, dengan melihat dan memilih yang ada logo atau label halalnya. Sederhana sekali model pengenalannya. Tapi cara itu justru jitu untuk anak sesuai mereka. Sungguh cerdas sekali guru-guru itu!

Di gambar di atas, terlihat bagaimana seorang guru mengajari anak-anak didiknya saat berada di tengah-tengah produk makanan dan minuman. Ada anak yang memegang makanan ringan dalam kemasan. Terlihat juga yang lain juga melakukan hal yang sama. Tapi produk yang dipegang berasal dari merek yang berbeda. Semua mereka diajari oleh gurunya. Untuk mengenali mana “makanan halal” dan mana selainnya. Tentu mereka tidak diajari soal dalil. Tentu mereka tidak diajari soal-soal lain yang bersifat konseptual. Mereka diajari konkret. Mengenali makanan dan minuman halal dari ada tidaknya logo halal. Hanya dari ada tidaknya label halal. Itu sangat riil. Sangat konkret.

Seperti tergambar juga pada foto di atas dan lebih jelasnya di foto bawah, ada dua jenis logo atau label halal. Yang pertama logo atau label halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga pemeriksa halal pertama di Indonesia. Lembaga ini yang menjadi penyedia layanan sertifikasi yang selama ini ada di Indonesia. Karena itu, logo atau label halal yang beredar bertuliskan MUI. Bulat. Berwarna hijau. Dan bertuliskan hitam. Lalu, belakangan muncul banyak lembaga pemeriksa halal. Dan logo atau label halal pun mulai berubah. Menjadi berwarna ungu. Berbentuk gunungan atau limas dengan lancip ke atas. Dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Para guru LPPAUD itu tampak pengamal prinsip pembelajaran min al-hissiyah il al-dzihniyah. Mengajar dari yang konkret dulu, baru yang abstrak. Mengajar dari yang riil-terlihat sebelum yang tak terlihat. Mengajar dari yang bisa diindera ke yang makin lemah diindera. Apalagi, untuk urusan halal. Sebagai sebuah konsep, tentu semua orang dewasa tahu. Tapi bagaimana memperkenalkan konsep halal itu kepada anak usia dini, tentu butuh keterampilan khusus. Butuh kecakapan tersendiri. Tak bisa memperkenalkan konsep halal yang biasa dipakai untuk orang dewasa diberlakukan untuk anak usia dini. Di situ kecerdasan para guru LPPAUD UINSA itu. Konkret. Sederhana. Gampang segera dimengerti. Dan konsep halal pun segera bisa dipahami, dikenali, dan didekati untuk dikonsumsi anak-anak.

Ternyata, kehebatan LPPAUD UINSA tidak berhenti di situ. Para gurunya bahkan lebih jauh menguji tingkat pemahaman siswa-siswanya. Even lanjutan diselenggarakan. Harinya Senen, 25 September 2023.  Nama kegiatannya Duta Halal Kids. Semacam audisi duta halal. Khusus untuk anak-anak. (Lihatlah gambar di bawah). “Anak-anak, ayo siapa yang bisa menunjukkan logo halal?” lalu anak-anak itu tampak mengambil logo atau label halal. Ada yang mengambil label halal dari MUI. Ada juga yang mengambil logo atau label halal baru. Dengan riang sekali mereka mengikuti perintah yang diberikan. Untuk memperkuat pemahaman mereka tentang produk halal.

Lalu anak-anak itu memilih gambar binatang. Saat ada yang mendapatkan gambar kambing, seorang juri yang juga kepala PAUD UINSA bertanya: “Nah, kambing itu halal dimakan, atau nggak?” Sebagian anak menjawab: “Halal!” Sebagian lainnya menyatakan: “Tidak!” Suasana pun pecah. Para orang dewasa yang ada di lokasi audisi tertawa menyaksikan anak-anak yang lucu-lucu itu merespon pertanyaan juri itu. Jawaban “halal” dan “tidak” itu menunjuk ke tingkat akurasi pemahaman. Dan itu bagus bagi guru LPPAUD untuk menjadi bahan refleksi dan perbaikan. Atas pembelajaran soal mengenali produk halal.

Pertanyaan yang sama juga disampaikan oleh juri audisi lainnya. Khususnya saat ada anak yang mengambil gambar binatang babi dari kotak kumpulan gambar yang disediakan oleh para guru LPPAUD UINSA itu. Sang anak pun menjawab pertanyaan juri itu. Tanya jawab oleh juri ke anak dimaksud digunakan untuk memastikan pemahaman atau pengetahuan anak-anak atas konsep halal dan jenis binatang yang berstatus halal.  Para guru pun lalu bisa semakin mengetahui tingkat pemahaman sederhana anak-anak itu atas konsep halal dan contoh binatangnya. Sebuah proses pembelajaran yang terukur dan bagus sekali. Sesuai dengan usia peserta didiknya.

(Foto Koleksi LPPAUD UINSA, 2023)

Sobat,

Mari belajar dari bagaimana LPPAUD UINSA membelajarkan konsep halal pada para siswanya yang masih balita di atas. Literasi dini menjadi konsep dasar yang sedang dipertunjukkan oleh LPPAUD itu. Isu yang dijadikan sebagai materi pembelajaran adalah mengenali produk halal. Tentu, gambar-gambar binatang yang dihadirkan hanya sarana riil untuk melakukan konkretisasi atas konsep halal yang abstrak-normatif itu. Para guru LPPAUD itu sedang mengirim pesan. Begitu pentingnya memperkenalkan konsep halal sejak dini. Begitu mendesaknya membelajarkan nilai halal sejak usia balita. Itulah literasi dini. Konsep dan nilai halal hanya menjadi contoh kasus saja. Yang sedang dipercontohkan oleh para guru LPPAUD UINSA.

Bagi organisasi pemegang amanah publik seperti kampus, literasi dini sejatinya bukan soal usia. Bukan soal mereka yang diberi amanah jabatan namun usianya masih tergolong muda. Bukan terbatas begitu. Bukan sesederhana itu. Kata “dini” di sini juga bisa ditarik untuk soal usia jabatan dan atau kewenangan. Soal penunaian jabatan yang baru dibebankan di awal masa jabatan. Tak peduli usia pejabatnya muda atau tua. Yunior atau senior. Tak ada kaitan. Literasi dini untuk amanah publik di kampus, dan tentu juga di selainnya, berkaitan dengan pengembangan kecakapan diri dalam menunaikan tugas jabatan sejak dari dini sekali amanah jabatan itu diemban.

Siapapun yang sedang mendapat amanah di kampus tak sepatutnya membiarkan setiap menit berlalu. Tanpa penguatan pengetahuan yang baik. Tanpa peningkatan pemahaman yang terukur. Tanpa pengembangan keterampilan yang memadai. Tentang amanah yang disampaikan. Mengenai amanah jabatan yang diterimakan. Soal kewenangan publik yang sedang diemban. Masing-masing dari kita yang sedang diberi amanah jabatan dan kewenangan dimaksud harus membayar lunas dengan kinerja yang tinggi. Pengetahuan yang baik, pemahaman yang terukur, dan keterampilan yang memadai adalah kondisi yang harus dipenuhi sejak awal menjabat. Semua itu untuk terciptanya kinerja yang maksimal.

Perkuatlah pemahaman dan kecakapan atas regulasi yang ada sejak awal sekali menjabat. Telat memang bukan kiamat. Tapi telat berarti melemahkan kecakapan. Menjauhkan seseorang dari kematangan dalam menunaikan jabatan. Lalu bagaimana jika baru tersadar saat di pertengahan masa jabatan? Segeralah berbenah diri. Asup setiap informasi mengenai karakter jabatan beserta uraian tugas dan fungsinya. Serap materi tentang cara menunaikan jabatan itu dengan baik. Agar pemahaman atas beban tugas jabatan memadai. Agar kecakapan yang dibutuhkan untuk menunaikan jabatan itu bisa tinggi. Jika pemahaman dan kecakapan ini sudah di tangan, maka kinerja adalah separuh sisanya yang akan segera direalisasikan.

Tak boleh atas nama apapun yang menjabat tak cakap atas jabatannya. Tak boleh atas alasan apapun pemegang amanah publik meminta pemakluman baru menjabat. Memang, ahli di bidang akademik yang ditekuni tak kemudian pasti ahli di bidang lainnya. Tapi penting bagi siapa saja yang baru atau tengah diberi amanah jabatan memahami konsep fast learner. Pembelajar cepat. Kecakapan seseorang di antaranya diukur dari seberapa tangkas dia bisa mengasup hal yang baru. Seberapa cepat dia bisa mempelajari kecakapan baru. Atas apa yang dibutuhkan oleh tugas baru yang diemban. Dan, seberapa tanggap dia bisa segera engaged (terlibat langsung secara dekat dan terampil) dengan tugas dan fungsi jabatan barunya.

Sebetulnya konsep fast learner itu bukan khas masyarakat tertentu di dunia ini. Para kyai sejak lama sudah mengajarkan prinsip ini: al-’alim ya’lam al-‘ilma bi al-isyarah, wa al-jahil la ya’lamuhu illa an yadlribahu bi al-`asha. Orang pintar itu akan segera bisa menangkap sesuatu walau hanya dengan isyarat semata. Sebaliknya, orang jahil tak akan bisa menangkapnya kecuali setelah dia diberikan pukulan. Kita tidak sedang membahas pukulan beserta jenis-jenis dan ukurannya untuk terjadinya pembelajaran. Yang jadi isu utama kita adalah bagaimana seseorang bisa menjadi pembelajar cepat. Kata “isyarat” dalam nasehat para kyai dimaksud menunjuk kepada cepatnya sampainya dan ditangkapnya ilmu dan atau kecakapan baru oleh seseorang untuk bisa disebut “orang pintar”.

Sobat,

Semua yang sedang menjabat di UINSA Surabaya pasti pernah mengikuti serangkaian literasi. Dilakukan dalam beragam kegiatan pelatihan. Saya menyebutnya dengan istilah sekolah. Ada sekolah akreditasi. Ada juga sekolah publikasi dan sensitisasi gender. Dan sekolah-sekolah lainnya, seperti sekolah administrasi perencanaan, keuangan dan akademik hingga sekolah kewirausahaan. Bahkan yang segera digelar adalah sekolah digital leadership. Pada sekolah yang disebut terakhir ini, isinya bagaimana menjadi pemimpin kampus yang baik nan efektif di era digital. Dan bagaimana harusnya amanah jabatan di kampus ditunaikan di tengah kecenderungan digital yang menguat kencang.

Semua jenis sekolah di atas adalah kegiatan by design untuk penguatan literasi organisasi untuk para pejabat di UINSA Surabaya. Semua itu dilakukan di awal periode jabatan. Begitulah konsep literasi dini saya terjemahkan di antaranya ke dalam kepemimpinan kampus. Untuk menjamin semua kecakapan sudah dimiliki sejak awal menjabat. Seusainya, semua diajak lari kencang. Untuk membawa kampus ini terbang tinggi. Tak boleh ada alasan pemakluman apapun pada penunaian jabatan yang rendah kinerja. Karena semua pejabat telah dibekali dengan literasi penunaian jabatan sejak dini. Ya, sejak awal menjabat.

Siapapun yang sedang diberi amanah jabatan di kampus penting untuk menjadikan praktik literasi halal untuk anak-anak LPPAUD UINSA di atas sebagai inspirasi. Mereka diedukasi sejak dini. Kalau anak LPPAUD diedukasi tentang makanan-minuman halal, semua kita yang memegang jabatan di kampus penting untuk dieduksi dan atau mendapatkan edukasi tentang konsep halal juga. Bukan soal makanan dan minuman halal. Atau obat-obatan. Juga soal kosmetika. Melainkan soal mana yang halal dan mana yang haram dalam praktik birokrasi. Spiritualitas memang instrumen dasarnya. Dan regulasi adalah instrumen birokrasi atas kehalalan dalam tugas layanan. Semua yang di birokrasi wajib cakap dan loyal terhadap ketentuan. Mereka setia pada ketentuan. Bukan saja paham, melainkan sudah terampil berada dalam ketentuan regulasi. Sehingga tak ada pelanggaran. Tak ada fraud. Tak ada manipulasi. Dan tak ada pengkhianatan atas aturan dan ketentuan.