Legalisasi Judi: Wacana Kontroversial dalam Komunikasi Publik
Ali Nurdin
Guru Besar Ilmu Komunikasi
UIN Sunan Ampel Surabaya
Usulan legalisasi judi oleh salah satu anggota DPR RI baru-baru ini memicu perdebatan hangat di ruang publik (cnbcindonesia.com). Sebagian anggota Komisi XI DPR RI menolak tegas wacana legalisasi tempat judi atau kasino di Indonesia. Biaya sosial dan ekonomi akibat legalisasi judi sangat besar dan berpotensi merusak kehidupan masyarakat Indonesia (cnnindonesia.com). Meskipun wacana kontroversial ini tidak diakui oleh pengusul sebagai legalisasi judi untuk penambahan pendapatan negara dalam rapat dengan Kementerian Keuangan (cnnindonesia.com). Namun, wacana ini menjadi sorotan karena menyentuh wilayah sensitif: norma agama, nilai budaya, dan kepentingan ekonomi negara.
Praktik legalisasi judi telah dilakukan di beberapa negara muslim seperti di Uni Emirat Arab (UEA). UEA dikenal sebagai negara Muslim yang secara bertahap membuka pintu untuk perjudian, terutama dalam sektor pariwisata dan hiburan internasional. Pada 2023, UEA membentuk General Commercial Gaming Regulatory Authority (GCGRA) untuk mengatur perjudian secara nasional. Hal ini membuka peluang bagi pembangunan kasino di wilayah seperti Ras Al Khaimah dan Abu Dhabi (hidayatullah.com). Tak hanya UEA, Arab Saudi juga mulai melirik industri perjudian. Negara kerajaan ini sedang mempertimbangkan untuk membuka kasino sebagai bagian dari rencana ambisius mereka untuk menarik lebih banyak wisatawan internasional dan mengurangi ketergantungan pada minyak (context.id). Sementara itu di Mesir memperbolehkan perjudian namun terbatas untuk turis asing. Warga negara Mesir dilarang ikut serta, tapi negara tetap mendapatkan pemasukan dari kasino dan lotere yang disediakan untuk pengunjung mancanegara.
Di Asia Tenggara, Malaysia dan Singapura telah melegalkan judi. Malaysia sebagai Kerajaan Islam di Asia Tenggara sudah lebih dulu memiliki kasino legal di Genting Highlands. Namun demikian, Malaysia tetap mempertahankan pandangan konservatif terhadap perjudian. Dengan berupaya menyeimbangkan antara bisnis pariwisata dan norma-norma Islam. Masyarakat Malaysia terutama yang Muslim diharamkan untuk masuk dan bermain di arena kasino. Ada polisi atau petugas yang benar-benar menjaga kawasan ini untuk mencegah muslim Malaysia berjudi (context.id). Sementara itu, Singapura mengizinkan judi melalui dua Integrated Resorts (IRs): Marina Bay Sands dan Resorts World Sentosa. Pemerintah Singapura menerapkan regulasi ketat termasuk pungutan masuk kasino bagi warga negara Singapura untuk membatasi dampak sosial. Selanjutnya di Amerika Serikat (AS) memiliki berbagai rezim perjudian. Negara bagian seperti Nevada (Las Vegas) dan New Jersey (Atlantic City) menjadi pusat judi legal yang menyumbang miliaran dolar kepada ekonomi nasional. Sedangkan di Makau (China) dikenal sebagai “Las Vegas of Asia” dan menjadi pusat perjudian terbesar di dunia, bahkan melebihi pendapatan Las Vegas.
Di Indonesia, di tengah upaya penegakan hukum terhadap judi ilegal yang makin masif, munculnya usulan ini menimbulkan kegaduhan dan resistensi, khususnya dari kalangan agamawan dan masyarakat sipil. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan dasar negara Pancasila yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan dan kemanusiaan, usulan ini tentu menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana publik merespons isu yang bertabrakan dengan nilai dominan masyarakat yang ada?, dan bagaimana sensitivitas komunikasi publik yang dilakukan oleh pengusul legalisasi ini?.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menolak usulan legalisasi judi sebagai opsi menambah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) melalui kasino. Menurut Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis menyatakan bahwa “jangan pernah berpikir untuk melegalkan judi di Indonesia dengan alasan menambah pendapatan negara”. Perjudian di Indonesia bertentangan dengan undang-undang dan norma masyarakat (mui.or.id).
Indonesia secara hukum melarang segala bentuk perjudian, baik offline maupun online. Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang pidana perjudian. Pasal ini menjatuhkan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak 25 juta rupiah kepada siapa saja yang melakukan perjudian tanpa izin. UU ITE mengatur mengenai perjudian online melalui Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2). Pasal ini melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. Hukuman bagi pelaku judi online yang melanggar pasal ini adalah dipidana dengan hukuman penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 303 KUHP dan UU ITE menjadi landasan hukum pemberantasan judi, baik tradisional maupun digital. Namun, masifnya judi online dan kebocoran ekonomi dari sektor ini menimbulkan pertanyaan: apakah legalisasi adalah jalan keluar atau justru membuka ruang kerusakan sosial yang lebih besar? Dalam pernyataannya, anggota DPR yang mengusulkan legalisasi judi menyebut bahwa langkah ini dapat mengurangi praktik judi ilegal, menambah pendapatan negara, serta membuka lapangan kerja baru di sektor formal. Namun, usulan ini tidak disertai komunikasi publik yang strategis dan transparan.
Dalam perspektif komunikasi publik, wacana legalisasi judi memerlukan pendekatan yang berhati-hati karena menyangkut opini, nilai, dan sensitivitas publik. Komunikasi publik adalah proses menyampaikan informasi dan membentuk opini di masyarakat melalui media dan dialog sosial, yang seharusnya berbasis pada transparansi, partisipasi, dan etika komunikasi. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait wacana kontroversi legalisasi judi, yaitu legitimasi isu, resistensi sosial, dan etika komunikasi.
Legitimasi isu. Dalam teori agenda-setting dan framing, pemilik kekuasaan dapat membentuk wacana publik melalui media. Namun, dalam isu sensitif seperti judi, legitimasi tidak dapat dibentuk secara top-down. Diperlukan komunikasi dua arah, survei publik, dan diskusi terbuka agar masyarakat memahami konteks dan motif di balik legalisasi. Resistensi sosial. Wacana legalisasi judi di Indonesia berhadapan langsung dengan norma agama dan moral yang kuat. Komunikasi publik harus mempertimbangkan cultural values dan moral publik. Jika komunikasi bersifat koersif atau manipulatif, akan muncul resistensi dan distrust terhadap institusi pembuat kebijakan. Etika komunikasi. Komunikasi kebijakan publik harus menjunjung nilai kejujuran, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap publik. Dalam hal ini, belum terlihat adanya proses komunikasi yang inklusif dan etis dalam wacana legalisasi judi.
Legalitas judi di negara lain bukan semata soal pendapatan negara. Negara-negara seperti Singapura memiliki regulasi ketat. Indonesia tidak hanya memerlukan framework hukum, tetapi juga kerangka komunikasi publik yang mampu merangkul aspirasi publik dan nilai-nilai lokal. Tanpa itu, wacana legalisasi judi hanya akan menjadi bahan sensasi, bukan solusi. Wacana legalisasi judi bukan hanya soal menambah pendapatan negara, tetapi lebih dari itu: menyentuh aspek etika, norma sosial, dan komunikasi publik yang sehat. Komunikasi publik dalam konteks ini seharusnya menjadi ruang deliberatif (platform dialog publik), bukan sekadar alat legitimasi kebijakan yang tidak berpihak pada nilai-nilai masyarakat. Diperlukan pendekatan multidisipliner dalam menimbang wacana ini: dari segi hukum, ekonomi, budaya, hingga komunikasi. Dalam negara yang menjunjung tinggi nilai agama dan moralitas publik seperti Indonesia, komunikasi publik tidak dapat mengesampingkan sensitivitas tersebut. Legalisasi judi mungkin dapat menjadi diskusi akademik, tetapi tanpa komunikasi publik yang tepat, transparan, dan etis, usulan ini hanya akan memperlebar jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.