Oleh: Dr. Anas Amin Alamsyah. M.Ag
Pragmatisme, sebagai sebuah filosofi, menekankan hasil praktis dan efisiensi. Dalam kehidupan modern, filosofi ini telah menjadi daya tarik utamanya. Dalam konteks pribadi dan sosial, pragmatisme menjanjikan solusi untuk banyak masalah kompleks yang memerlukan respons cepat dan terarah. Filsafat ini membantu individu, organisasi, dan pemerintah membuat keputusan berdasarkan manfaat langsung dan hasil yang terukur. Pada saat yang sama, pragmatisme juga berfungsi sebagai dasar untuk inovasi dan pendekatan baru dalam menghadapi berbagai tantangan mulai dari pengembangan teknologi hingga kebijakan publik.
Namun, pendekatan pragmatis ini murni berorientasi pada hasil. Banyak aspek moralitas sering diabaikan. Banyak kasus menunjukkan bahwa keputusan yang didasarkan pada pragmatisme tanpa batasan moral menghasilkan konsekuensi negatif di tingkat individu, sosial, dan global. Dari pengabaian nilai-nilai etika di dunia bisnis hingga eksplorasi sumber daya alam, konsekuensi dari pragmatisme yang tidak diimbangi dengan moralitas menimbulkan ancaman nyata terhadap ketertiban sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Argumen utama dari tulisan ini menegaskan bahwa pragmatisme tanpa batas moral dapat memiliki efek negatif yang sangat luas. Argumen tersebut dapat dijelaskan melalui fenomena ketegangan yang ada antara pragmatisme dan moralitas serta melalui identifikasi konsekuensi-konsekuensi negatif dari pragmatisme tanpa batas dalam banyak aspek kehidupan. Fakta ini tentunya dapat menjadi alasan mendasar bagi pentingnya mengintegrasikan moralitas ke dalam pragmatisme. Integrasi ini diharapkan akan bisa menjadi jembatan sekaligus solusi untuk menciptakan keseimbangan antara moralitas dan pragmatisme.
Pragmatisme dan Etika Moral: Definisi dan Konteks
Pragmatisme sebagai gerakan filosofis muncul pada akhir abad ke-19 di Amerika Serikat. Pragmatisme direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey. Prinsip dasarnya adalah bahwa kebenaran suatu ide atau tindakan bergantung pada hasil praktis yang dihasilkannya. Filsafat pragmatisme menekankan pentingnya pengalaman dan eksperimen dalam menentukan validitas suatu ide atau kebijakan. Dalam kehidupan sehari-hari, pragmatisme diterapkan pada pengambilan keputusan berbasis hasil, seperti dalam manajemen bisnis atau kebijakan publik yang berfokus pada efisiensi dan keuntungan jangka pendek. Namun, pendekatan ini memperkenalkan kerentanan ketika menghadapi situasi yang kritis bagi manusia. Misalnya, keputusan praktis yang dianggap tidak efisien secara ekonomi mungkin mengabaikan dampak sosial atau lingkungan dari tindakan tersebut.
Berseberangan dengan pragmatisme, moralitas mengacu pada prinsip atau aturan yang mengatur perilaku manusia berdasarkan konsep benar dan salah. Dalam tradisi filosofis ini, tokoh-tokoh penting, termasuk Immanuel Kant, telah berbicara secara luas tentang moralitas. Mereka menekankan pentingnya niat baik dan prinsip universal. Para filosof utilitarian, seperti Jeremy Bentham, juga telah berbicara banyak tentang moralitas. Mereka menilai moralitas berdasarkan hasil terbaik untuk mayoritas. Moralitas memainkan peran penting dalam membatasi tindakan manusia agar tidak merugikan orang lain atau masyarakat secara keseluruhan.
Ketegangan Antara Pragmatisme dan Moralitas
Masyarakat modern sering menggunakan moralitas sebagai pengatur pragmatisme dan memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya efektif tetapi juga etis. Namun, dalam banyak situasi, moralitas dan pragmatisme dapat bertentangan, terutama ketika keputusan yang pragmatis secara efisien melanggar prinsip-prinsip moral.
Beberapa fakta di lapangan memperlihatkan bahwa ketegangan antara pragmatisme dan moralitas seringkali muncul dalam situasi tertentu yang melibatkan dilema etika. Ketegangan ini sering muncul, terutama, dalam kebijakan publik. Keputusan untuk membangun infrastruktur berskala besar, misalnya, sering diambil sebagai langkah praktis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, proyek-proyek seperti ini malah dapat menyebabkan penggusuran komunitas lokal tanpa kompensasi yang memadai. Ini secara jelas adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan sosial.
Dalam dunia bisnis, contoh lainnya adalah keputusan perusahaan untuk mengurangi biaya produksi dengan memindahkan pabrik ke negara berkembang dimana regulasi ketenagakerjaan lebih ketat. Meskipun keputusan ini secara ekonomi efisien, tetapi dampaknya terhadap pekerja lokal dan kondisi kerja yang tidak normal juga akan menjadi masalah moral yang serius.
Konsekuensi Pragmatisme Tanpa Moral
Membuat keputusan berdasarkan pragmatisme, terutama tanpa memperhatikan moralitas, dapat menyebabkan keterasingan pribadi. Ketika seseorang dihadapkan pada keputusan yang bertentangan dengan nilai-nilai batinnya. Ini dapat memicu konflik internal. Ini pada akhirnya menyebabkan stres dan ketidakpuasan dalam hidup. Misalnya, seorang profesional yang terpaksa mematuhi kebijakan tidak etis perusahaan untuk meningkatkan efisiensi mungkin merasa kehilangan integritas pribadi. Dalam jangka panjang, tekanan semacam itu dapat berdampak negatif pada kesehatan mental individu.
Pragmatisme tanpa batas moral juga memiliki konsekuensi serius di tingkat masyarakat. Contoh yang paling jelas adalah kerusakan pada jaringan sosial akibat kebijakan yang tidak etis. Dalam konteks politik, pragmatisme sering digunakan untuk membenarkan tindakan tidak jujur atau tindakan-tindakan lain memprioritaskan kepentingan pribadi atau kelompok di atas kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Efek lain dapat diamati dalam kasus eksploitasi tenaga kerja atau degradasi lingkungan. Keputusan praktis yang mengabaikan moralitas seringkali hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat secara luas, bahkan –sebagai akibatnya– malah menciptakan prasangka di kalangan publik.
Di tingkat yang lebih global, pragmatisme tanpa batas moral juga telah menyebabkan kesenjangan dan ketimpangan yang semakin besar antara negara kaya dan negara miskin. Pengambilan keputusan praktis di negara-negara berkembang, seperti eksplorasi sumber daya alam di negara-negara berkembang, sering mereka dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan komunitas lokal.
Alasan Pentingnya Batas Moral dalam Pragmatisme
Pragmatisme, ketika dipraktikkan tanpa moralitas, seringkali menciptakan ketidakseimbangan yang merugikan. Dalam filsafat etika, berbagai argumen telah diajukan untuk mengintegrasikan moralitas ke dalam pragmatisme. John Dewey, salah satu tokoh pragmatisme, mengakui bahwa pengalaman manusia selalu terhubung dengan nilai-nilai moral. Pragmatisme, katanya, pragmatisme tidak hanya harus berorientasi pada hasil tetapi juga harus berorientasi pada proses yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan.
Dengan mengembalikan keseimbangan antara pragmatisme dan moralitas, kita dapat menciptakan solusi yang tidak hanya efektif tetapi juga etis, misalnya dalam pengembangan teknologi di mana penerapan batasan moral dapat mencegah eksploitasi data pribadi pengguna atau penyalahgunaan kecerdasan buatan untuk tujuan yang tidak etis.
Dalam pekerjaan profesional, pragmatisme sering kali menjadi dasar utama dalam pengambilan keputusan. Namun, pragmatisme dalam hal ini hanya tetap berada dalam ranah moral. Contoh konkret ada di bidang hukum di mana pengacara bekerja tidak hanya untuk memenangkan kasus tetapi juga untuk melindungi keadilan.
Dalam dunia teknologi, perusahaan-perusahaan seperti Microsoft dan Google telah memperkenalkan kebijakan etis untuk tidak mengembangkan kecerdasan buatan guna memastikan bahwa teknologi mereka digunakan dengan baik. Kasus ini menunjukkan bahwa pragmatisme dapat bekerja sama dengan moralitas tanpa mengorbankan efektivitasnya.
Batasan etika memberikan panduan bagi pragmatisme untuk menciptakan dampak yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Perusahaan yang terlibat dalam tanggung jawab sosial, misalnya, selalu mendapatkan reputasi baik di mata publik dan pelanggan. Salah satu contohnya adalah Patagonia, sebuah perusahaan pakaian yang bertaruh pada keberlanjutan lingkungan. Keputusan bisnisnya, meskipun pragmatis, tetap menghormati nilai-nilai moral, seperti keadilan lingkungan dan kesejahteraan komunitas lokal. Dengan adanya batasan moral, pragmatisme tidak hanya menciptakan keuntungan finansial tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan sosial dan lingkungan.
Solusi untuk Mengintegrasikan Moralitas dan Pragmatisme
Beberapa solusi untuk mengintegrasikan moralitas ke dalam pragmatisme antara lain adalah melalui pendidikan etika dan pemikiran kritis. Sistem pendidikan perlu dirancang untuk mengintegrasikan nilai-nilai moral tradisional. Sistem pendidikan semacam ini ditujukan untuk membantu individu mengembangkan kemampuan mereka dalam mengevaluasi implikasi etis dari keputusan praktis mereka. Dalam tujuan ini, pendidikan etika harus diarahkan untuk dapat beradaptasi dengan berbagai kebutuhan dan tantangan yang ditimbulkan oleh modernitas. Misalnya, kursus tentang etika penggunaan aplikasi dan tool digital dapat diberikan untuk membantu calon profesional memahami pentingnya menerapkan nilai-nilai moral dalam inovasi teknologi.
Dalam konteks regulasi dan kebijakan, pemerintah dapat menjalankan fungsinya dalam mempromosikan kerangka regulasi untuk memastikan bahwa pragmatisme tetap berada dalam domain moral. Kebijakan berbasis moral seperti peraturan perlindungan tenaga kerja atau undang-undang lingkungan, dapat mencegah praktik pragmatis yang merugikan. Aturan internasional juga penting untuk menyelesaikan masalah-masalah global seperti perdagangan senjata dan perubahan iklim. Perjanjian Paris tentang perubahan iklim adalah contoh bagaimana batasan moral dapat diterapkan pada pengambilan keputusan strategis dan bagaimana hal tersebut dapat dipraktikkan di tingkat global.
Untuk mempromosikan kesadaran moral yang lebih besar, individu dan komunitas harus memainkan peran kunci dalam mengintegrasikan moralitas dengan pragmatisme. Kesadaran moral dapat ditingkatkan melalui kampanye sosial, diskusi komunitas, dan gerakan akar rumput yang mempromosikan tindakan etis. Dalam korelasi ini, fair trade (perdagangan yang adil) adalah contoh bagaimana komunitas dapat mempromosikan praktik perdagangan yang lebih etis dan berkelanjutan. Dengan mendukung produk yang diproduksi secara adil, konsumen dapat mempengaruhi perusahaan untuk beralih ke prinsip-prinsip moral.
Konklusi dan Implikasi
Pragmatisme memang menawarkan daya tarik yang sangat besar dalam menghadapi tantangan modern. Meskipun begitu, pragmatisme tidak dapat menghindari efek yang ditimbulkannya. Ketika mempraktikkan pragmatisme tanpa memperhatikan etika, efek dari pragmatisme dapat merugikan individu, masyarakat, dan bahkan tatanan dunia. Sebaliknya, pragmatisme yang terintegrasi dengan moralitas mampu menciptakan hasil yang tidak hanya efektif tetapi juga berkelanjutan dan inklusif.
Tulisan ini telah menunjukkan bahwa moralitas memainkan peran penting dalam mengatur pragmatisme, baik melalui pendidikan, regulasi, atau tindakan individu dan komunitas. Untuk mendukung peran moralitas ini, penting bagi kita untuk mengintegrasikan moralitas ke dalam pragmatisme agar kita dapat menciptakan dunia yang lebih adil dan harmonis, dimana efisiensi tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Target ideal integrasi ini memiliki implikasi penting dimana kita diharuskan untuk merenungkan dan memperbaiki pendekatan pragmatis kita sendiri serta memastikan bahwa setiap keputusan yang kita ambil tidak hanya bermanfaat tetapi juga menghormati prinsip-prinsip moralitas.
Referensi
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 245–246.
Andrew Crane et al., Corporate Social Responsibility: Readings and Cases in a Global Context (London: Routledge, 2008), 251–252.
Andrew S. Light, Environmental Pragmatism (New York: Routledge, 1996), 73–75.
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 12.
James Gustave Speth, The Bridge at the Edge of the World: Capitalism, the Environment, and Crossing from Crisis to Sustainability (New Haven: Yale University Press, 2008), 145–147.
John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt and Company, 1922), 132.
John O’Neill, Environmental Ethics: Key Concepts (Oxford: Blackwell Publishing, 2001), 123.
Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 89.
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 167.
Richard Rorty, Philosophy and Social Hope (London: Penguin, 1999), 102–104.
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2008), 67–69.
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 34.