Column UINSA

Prodi Sosiologi

Thursday, 20 October 2022

KLEPON WAHYU

Melewati Bundaran Gempol menuju arah Pasuruan atau Probolinggo, kita disuguhkan  pemandangan sederet penjaja makan khas daerah Gempol, Klepon. Klepon atau kelepon adalah jajanan pasar yang terbuat dari tepung beras ketan berbentuk bola kecil diisi gula merah dan dibalur parutan kelapa.  Yang menarik dari warung penjaja makanan khas di Gempol itu, adalah keseragaman merk kue yang ditawarkan, Klepon Wahyu. Klepon Wahyu sebagai satu merk, dalam fenomena tersebut, dimiliki secara bersama sama. Klepon Wahyu, tidak menjadi hak milik pribadi yang dipatenkan. Atas fenomena itu, akankah kita menyangka bahwa telah terjadi penyerobotan kekayaan intelektual atas merk yang seharusnya milik pencetus pertamanya?. Atau kah kita menyangka ada kelalaian pemilik pertama mempatenkan produk yang sebenarnya berpotensi mendatangkan keuntungan melalui jalan penjualan merk tersebut?.  

Gugatan pertama dan kedua menemukan kebenarannya jika kita berpegang pada nalar modern. Atas nama kekayaan intelektual, setiap penemuan (discovery), dalam masyarakat modern menjadi milik pribadi. Sebagai kepemilikan pribadi, siapa pun yang akan menggunakan merk tersebut, haruslah seizin pemiliknya. Dari sinilah, pemanfaatan ijin tersebut berpeluang dan terjebak sebagai alat kapitalisasi keuntungan. Bisnis franchise yang lagi marak bernaung dalam merk tertentu dalam usaha minimarket, outlet kuliner dan sebagainya adalah cermin beningnya.  

Klepon Wahyu menjadi fenomena sosial ekonomi yang menggambarkan ekonomi asli Indonesia, yang tercampur aduk antara kehidupan ekonomi dan sosial. Berbeda dengan masyarakat modern, yang mengajarkan ekonomi berjalan dalam keasyikannya sendiri di ruang manajemen yang kaku, sementara sosial berdiam dalam ruang berbeda. Di sekitar kita, ekonomi dan sosial berada dalam satu tarikan nafas, bergandeng mesra didalam satu bilik yang setiap saat saling berbagi dan bertukar sapa.

Sistem ekonomi klepon wahyu adalah bekerjanya sistem yang memungkinkan bagi setiap orang terlibat dalam kepemilikan bersama dan memiliki akses terhadap sumberdaya termasuk merk yang dapat menarik konsumen. Dalam sistem yang telah berjalan sekian abad di nusantara tersebut, tercegah jebakan eksploitasi melalui pematenan produk yang hanya mengalirkan keuntungan pada satu simpul pemilik merk. Akibat lebih lanjut, kesejahteraan merembes dalam tetesan tetesan kecil bagi sekitarnya.

Model ekonomi semacam ini terbukti menjadi katup pengaman sosial ekonomi ditengah terjangan resesi dari masa ke masa dan menyangkal tuduhan pemikir dualisme ekonomi, J.H Boeke, bahwa ekonomi tradisional sebagai inferior dan akan terdesak oleh dominasi sistem ekonomi modern. Pidato Chief of Economist ADB Albert Park, meneguhkan kembali bahwa sistem ekonomi yang berkembang dalam masyarakat, menunjukkan ketangguhannya saat pandemi menerjang beberapa waktu lalu.          

Usaha ekonomi yang tidak berorientasi pada ekstraksi modal selaras dengan prinsip ajaran normatif agama yang mencela perlombaan dalam ekstraksi modal (Q.S. 102;1), dan mencegah perputaran ekonomi pada kelompok kecil saja (QS 59:7) sebagai spirit agama menemukan titik terangnya  pada penjaja Klepon Wahyu. Di nusantara, sistem ini telah membaluri seluruh sistem kehidupan masyarakatnya, seperti baluran parutan kelapa diatas jajan klepon.(Ilyas)