Articles

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Kepemimpinan yang berbasis klenik serta berorientasi melanggengkan kekuasaan dan kekayaan duniawi hanya akan mendatangkan disfungsionalitas negara. Hal ini berakhir kesengsaraan bagi rakyatnya. Artinya, ketika amanah kepemimpinan, sebagai amanah besar, tidak memiliki basis ilahiyah yang kokoh, hanya akan mempercepat kerusakan  dan kesengsaraan bagi rakyatnya. Pemimpin yang berdekatan dengan jasa sihir, perdukunan, dan ramalan, atau bentuk lain dari kemusyrikan, hanya akan mengundang kerusakan sistemik. Dalam perspektif Al-Qur’an, sebagai tokoh sentral dan penentu, pemimpin merupakan pemegang amanah terbesar, harus memiliki fondasi tauhid yang teguh. Kepemimpinan yang seperti ini mampu menegakkan keadilan dan membawa maslahat bagi masyarakat secara luas. Hal ini disebabkan pemimpin meyakini bahwa kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, sementara pemimpin berbasis klenik menganggap tidak ada kehidupan sesudah kematian.

Politik dan Klenik

Dalam Islam, kepemimpinan yang berbasis kekuatan jin atau setan dicela dan dipandang sebagai kepemimpinan yang terlemah. Padahal Allah menunjukkan bahwa jalan yang dilalui oleh orang yang beriman merupakan jalan yang lurus dan memberi kemaslahatan. Hal ini dinarasikan Al-Qur’an sebagai berikut :

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ أُوتُواْ نَصِيبٗا مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡجِبۡتِ وَٱلطَّٰغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُواْ هَٰٓؤُلَآءِ أَهۡدَىٰ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ سَبِيلًا

Artinya:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Alkitab? Mereka percaya kepada jibti dan ṭagūt dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisā : 51)

Bahkan Al-Qur’an menunjukkan bahwa kepemimpinan yang bertolak belakang dengan jalan yang dilalui orang yang beriman, hanya akan membuka jalan kerusakan dan kesengsaran bagi rakyatnya. Al-Qur’an menunjukkan bahwa kepemimpinan yang demikian tidak akan memberi kebaikan sedikit pun. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :

أَمۡ لَهُمۡ نَصِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُلۡكِ فَإِذٗا لَّا يُؤۡتُونَ ٱلنَّاسَ نَقِيرًا

Artinya:

Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia, (QS. An-Nisā : 53)

Sejarah telah memberi contoh kepada kita bahwa kepemimpinan yang percaya kepada Al-Jibt dan thaghut telah menciptakan dunia yang buruk dan buram. Mereka mendasarkan pada kepemimpinan yang berbasis sihir, berhala, juru ramal, dan berbasis setan.

Idi Amin Dada dikenal sebagai presiden Uganda yang diktator dan brutal. Dia sangat percaya kepada perdukunan dan kekuatan sihir. Ia menjalani berbagai ritual mistik untuk mempertahankan kekuasaan. Hasilnya, Uganda di bawah kepemimpinannya mengalami keruntuhan ekonomi, pelanggaran HAM, dan ketakutan massal. Francois Duvalier (Haiti), “Papa Doc” memadukan kekuasaan politik dengan voodoo—sistem sihir lokal. Ia menggunakan dukun sebagai alat politik dan menanamkan ketakutan kepada rakyat. Haiti menjadi negara miskin, korup, dan tidak stabil secara politik.

Dengan kata lain, beberapa pemimpin yang penduduknya mayoritas beragama muslim tapi tidak menggunakan syariat Islam. Mereka mendasarkan kepemimpinannya pada klenik, pedukunan, paranormal, dan mistik. Bahkan kepemimpinannya mempercayakan penasihat spiritual yang tidak mempercayai akherat. Kepemimpinan ini justru membuka pintu korupsi secara besar-besaran, nepotisme, yang berujung kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat.

Ketiadaan Negara

Al-Qur’an sudah sejak awal mensinyalir bahwa sebagai orang yang mengaku beriman, tetapi menciptakan tatanan berbasis non-syariah. Mereka mendeklarasikan bahwa syariat Islam tidak cocok dengan budaya masyarakat setempat. Ketika diajukan potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, dera/cambuk pada peminum khamr, mereka justru mengajukan denda atau hukuman penjara. Padahal Allah memerintahkan kepada umat Islam agar percaya diri dan meyakini bahwa hukum Allah sebagai hukum terbaik. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ يَزۡعُمُونَ أَنَّهُمۡ ءَامَنُواْ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوٓاْ إِلَى ٱلطَّٰغُوتِ وَقَدۡ أُمِرُوٓاْ أَن يَكۡفُرُواْ بِهِۦ ۖ وَيُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُضِلَّهُمۡ ضَلَٰلَۢا بَعِيدٗا

Artinya:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada ṭagūt , padahal mereka telah diperintah mengingkari ṭagūt itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisā : 60)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kepemimpinan yang tidak mendasarkan pada hukum Allah, maka sama saja meniadakan pengawasan Allah, sehingga memberi peluang untuk melakukan tindakan menyimpang seperti korupsi, manipulasi hukum, yang dikategorikan dengan kezaliman. Hal ini jelas membuat negara tak mempu berbuat apa-apa terhadap rakyatnya alias mandul. Inilah disfungsionalitas negara. Hal ini selaras dengan firman-Nya :”Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Ma’idah : 45)

Budaya kedzaliman ini akan merambat ke seluruh elemen masyarakat. Birokrasi menjadi rusak, hukum diperjualbelikan, politisasi hukum, dan rakyat kehilangan harapan.Al-Qur’an dan Sunnah memberikan pedoman tegas bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan berdasarkan petunjuk Allah. Tauhid tidak hanya berarti keyakinan teologis, tetapi juga komitmen praktis dalam menegakkan keadilan, kejujuran, dan ketaatan pada hukum Allah. Al_Qur’an sudah menegaskan pentingnya pemimpin yang berpegang pada hukum Allah dan menjauhkan dari hawa nafsu. Hal ini sebagaimana narasi Al-Qur’an berikut : “Wahai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan kebenaran dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Shad : 26)

Pemimpin yang bertauhid merupakan rahmat bagi rakyatnya. Ia memerintah dengan adil, jujur, dan mengedepankan maslahat umum. Sebaliknya, pemimpin yang menggantungkan diri pada sihir, perdukunan, dan kekuatan ghaib adalah musibah bagi bangsa. Ia akan merusak sistem, memperdalam kemiskinan, dan menjauhkan rakyat dari nilai-nilai Islam. Kondisi ini benar-benar merupakan disfungsionalitas negara.

Surabaya, 2 Juni 2025